OECD: 3 Pedoman Transfer Pricing yang Wajib Diketahui Perusahaan Multinasional!
Rama Ames Remonda,
Wednesday, 26 January 2022
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memperbarui pedoman penetapan harga transfer (transfer pricing) dan administrasi perpajakan terkait transaksi afiliasi perusahaan multinasional.
Beberapa acuan penting yang disempurnakan OECD antara lain terkait penetapan harga transfer atas transaksi keuangan, metode pembagian laba transaksi (transactional profit split), serta metode penilaian aset tak berwujud yang sulit diukur (hard-to-value intangibles).
Panduan terbaru transfer pricing tersebut tertuang dalam OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations 2022, yang rilis 20 Januari 2022.
Transaksi Keuangan
Pedoman penetapan harga transfer atas transaksi keuangan sejatinya telah diterbitkan terpisah dalam OECD Transfer Pricing Guidance on Financial Transaction 2020. Panduan ini kemudian dimasukkan dan dijabarkan kembali dalam OECD Transfer Pricing Guideline 2022, tepatnya di Bab X.
Terkait hal ini, OECD juga menekankan pentingnya penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) dalam transaksi keuangan intragrup perusahaan. Pada Bab I OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations 2022, OECD merekomendasikan langkah-langkah strategis bagi perusahaan untuk menghindari atau meminimalkan risiko bunga utang jatuh tempo.
Sebelumnya, dalam Transfer Pricing Guidance on Financial Transaction yang rilis pada Februari 2020, OECD mengingatkan potensi dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap transaksi keuangan perusahaan. Kala itu, OECD memperkirakan banyak perusahaan yang akan mengalami kesulitan membayar bunga dan utang jatuh tempo, terutama atas kesepakatan pinjaman yang diteken sebelum pandemi.
Untuk menyiasati kesulitan tersebut, banyak perusahaan yang diyakini melakukan restrukturisasi utang atau membuat kesepakatan pinjaman baru guna menurunkan beban bunga. Negosiasi kewajiban utang tersebut tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pula terhadap penetapan harga transfer intragroup perusahaan.
Metode Pembagian Laba
Pada Bab I pedoman transfer pricing yang baru, OECD juga menjelaskan kapan dan dalam kondisi seperti apa sebaiknya perusahaan menggunakan Transactional profit split method (PSM). PSM atau metode pembagian laba adalah metode penentuan harga transfer yang membagi laba gabungan kepada pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi berdasarkan kontribusi yang diberikan.
Dalam hal ini OECD memperbarui pendekatan PSM yang menjadi rekomendasi sebelumnya, serta memberikan contoh dan ilustrasi penggunaan metode pembagian laba dalam penetapan harga transaksi afiliasi.
Hard-to-Value Intangibles (HTVI)
Pedoman transfer pricing lain yang juga diperbarui OECD adalah terkait dengan aset tak berwujud yang sulit diukur. Hal ini terkait dengan Guidance for Tax Administration on the Application of the Approach to Hard-to-Value Intangibles yang pernah dirilis OECD pada Juni 2018.
Pedoman HTVI ini merupakan tindak lanjut dari proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 8, yang merupakan upaya preventif atas kemungkinan terjadinya penggerusan dan pengalihan laba melalui pengalihan asset tak berwujud intragrup perusahaan.
Secara khusus OECD menjelskan, transaksi afiliasi perusahaan multinasional menjadi perhatian karena peranannya semakin penting dalam aktivitas perekonomian. Di sisi lain, korporasi dihadapkan ketentuan pajak yang tidak selalu sama antar-yurisdiksi sehingga perlu adanya pedoman yang seragam.
Otoritas pajak di setiap negara/yurisdiksi juga dihadapkan tantangan yang tidak kalah kompleks, terutama dari sisi kebijakan dan administrasi. Untuk itu, OECD menekankan perlunya kerja sama lintas yurisdiksi guna mencegah terjadinya pemajakan berganda atas objek yang sama.
Melalui pedoman transfer pricing yang baru ini, OECD mengingatkan otoritas pajak untuk memastikan tidak terjadi pengalihan laba secara artifisial dan basis pajak yang dilaporkan perusahaan multinasional di yurisdiksinya mencerminkan kegiatan ekonomi yang wajar dan sebenarnya. Karenanya, penerapan prinsip kewajaran usaha secara konsisten diharapkan bisa memitigasi potensi konflik antara otoritas dengan wajib pajak. (Agust Supriadi)