PPN Jasa Keuangan, Dualisme Kebijakan Inklusi Ekonomi
Karsino Miarso,
Wednesday, 29 September 2021
Pemerintah mengusulkan agar jasa keuangan dan asuransi dikeluarkan dari daftar jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Konsekuensinya adalah pembiayaan, tabungan, dan investasi di sektor keuangan—yang selama ini bebas pajak—berpotensi dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Ini merupakan salah satu dari sekian banyak ikhtiar pemerintah untuk mendongkrak penerimaan perpajakan, yang seperti kita ketahui hampir tidak pernah optimal setiap tahunnya.
Bahkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terang-terangan mengakui bahwa pihaknya selama ini baru bisa mengumpukan 65,38% dari total PPN yang seharusnya dipungut. C-efficiency ratio PPN rendah karena terlalu banyak pengecualian barang dan jasa, fasilitas PPN dibebaskan atau tidak dipungut, serta tarif PPN 10% yang dianggap terlalu rendah.
Jasa keuangan dan asuransi kemudian dibidik untuk dipajaki karena masuk dalam sektor usaha yang timpang kontribusinya terhadap PDB dan PPN dalam negeri.
Sebenarnya kalau usulan pemerintah ini diluluskan parlemen, belum tentu juga mengatasi krisis penerimaan. Bukan tidak mungkin kebijakan ini justru akan memicu permasalahan lain yang lebih kompleks.
Tidak Sederhana
Sebelum kita membedah potensi masalah baru yang dapat timbul, baiknya kita tengok ke belakang terkait kebijakan PPN Indonesia dan alasan kenapa selama ini jasa keuangan masuk kategori non-JKP.
Sejak awal diberlakukannya PPN tahun 1985 sampai sekarang, Indonesia mengadopsi sistem VAT Eropa karena implementasinya yang relatif sederhana. Dalam hal ini metode yang digunakan adalah indirect substractive method atau invoice or credit method. Sederhananya, PPN harus dibayar dan dihitung berdasarkan pajak keluaran dikurangi pajak masukan.
Terkait dengan jasa keuangan atau pembiayaan, secara umum Uni Eropa mengecualikan jasa keuangan dari objek PPN. Alasannya, seperti yang dijabarkan OECD, cukup sulit untuk memajaki transaksi jasa keuangan atau pembiayaan. Terutama dalam mengidentifikasi nilai jasa intermediasi dan jasa keuangan lain dengan imbalan implisit, seperti; jasa penghimpunan dana masyarakat, jasa penyaluran kredit (pembiayaan), jasa anjak piutang, jasa kartu kredit dan jasa penjaminan risiko.
David Williams (Thuronyi, 1996) menjabarkan alasan Uni Eropa mengecualikan jasa keuangan dari pengenaan PPN: (1) menghindari kerumitan administrasi; (2) Menghindari kesulitan identifikasi nilai tambah jasa intermediasi dana atau nilai tambah suatu transaksi; dan (3) menghindari kesulitan identifikasi imbalan jasa keuangan dari biaya bunga sebagai nilai waktu uang, dan profit pengusaha, dan biaya lainnya.
Atas pertimbangan semua itu, Uni Eropa mengamanatkan negara-negara anggotanya untuk membebaskan PPN atas berbagai jasa keuangan seperti pinjaman; akun bank; dan transaksi uang, saham, dan obligasi (termasuk asuransi). Kecuali, atas jasa berbasis biaya eksplisit yang diberikan oleh lembaga keuangan tetap kena pajak, seperti; jasa penasihat keuangan dan penyewaan brankas (safe deposit boxes).
Prof. Gunadi juga menjabarkan pemikiran Alan A. Tait (1988), yang menyebutkan bahwa bunga sebagai jenis harga transaksi yang rumit, terlebih jika digabung dengan unsur lain, seperti biaya modal riil, tingkat inflasi dan biaya intermediasi. Karenanya, perbankan dan asuransi tidak tepat masuk sebagai objek PPN sehingga harus dikecualikan.
Apabila tetap dipaksakan, kesulitan yang timbul dalam pemajakan jasa keuangan/pembiayaan justru bisa menghilangkan pendapatan, distorsi ekonomi dan hilangnya keadilan atau netralitas nyata (Edwards & Mayer dalam Tait, 1988).
Selain itu, pengenaan PPN terhadap jasa keuangan/pembiayaan dapat menimbulkan perdebatan tanpa akhir (Auerbach dan Gordon 2002 dalam Pena, 2019), terutama terkait dengan perlakuan biaya transaksi.
Kerumitan itulah yang membuat negara-negara Uni Eropa memilih untuk tidak memungut PPN atas jasa keuangan/pembiayaan. Pun demikian Indonesia pastinya ketika dahulu mengikuti jejak Eropa.
Terlebih ada wacana pemerintah akan menerapkan skema multi-tarif PPN (0-15%). Skema ini akan semakin mempersulit penerapan mekanisme pajak keluaran-pajak masukan terkait kebijakan PPN jasa keuangan, pembiayaan, atau asuransi.
Suku Bunga dan Premi
Satu hal lagi yang menjadi concern penulis adalah dampak PPN jasa keuangan terhadap tingkat suku bunga perbankan dan premi asuransi.
Seperti kita semua tahu, dalam beberapa dekade terakhir Pemerintah bersama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) aktif mendorong pembiayaan inklusif. Terutama dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Mulai dari meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah hingga yang terakhir BI menerbitkan kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) guna mendorong fungsi intermediasi perbankan.
Upaya ini semakin penting terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang memperburuk kinerja hampir semua sektor usaha, terutama UMKM.
Untuk menstimulus perekonomian, Bank Sentral juga telah memangkas suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 250 basis poin selama periode Juni 2020-September 2021, dari 6% menjadi 3,5%.
Rezim suku bunga rendah ini bisa saja berakhir jika PPN atas jasa keuangan direstui DPR. Sebab, pengenaan PPN atas bunga otomatis akan menaikkan suku bunga pinjaman. Dampaknya, adalah ekonomi biaya tinggi yang semakin memberatkan UMKM dan pada gilirannya memicu kenaikan harga barang-barang konsumsi.
Begitu juga dengan PPN atas asuransi, yang tidak semata hanya investasi. Kebijakan ini sudah tentu akan meningkatkan premi asuransi dan berpotensi menurunkan jaminan kesehatan masyarakat.
Usulan kebijakan PPN ini justru menunjukkan inkonsistensi pemerintah. Di satu sisi mendorong inklusi ekonomi, di sisi lain menghambatnya lewat pajak. Dualisme.
Panulis memahami bahwa negara butuh fiskal yang sehat dan kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial tetap kondusif di tengah pandemi dan krisis. Sorotan publik terhadap lonjakan utang dan rendahnya penerimaan pajak tentu sangat membebani pemerintah.
Namun, hati-hati dalam memilih kebijakan. Jangan sampai sektor-sektor ekonomi yang erat dengan hajat hidup rakyat menjadi sasaran tembak.
Sudah banyak kajian dan masukan dari berbagai pihak untuk bagaimana meningkatkan kinerja fiskal—terutama penerimaan pajak—tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Mulai dari memperbaiki sistem administrasi, memperkuat pengawasan, hingga memajaki orang-orang kaya di negeri ini.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Harian Bisnis Indonesia, 28 September 2021 dengan judul "Problem PPN Jasa Keuangan"
Harian Bisnis Indonesia, 28 September 2021Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.