Bank Indonesia pada akhir Januari 2021 menegaskan bahwa Rupiah merupakan satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia. Penegasan ini merupakan buntut dari kabar terungkap dan ditangkapnya penyelenggara pasar Dirham belum lama ini. Kabar yang viral dan menjadi polemik ini menarik untuk dibahas, terutama kaitannya dengan ketentuan perpajakan yang memungkinkan pembayaran pajak menggunakan valuta asing (Valas).
Cerita ini bermula dari ditangkapnya Zaim Saidi, inisiator Pasar Muammalah di kawasan Depok, Jawa Barat. Mantan jurnalis cum penulis buku ini terancam pidana karena menyelenggarakan transaksi jual-beli menggunakan keping emas dan perak yang disetarakan dengan Dirham dan Dinar.
Karena viral dan menjadi perbincangan warganet, polisi pun menahan Zaim dengan tuduhan melanggar Pasal 9 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Intinya, kedua beleid tersebut melarang transaksi pembayaran menggunakan alat tukar selain Rupiah atau menolak Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Ancaman bagi pelaku yang melanggar Peraturan Hukum Pidana adalah pidana penjara paling lama 15 tahun, sedangkan pelanggaran atas UU Mata Uang terancam denda paling banyak Rp200 juta atau penjara paling lama 1 tahun.
Hal ini menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menilai Zaim sebagai pelopor transaksi dagang Dinar dan Dirham melanggar ketentuan mata uang tunggal Rupiah. Terlebih, Zaim mengambil margin 2,5% dari selisih harga emas dan perak PT Aneka Tambang ketika menentukan nilai koin Dinar dan Dirham.
Sementara itu, pihak-pihak yang kontra justru mempertanyakan konsistensi penegakan hukum atas penggunaan Bitcoin dan transaksi valas di daerah-daerah perbatasan Indonesia atau kawasan wisata yang banyak dikunjungi turis mancanegara. Tidak sedikit yang membandingkan praktik dagang di Pasar Muamallah dengan penyedia mesin permainan elektronik di mall-mall yang mengharuskan pemain menukar uang dengan koin khusus.
Tentu kita masih ingat bagaimana Bank Indonesia melarang penggunaan bitcoin atau mata uang virtual lainnya sebagai alat pembayaran di Indonesia. Meski dilarang, dari waktu ke waktu semakin banyak orang Indonesia yang investasi di Bitcoin.
Lalu pada awal 2019, BI juga melarang pembayaran menggunakan dompet digital Alipay dan WeChat di Indonesia. Pelarangan tersebut dilakukan menyusul ditemukannya sejumlah kasus turis asal Tiongkok yang bertransaksi menggunakan kedua aplikasi tersebut di sejumlah destinasi wisata Indonesia. Sikap BI kala itu lebih berfokus pada izin yang tidak dikantongi oleh perusahaan teknologi finansial milik konglomerat Tiongkok, Jack Ma dan Ma Huateng tersebut.
Sejauh ini tidak ada satu pun inisiator transaksi Bitcoin dan dompet digital asing tak berizin di Indonesia yang menjadi pesakitan hukum atau ditahan pihak keamanan. Dalam hal ini, penulis tidak ingin terjebak pada isu politik dan SARA, tertutama dalam proses hukum yang menjerat Zaim Saidi.
Pengecualian
Apabila kita mengamati UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi lain yang dilakukan di wilayah Indonesia. Bahkan pada 1 Juli 2015, BI menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 173/PBI/2015, yang isinya menegaskan kembali mengenai kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai dan non-tunai, baik berupa cek, bilyet giro, kartu kredit, kartu debit, kartu ATM, atau pembayaran elektronik lainnya.
Faktanya, kewajiban itu tak berlaku mutlak karena tidak semua aktivitas keuangan harus menggunakan rupiah. BI mengizinkan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak untuk membuat kesepakatan menggunakan mata uang lainnya (bukan rupiah) untuk pembayaran.
Pengecualian penggunaan rupiah dikhususkan atas transaksi-transaksi berikut:
-
Transaksi tertentu terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
-
Penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri. Pasal 7 dari Peraturan BI no. 17 menyatakan bahwa pengecualian hanya berlaku bila penerima atau penyedia hibah berdomisili di luar negeri;
-
Transaksi perdagangan internasional, yang mencakup: (a. kegiatan ekspor dan/atau impor barang ke/dari luar wilayah pabean Republik Indonesia; dan (b) kegiatan perdagangan jasa (suplai dan konsumsi) yang melampaui batas wilayah Negara (contohnya pembelian secara online atau call center atau perawatan pasien Indonesia di rumah sakit luar negeri).
-
Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing;
-
Transaksi pembiayaan internasional (apabila penyedia atau penerima pendanaan berdomisili di luar negeri);
-
Kegiatan usaha dalam valuta asing yang dilakukan oleh bank berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah;
-
Transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder berdasarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara; dan
-
Transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia, Undang-Undang Investasi Modal, dan Undang-Undang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Bahkan, badan usaha yang kesulitan mengimplementasikan peraturan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi non-tunai, dapat meminta pengecualian dari Bank Indonesia.
Penggunaan valas juga dimungkinkan dalam hal penjualan Surat Utang Negara (SUN) di pasar domestik. Terakhir, dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19 pemerintah mengatur tata cara pembayaran dan penyaluran dana pengadaan vaksin dalam valuta asing.
Pajak
Di bidang perpajakan, pengecualian penggunaan rupiah untuk penyetoran pajak dimungkinkan bagi Wajib Pajak tertentu yang melakukan pembukuan dan pelaporan SPT menggunakan mata uang asing. Ketentuan ini dilegalkan sejak tahun 1999 melalui Keputusan Bersama antara Dirjen Anggaran dan Dirjen Pajak No. KEP-306/PJ/1999, KEP-60/A/1999 dan terakhir diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
Sesuai PMK di atas, pengecualian penggunaan Rupiah untuk penyetoran pajak hanya berlaku bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat. Wajib Pajak tersebut dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29, dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak serta surat ketapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat.
Sementara itu, izin melakukan pembukuan dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat hanya diberikan kepada Wajib Pajak tertentu yang memenuhi kriteria dalam PMK No. 196/PMK.03/2007 sebagaimana terakhir kali diubah dengan PMK No.123/PMK.03/2019, yang meliputi;
-
Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal Asing;
-
Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya yang beroperasi berdasarkan kontrak/perjanjian dengan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara;
-
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi;
-
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait;
-
Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
-
Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Lembaga independen yang melakukan pengaturan dan pengawasan jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Otoritas Jasa Keuangan;
-
Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-Undang PPh; atau
-
Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Kebijakan mengenai pembukuan dan pelaporan SPT dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat tentu saja sudah sangat tepat dan sejalan dengan prinsip standar akuntansi yang berlaku, yakni PSAK No. 10. PSAK tersebut mengharuskan suatu entitas untuk melakukan pembukuan dengan menggunakan mata uang fungsional. Artinya, apabila suatu entitas memiliki mata uang fungsional dalam Dollar Amerika Serikat, maka pembukuan harus dilakukan dalam mata uang Amerika Serikat.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan ketentuan pajak yang tidak mengharuskan pembayaran menggunakan rupiah atau membolehkan valas? Dalam konteks ini, pembayaran pajak dimungkinkan menggunakan valas di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekalipun Wajib Pajak melakukan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, sejatinya pembayaran pajaknya tidak harus menggunakan mata uang yang sama. Apa gunanya acuan kurs yang dikeluarkan oleh Menterti Keuangan secara periodik jika tidak bisa dgunakan sebagai pedoman pembayaran pajak dalam Rupiah?
Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memberikan perlakuan berbeda bagi wajib pajak tertentu untuk bisa menggunakan mata uang asing di bidang perpajakan dan lainnya di wilayah NKRI. Jika ingin menjaga menjaga marwah Rupiah sebagai simbol kedaulatan Negara maka sudah waktunya meninjau kembali ketentuan yang memungkinkan pembayaran pajak dalam mata uang asing.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 18 Februari 2020