Siapa yang Paling Diuntungkan dari Konsensus Pajak Global?
Asep Munazat Zatnika
|
Friday, 31 December 2021
Seperti kue yang dihidangankan di atas meja, begitulah esensi dari dua pilar konsensus pajak global bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pilar ke-1 ibarat potongan kue pertama, yang memberikan hak pemajakan bagi negara-negara berkembang atas penghasilan perusahaan-perusahaan multinasional. Sementara pilar ke-2, merupakan tambahan pajak yang sepertinya akan lebih banyak dinikmati negara-negara kaya.
Setelah berulang kali mengalami kebuntuan, kedua konsensus global tersebut akhirnya disepakati oleh negara-negara anggota inclusive framework OECD/G20 pada musim gugur 2021, tepatnya tanggal 8 Oktober. Permufakatan tingkat tinggi yang diyakini bakal mengubah arah kebijakan perpajakan dunia.
Sesuai labelnya “The Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy”, konsensus global ini diharapkan bisa menjadi solusi bersama dalam menghadapi tantangan perpajakan yang semakin dinamis di era ekonomi digital.
Pilar 1: Hak Pemajakan
Ada empat poin kesepakatan global dalam Pilar 1.
Pertama, hak pemajakan bagi yurisdiksi atau negara sumber atau lokasi pemasaran. Dalam hal ini, setiap perusahaan multinasional yang memiliki peredaran usaha secara global di atas 20 miliar euro harus mengalokasikan kembali lebih dari 25% keuntungannya untuk dibagikan kepada yurisdiksi tempat pelanggan atau pengguna jasanya berada.
Kedua, meningkatkan kepastian pajak melalui penyelesaian sengketa secara wajib dan mengikat (mandatory and binding dispute resolution) dengan pengaturan pilihan (an elective regime) guna mengakomodasi negara berkapasitas rendah.
Ketiga, penghapusan dan penghentian pajak atas jasa digital (Digital Services Taxes) dan pajak serupa lainnya yang relevan.
Keempat, penyederhanaan aturan penerapan prinsip kewajaran dalam keadaan tertentu, terutama berfokus pada negara-negara berkapasitas rendah.
Pilar 2: Pajak Minimum Global
Kemudian di Pilar 2, ada beberapa poin penting yang disepakati negara-negara G20 dan OECD.
Pertama, menerbitkan aturan Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15%. Pajak minimal tersebut menyasar semua perusahaan multinasional dengan peredaran usaha lebih dari 750 juta Euro setahun.
Kedua, mensyaratkan semua yurisdiksi—yang tarif PPh badan atas bunga, royalti, dan pembayaran lain kurang dari 9%--tunduk terhadap peraturan pajak (Subject to Tax Rule). Kepatuhan ini harus dituangkan dalam perjanjian bilateral dengan negara berkembang anggota Inclusive Framework agar tidak disalahgunakan.
Ketiga, mengakomodasi insentif pajak hanya untuk kegiatan bisnis yang substansial.
Menyoal Porsi Pemajakan
Pilar 1 ibarat amunisi bagi negara-negara pasar untuk sekuat tenaga mengejar bagian pajaknya yang selama ini hilang di antara celah-celah regulasi global.
Sedangkan Pilar 2 seperti rompi anti peluru bagi negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, untuk melindungi perusahaan-perusahaan multinasionalnya dari perburuan pajak negara-negara berkembang.
Kalau analogi perang terlalu kejam, mungkin kita bisa menggunakan perumpamaan ”potongan kue” di awal tulisan sebagai gambaran 2 pilar konsensus global.
Idealnya, kue dipotong sama besar untuk memberikan kenikmatan dan kebermanfaatan yang sama bagi semua pihak. Dalam hal ini negara-negara produsen atau kaya dan negara-negara pasar.
Namun yang terjadi, konsensus global ibarat kue yang sengaja dibuat untuk menghasilkan potongan yang asimetris. Kalau kita jeli melihat, pilar 2 memberikan pengaruh yang lebih besar bagi negara-negara kaya dalam konteks pemajakan global dibandingkan dengan yang diterima oleh negara-negara pasar.
Pilar 1, misalnya, lahir untuk mengakomodir aspirasi negara berkembang yang menuntut hak pemajakan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeruk keuntungan besar di pasarnya. Hak pemajakan kemudian diberikan kepada negara pasar, yang hanya boleh menyasar perusahaan multinasional dengan nilai peredaran bruto secara global lebih dari 20 miliar euro. Potongan kue pertama pun diberikan kepada negara-negara berkembang. Selamat.
Namun, negara-negara maju yang selama ini menikmati hak pemajakan paling besar pun sepertinya tidak ikhlas jika jatah kuenya digerogoti negara berkembang. Untuk itu, dicetuskanlah Pilar 2, terkait dengan penerapan pajak dengan tarif minimum 15% atas penghasilan perusahaan dengan peredaran usaha lebih dari 750 juta euro setahun.
Sekilas, kedua pilar mengatur dua hal yang berbeda. Tetapi kalau mau jeli melihat, perbedaan threshold tersebut akan menentukan siapa yang pada akhirnya mendapatkan porsi paling besar dari konsensus pemajakan global ini.
Sederhananya, kira-kira mana yang lebih banyak di dunia: perusahaan multinasional beromset lebih dari 20 miliar euro atau lebih dari 750 juta euro dalam setahun? Negara-negara berkembang silakan berhitung berapa banyak perusahaan multinasional raksasa yang bisa dipajaki.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya “Digitalization and Taxation in Asia” menyebut tidak banyak perusahaan multinasional di Indonesia yang masuk batasan threshold 20 muliar euro.
Pada akhirnya, lagi dan lagi, negara-negara maju yang sepertinya masih akan menikmati hak pemajakan paling besar dengan adanya Pilar 2.
Selain itu, dengan berlakunya Pilar 2 maka negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak bisa lagi memberikan insentif keringanan pajak yang jika dirata-rata tarif pajaknya menjadi lebih rendah dari 15%. Terlebih jika dibebaskan pajak.
Apabila ada perusahaan multinasional yang mendapat fasilitas keringanan atau pembebasan pajak oleh sebuah yurisdiksi maka perusahaan induknya diharuskan membayar pajak sebesar selisih dari 15% yurisdiksi pasarnya.
Sebab, ketentuan GLOBE yang berlaku di dalam Pilar 2 mengatur tentang Subject to Tax Rule (STTR), Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Payment Rule (UTPR).
STTR merupakan ketentuan yang memungkinkan negara asal mengenakan pajak terhadap perusahaan multinasional atas selisih pajak anak usaha (intragroup company) yang mendpatkan keringanan atau tidak dipajaki atau paling rendah sebesar 9%.
Penerapan STTR dilakukan melalui perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara negara anggota inclusive framework yang memiliki pajak rendah atau memberikan fasilitas keringanan pajak.
Sementara IIR merupakan ketentuan yang mengharuskan induk dari suatu grup usaha (ultimate parent entity) membayar pajak tambahan (top up tax) kepada yurisdiksi negara asalnya.
Kemudian, UTPR yang menegaskan bahwa biaya yang dibayar oleh perusahaan multinasional di negara domisili kepada afiliasinya di negara pasar dengan tarif pajak efektif di bawah 15% menjadi non-deductible.
Berbeda dengan UTPR, IIR dapat diterapkan hanya dengan membuat kebijakan domestik. Skema ini kemungkinan akan dilakukan oleh negara-negara maju, jika ada perusahaan intragrup yang mendapat fasilitas pajak di bawah 15%.
Namun, apabila negara maju sulit memungut tambahan pajak melalui skema IIR karena negara yang memberikan fasilitas pajak tidak mengadopsi kebijakan IIR, bisa menerapkan UTPR. Karena seperti halnya IIR, UTPR juga dapat berlaku hanya dengan membuat kebijakan domestik.
Dengan demikian, dibalik potensi tambahan penerimaan pajak, keberadaan pilar ke-2 juga bisa menjadi senjata ampuh untuk memukul iklim berusaha negara-negara yang sangat menghamba pada investasi.
Bagaimanapun, terutama bagi negara-negara berkembang, keringanan dan kemudahan pajak masih menjadi salah satu aspek penting dalam menarik minat pemodal datang. Jadi, kira-kira siapa yang paling diuntungkan dari konsensus pajak global?
(Asep Munazat Zatnika, Researcher MUC Tax Research Institute)
*Tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 27 Desember 2021
Kumparan.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.