Pengenaan Pajak Karbon Diundur Hingga Juli 2022
Wednesday, 30 March 2022
JAKARTA. Pemerintah menunda implementasi kebijakan pajak karbon yang sedianya berlaku mulai 1 April 2022 menjadi sekitar bulan Juli 2022.
Mengutip Bisnis.com, penundaan kebijakan yang diatur di dalam Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu dilakukan karena belum tuntasnya penyusunan aturan pelaksana.
Sedianya, ada empat aturan yang disiapkan pemerintah terkait pengenaan pajak karbon. Pertama Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang tarif dan DPP pajak karbon.
Kedua, RPMK tentang tata cara dan mekanisme pengenaan pajak karbon. Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP) tentang peta jalan pajak karbon dan keempat PP tentang subjek alokasi pajak karbon.
Rencananya, tarif pajak karbon akan ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon, dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Pengenaan pajak karbon akan dilakukan dalam beberapa tahap. Untuk tahap pertama, kebijakan ini akan dikenakan terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kemudian akan diperluas pada tahun 2025.
PLTU dianggap lebih mudah terkontrol sehingga kebijakan ini akan lebih mudah untuk dilaksanakan. Selain itu, penerapan pajak karbon pada PLTU akan menjadi acuan dalam menentukan ketika akan dilakukan perluasan.
Kebijakan Komprehensif
Adapun pengenaan pajak karbon merupakan salah satu paket kebijakan yang lebih komprehensif dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Paket kebijakan tersebut terdiri dari dua hal. Pertama instrumen perdagangan dan kedua instrumen non perdagangan.
Instrumen perdagangan terdiri dari perdagangan ijin emisi atau emission trading system (ETS), yaitu skema perdagangan yang memungkinkan perusahaan yang mengemisi lebih sedikit karbon membeli ijin emisi dari yang emisi karbonnya lebih kecil.
Kedua, offset emisi atau crediting mechanism, yaitu skema yang memungkinkan perusahaan yang menurunkan emisi dapat menjual kredit karbonnya kepada perusahaan yang memerlukan kredit karbon.
Sementara instrumen non perdagangan di dalamnya termasuk pajak karbon dan resul based payment, yaitu mekanisme pembayaran atas penurunan emisi.
Libatkan PPATK
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap ada keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyusun aturan pajak karbon. Pasalnya, pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup merupakan terbesar ketiga yang melakukan pencucian uang alias money laundring dan ilegal financing lainnya.
Mengutip Kontan.co.id, dengan terlibatnya PPATK dalam penyusunan aturan pajak karbon maka risio kebocoran dari perdagangan karbon dan ilegal trading bisa dimitigasi. Dalam konteks ini, PPATK diharapkan bisa ikut mencegah dan mendisrupsi. (sp)