Tax Amnesty, Dorong Kepatuhan Pajak atau Sebaliknya?
Focus Group Discussion FIA UI-MUC
|
Thursday, 21 April 2022
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat menyelenggarakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Voluntary Disclosure Program dengan menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. PPS dilaksanakan selama enam bulan (1 Januari-30 Juni 2022) melalui dua skema kebijakan.
PPS kebijakan I dikhususkan bagi orang pribadi dan badan usaha peserta Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty (2016-2017) yang belum atau kurang mengungkapkan aset perolehan tahun 1985-2015 dalam Surat Pernyataan—sepanjang belum menjadi temuan Otoritas Pajak.
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2016, jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menemukan aset yang belum atau kurang diungkap salam Surat Pernyataan maka peserta Tax Amnesty akan dikenakan PPh Final 25% (badan), 30% (orang pribadi), atau 12,5% (WP tertentu) plus sanksi denda 200%.
PPS kebijakan II hanya diperuntukan bagi orang pribadi—bukan badan usaha—yang belum atau kurang melaporkan aset perolehan tahun 2016-2020 dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan—sepanjang belum menjadi temuan Otoritas Pajak.
Dalam hal ini, jika DJP menemukan aset perolehan tahun 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT maka asset tersebut dapat dianggap penghasilan dan dikenai pajak sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi.
Wajib Pajak yang ingin terbebas dari risiko pemeriksaan dan sanksi administrasi diwajibkan membayar PPh final dengan besaran tarif disesuaikan dengan jenis keikutsertaan PPS (lihat tabel).
Jenis PPS | Tarif PPh Final Kebijakan I | Tarif PPh Final Kebijakan II |
|
11% | 18% |
|
8% | 14% |
*Diinvestasikan kembali di pasar obligasi negara, industri hilir, dan sektor energi terbarukan. |
6% | 12% |
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) per 20 April 2022, sebanyak 38.325 wajib pajak yang menjadi peserta PPS dengan, dengan nilai harta bersih yang dilaporkan sebesar Rp67,46 triliun dan PPh final yang dibayarkan sebesar Rp6,86 triliun. Angka-angka tersebut jauh di bawah pencapaian program tax amnesty sebelumnya yang berlangsung selama sembilan bulan pada 2016-2017.
Sekilas, pencapaian ini cukup mengesankan di tengah meningkatnya kebutuhan anggaran belanja negara akibat pandemi Covid-19. Namun, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan secara daring oleh Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA Universitas Indonesia dan MUC Consulting (01/04/2022), sejumlah akademisi dan praktisi perpajakan memberikan catatan dan rekomendasi terhadap pelaksanaan program ini.
Ringkasan FGD:
PPS secara konsep relatif serupa dengan kebijakan tax amnesty yang pernah dilakukan banyak negara di dunia termasuk Indonesia, terutama Program Pengampunan Pajak (2016-2017). Tujuan utamanya adalah untuk mendorong kepatuhan sukarela (voluntary compliance).
“Meskipun ini namanya berbeda, tetapi esensi dari Program Pengungkapan Sukarela dan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) sama. Sejauh ini faktor-faktor penting yang mendukung keberhasilan tax amnesty maupun PPS belum terpenuhi,” tutur Prof. Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan FIA UI & Anggota Komite Pengawas Perpajakan.
Ada 5 variabel penting pendukung kesuksesan tax amnesty di banyak negara yang belum dioptimalkan Pemerintah Indonesia:
- Ketersediaan data aset di luar negeri sebelum tax amnesty dilaksanakan.
- Sosialisasi masif ke mancanegara melibatkan konsulat atau KBRI
- Kampanye melibatkan pejabat tinggi negara (top government)
- Serius menyusun regulasi yang fokus pada repatriasi aset—tanpa pilihan tarif untuk opsi deklarasi aset.
- Menyediakan instrumen investasi yang tepat dan jelas keuntungannya sebagai wadah aset repatriasi.
”Negara-negara yang berhasil melaksanakan tax amnesty pada umumnya telah memperhatikan faktor-faktor pendukung tersebut. Sementara pelaksanaan tax amnesty di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi faktor-faktor tersebut,” ujar Ning Rahayu, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal UI
Berkaca pada pengalaman di banyak negara, tax amnesty lazimnya tidak dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan atau dapat diprediksi masyarakat. Amnesti pajak yang dilakukan berulang kali justru kontraproduktif dan dapat menurunkan tingkat kepatuhan wajib pajak. Masyarakat akan cenderung menunda pemenuhan kewajiban pajak demi memperoleh tarif dan pajak terutang yang lebih rendah karena meyakini atau mengetahui akan adanya tax amnesty lanjutan. Preseden ini juga bisa menjadi disinsentif bagi wajib pajak yang patuh karena merasa memikul beban pajak yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak patuh.
Menurut Sugianto, Managing Partner MUC Consulting “kebijakan tax amnesty yang berulang justru bisa membangun kultur yang tidak bagus di masyarakat. Khawatir wajib pajak cenderung menunggu untuk menjalankan kepatuhan perpajakan karena seringnya tax amnesty dilakukan.”
“Tax amnesty kalau tidak dikelola secara hati-hati justru dapat mengirimkan pesan yang salah ke masyarakat. Karena bisa memunculkan anggapan ’kalau patuh biaya kepatuhannya lebih mahal daripada tidak patuh. Karena risiko tidak patuh kalau ketahuan tidak besar-besar amat sanksinya buat orang-orang tertentu,” jelas Prianto Budi Santoso, Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal UI.
Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute menambahkan, “bahwa peningkatan kepatuhan Wajib Pajak bukan disebabkan oleh program tax amnesty itu sendiri, tetapi lebih oleh penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan setelah program tax amnesty selesai. Oleh karena itu, kemampuan mendeteksi ketidakpatuhan perlu ditingkatkan, termasuk perbaikan sistem administrasi perpajakan.”
Tujuan lain dari tax amnesty adalah memperluas basis data wajib pajak yang dapat digunakan pemerintah dalam mengoptimalisasikan penerimaan pajak. Pasca-Program Pengampunan Pajak (2016-2017) perluasan basis data pajak tampaknya belum sepenuhnya dapat diwujudkan, yang tercermin dari pernyataan DJP yang menjelaskan alasan pemerintah tidak menetapkan target PPS karena tidak tersedianya data asset yang memadai.
“DJP harus punya big data yang memadai untuk meningkatkan kemampuan memungut pajak. Apakah pemerintah sudah benar-benar memenindaklanjuti basis data dari tax amnesty? Kalau memang wajib pajak tidak bayar, seharusnya tidak lagi pendekatannya bersifat himbauan tetapi cross-check dan paksa dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait. Jangan sampai hanya menghimbau saja yang justru akan menurunkan Kepatuhan,” ujar Sugianto.
Rekomendasi FGD:
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif, termasuk melalui jaringan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal (Konjen) di berbagai negara. Hal ini penting agar informasi PPS dapat diterima dan dipahami WNI di luar negeri sehingga tujuan utama mendorong repatriasi aset ke dalam negeri dapat terwujud.
Sosialisasi perlu dilakukan dengan strategi dan pendekatan yang disesuaikan dengan segmentasi masyarakat yang menjadi sasaran PPS. Sebagai contoh, pendekatan bagi kelompok masyarakat menengah ke atas atau Orang Super Kaya dilakukan berbasis data asset yang akurat, sedangkan untuk masyarakat umum pendekatannya berupa himbauan dan edukasi.
“Perlu digaungkan lagi ke masyarakat, sebenarnya siapa saja yg harus ikut PPS dan pihak mana saja yang bisa melakukan pembetulan SPT. Masyarakat berhak melakukan pembetulan. Jangan sampai PPS mengurangi hak-hak wajib pajak, seolah-olah tidak membuka opsi pembetulan SPT,” tutur Winnie Hidayani, Senior Manager MUC Consulting.
Pemerintah perlu meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, memperbaiki sistem adminsitastrasi perpajakan, serta mengoptimalkan penegakan hukum—termasuk menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mendeteksi ketidakpatuhan wajib pajak berbasis data yang akurat.
Baca juga: Astronot Saja Tak Bisa Lari dari Pajak, Apalagi Crazy Rich
Karsino, Direktur MUC Tax Research Institute menilai, ”untuk memicu agar WP individu tidak setengah-setengah ikut PPS atau total, utamanya para high-wealth, mestinya ada janji dari pemerintah bahwa akan ada law enforcement pasca berakhirnya PPS. Pemerintah harus betul-betul kasih sinyal ke WP nakal agar ke depan jangan macam-macam lagi."
”Pemerintah juga harus mendorong transaksi keuangan non-tunai atau membatasi transaksi tunai agar semua terpantau dan terdata oleh sistem perpajakan,” tambah Yudhayani Eka, Director MUC Consulting.
Pemerintah perlu mengevaluasi tax amnesty dan PPS secara komprehensif untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan, serta efektifitasnya terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini perlu dilakukan agar pemerintah memiliki data yang objektif, valid dan dapat diandalkan untuk merumuskan kebijakan perpajakan berbasis bukti (evidence base policy) pada masa yang akan datang.
“Masih ada waktu untuk mengoptimalkan PPS. Jangan sampai PPS hanya mendapatkan penerimaan sesaat tetapi dalam jangka panjang tidak mencapai tujuan yang diharapkan, yakni meningkatnya kepatuhan sukarela wajib pajak,” tegas Prof. Haula Rosdiana
FGD perdana ini merupakan bagian dari serangkan program kerjasama antara FIA UI dengan MUC Consulting, yang akan diselenggarakan secara periodik. Tujuannya adalah untuk pertukaran informasi dan pemikiran antara akademisi, praktisi, dan juga pengambil kebijakan di sektor perpajakan. Program FGD ini juga diharapkan bisa berkontribusi dan menghasilkan rekomendasi yang positif dalam perbaikan sistem perpajakan Indonesia. ***
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.