Penerapan Tiga PSAK Baru Picu Sengketa Pajak
Thursday, 15 April 2021
JAKARTA. Keberadaan tiga Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang baru berlaku akan memicu sengketa pajak.
Mengutip Bisnis Indonesia edisi Kamis (15/4), ketiga PSAK tersebut diantaranya PSAK 71 yang mengatur tentang instrumen keuangan, PSAK 72 yang mengatur tentang pendapatan kontrak dari pelanggan berdasarkan principle based approach dan PSAK 73 tentang sewa.
PSAK 71 dan PSAK 72 sejatinya telah disahkan sejak september tahun 2016, namun baru berlaku untuk pembuatan laporan keuangan tahun 2020, yang juga berdampak pada perubahan penghitungan pajak dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) badan tahun 2020.
Ketiga PSAK tersebut bisa memicu sengketa karena adanya potensi dispute atau perbedaan penafsiran antara wajib pajak dengan petugas pajak karena perubahan substansinya yang berubah dari PSAK sebelumnya.
Pertama, PSAK 71 memiliki potensi dispute karena hatrus mengakui keuntungan dan kerugian atau unrealized gains or losses berdasarkan valuasi periodik, yang belum terealisasi atas investasi saham atau surat utang.
Sementara itu, dari aspek PPh, keuntungan yang belum teralisasi itu bisa saja dianggap sebagai penghasilan atau bukan tergantung pendekatan mana yang digunakan, penafsiran secara tekstual atau kontekstual.
Baca Juga: Menyelaraskan Standar Akuntansi dengan Peraturan Pajak
Kedua, PSAK 72 yang menggantikan PSAK 23, memiliki potensi dispute karena kemungkinan timbulnya perbedaan penilaian atas pendapatan yang diterima perusahaan atas kontrak dengan pelanggan.
Menurut PSAK 72, pengakuan pendapatan harus menggunakan professional judgment yang penilaiannya bisa jadi berbeda dengan petugas pajak.
Ketiga, PSAK 73 bisa menimbulkan perbedaan tafsir antara perusahaan dengan petugas pajak karena berubahnya pos-pos laporan keuangan terkait sewa.
Direktur Eksekutif MUC tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai salah perbedaan tafsir antara wajib pajak dan petugas pajak memang kerap menimbulkan sengketa yang bisa menggerus penerimaan pajak karena terkikisnya kepatuhan material wajib pajak.
Namun demikian, kesalahan penghitungan karena multitafsir ini bukanlah pelanggaran berat sebab terjadi karena bukan kesengajaan. (ASP)