2021, Harap-Harap Cemas Pajak Indonesia
Wahyu Nuryanto,
Monday, 08 February 2021
Penulis menggandakan kata “harap” di judul guna menunjukan optimisme yang lebih besar ketimbang pesimisme di tahun 2021. Penting untuk selalu menjaga asa sekalipun dalam kondisi terburuk. Namun, “cemas” sangat manusiawi dan juga perlu dikelola sekalipun dalam kondisi baik-baik saja. Sebab, bencana dan krisis bisa saja datang tiba-tiba. Termasuk dalam menganalisa perpajakan, peluang dan tantangan akan selalu ada di tengah dinamika ekonomi dan politik global yang serba tak pasti.
Bicara tahun 2021 tentu tidak lepas dari peran tahun sebelumnya yang penuh dengan tantangan dan bencana. Adalah pandemi Covid-19 monster tak kasat mata yang merenggut jutaan nyawa penduduk dunia. Perang dagang AS-Tiongkok yang tak kunjung reda di tengah isu perpecahan Uni Eropa pasca Brexit, serta politik identitas yang memanas selama pemilihan Presiden AS turut menambah suram wajah dunia.
WHO mencatat lebih dari 83,9 juta penduduk dunia terpapar Covid-19 sepanjang tahun 2020 dan lebih dari 1,8 juta jiwa merenggang nyawa karenanya. Aktivitas ekonomi nyaris terhenti sejalan dengan kebijakan karantina dan pembatasan sosial di berbagai belahan dunia. Lembaga multilateral—seperti World Bank, IMF, dan OECD—pun ramai-ramai mengoreksi proyeksi ekonomi global 2020 dari yang tadinya optimistis tumbuh di atas 2% menjadi minus lebih dari 4%.
Resesi ekonomi Indonesia juga mendapatkan sorotan global di tengah kegamangan pemerintah merespons pandemi. Setelah tumbuh rata-rata 5% selama periode 2015-2019, laju ekonomi Indonesia seperti berhenti mendadak pada tahun 2020. Bahkan, ADB, World Bank, IMF, dan OECD kompak merevisi turun outlook ekonomi Indonesia 2020, dari awalnya optimis di atas 5% menjadi minus 1,5% hingga minus 2,4%. Ramalan lembaga multilateral tersebut tidak jauh beda dari rentang proyeksi pesimistis Pemerintah Indonesia—minus 2,2% hingga minus 1,7%.
Baca juga: Meluruskan Kekeliruan Fasilitas Bebas PPN Atas Barang Strategis
Arah pergerakan ekonomi sejalan dengan kinerja perpajakan. Sebab, besar atau kecilnya setoran pajak sangat tergantung dari kemampuan ekonomi (penghasilan dan daya beli) pembayar pajak. Karenanya, dalam kondisi yang normal pertumbuhan penerimaan pajak secara alami dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Apabila menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi (5,3%) dan inflasi (3,1%) di APBN 2020 maka setoran pajak idealnya tumbuh secara alami di atas 8%.
Namun, realitanya tidak seperti yang diharapkan. Kebijakan stimulus ekonomi berupa bantuan sosial dan insentif perpajakan tidak cukup untuk mencegah kejatuhan ekonomi nasional. Alih-alih tumbuh yang terjadi justru ekonomi anjlok di kisaran -2,2% hingga -1,7% meski laju inflasi berhasil dijaga di level rendah 1,68%. Kalau memperhitungkan kondisi alami perekonomian di atas maka seharusnya penerimaan pajak mengalami stagnasi atau kalaupun turun tidak lebih
dari minus 0,5%. Kenyataannya, penerimaan pajak anjlok hingga minus 19,7% pada tahun 2020 dan meninggalkan defisit fiskal dua kali lebih lebar dari yang seharusnya—hanya boleh 3% dari PDB.
Pandemi Baru?
Ceritanya tentu akan berbeda pada tahun baru 2021, yang seperti biasa selalu dibuka dengan pengharapan. Terlebih dengan ditemukannya vaksin Covid-19 dan dimulainya vaksinasi bertahap di sejumlah negara.
Sayangnya, selalu saja ada ketidakpastian baru. Ketika banyak negara berlomba-lomba memproduksi vaksin Covid-19 dan memulai vaksinasi, muncul kabar mutasi virus Corona yang menyebar lebih cepat dan mungkin lebih mematikan. Varian baru virus Corona yang mewabah di Inggris ini dijuluki “Super Covid” atau “Super Mutan”. Sementara itu, virus Nipah dengan tingkat kematian 75% menyebar cepat di Malaysia dan dikhawatirkan menjadi pandemi baru di Asia. Singkatnya, kedua jenis virus baru itu lebih berbahaya dan belum ditemukan vaksin atau obatnya.
Bidenomic
Tantangan dan harapan baru juga muncul dari Negeri Paman Sam. Setidaknya, terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS ke 46 membawa angin segar bagi publik dunia yang muak dengan kebijakan kontroversi Donald Trump.
Tidak seperti pendahulunya yang acuh, Biden yang berpasangan dengan Kamala Harris lebih peduli terhadap penanganan pandemi Covid-19. Beberapa jam setelah resmi dilantik, Biden menandatangani 15 perintah eksekutif yang ditujukan untuk meningkatkan tindakan pemerintah federal terkait krisis virus corona yang telah merenggut nyawa lebih dari 400.000 penduduk AS. Biden menargetkan 100 juta vaksinasi dalam 100 hari pertamanya menjabat.
Biden dan Harris juga melanjutkan program American Relief Plan dengan mengajukan tambahan anggaran subsidi dan bantuan sosial ke Kongres AS. Mantan Wakil Presiden Barack Obama ini juga membatalkan kebijakan Trump terkait penghapusan perlindungan bagi karyawan federal, termasuk aturan yang mempermudah perekrutan dan pemecatan pegawai negeri. Dalam hal ini, Biden meminta Departemen Tenaga Kerja memberikan upah minimum semua pegawai pemerintah federal sebesar US$15 per jam dan menjamin asuransi pengangguran bagi yang menolak pekerjaan yang membahayakan.
Tidak hanya itu, Biden membatalkan kebijakan Trump terkait perubahan iklim, imigrasi, dan hubungan rasial. Kembali bergabungnya AS dalam kesepakatan iklim Paris 2015 dan dibatalkannya Jalur Pipa Keystone XL yang kontroversial merupakan kebijakan Biden yang mendapatkan respons positif dari pemerhati lingkungan. Terpilihnya Biden dan Harris juga sangat diharapkan dapat meredakan ketengangan perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Terkait perpajakan, dalam kampanyenya Biden dan Harris berjanji akan mengenakan pajak yang lebih tinggi terhadap orang-orang kaya dan korporasi guna mewujudkan sistem pemajakan yang lebih adil. Politisi Partai Demokrat itu juga mendorong penggabungan pajak federal dan negara bagian.
Biden dan Harris menyiapkan tiga skenario kenaikan pajak. Pertama, menaikkan tarif pajak atas penghasilan di atas US$400 ribu menjadi 39,6% dari 37%. Kedua, menaikkan tarif pajak atas pendapatan investasi di atas US$ 1 juta menjadi 39,6%. Ketiga, mengenakan pajak penghasilan tambahan sebesar
12,4% bagi pekerja berpenghasilan lebih dari US$ 400 ribu setahun, yang beban pajaknya dibagi antara karyawan dan perusahaan.
Biden juga secara tegas menyatakan akan memajaki perusahan-perusahaan raksasa digital AS, seperti Apple, Google, Amazon, dan Microsoft. Terutama atas penghasilan yang diterima korporasi dari aktivitas bisnis di luar negeri. Intinya, apa yang akan dilakukan Biden sangat bertolak belakang dengan kebijakan Trump yang proteksionis, inward looking dan konfrontatif.
Kebijakan ekonomi Biden atau yang popular dengan istilah Bidenomic ini sedikit melegakan Pemerintah Indonesia. Terutama terkait rencana pemerintah memajaki subjek pajak luar negeri yang menjual barang atau jasa kepada konsumen di Indonesia secara daring.
Di era Trump, kebijakan pajak digital Indonesia dan sejumlah negara ditentang keras oleh Pemerintah AS karena dianggap diskriminatif dan membebani perusahaan-perusahaan digital AS. Setelah dipersoalkan oleh United States Trade Representative (USTR), sengkarut pajak digital Indonesia vs AS saat ini berlanjut ke World Trade Organization (WTO). Lagi-lagi kemampuan diplomasi dan negosiasi Indonesia kembali diuji sebagai negara yang berdaulat.
Baca juga: Menyoal Gugatan Uni Eropa Atas Pembatasan Ekspor Nikel Indonesia
Secara umum, tantangan perpajakan di tahun 2021 tidak kalah pelik dibandingkan dengan tahun 2020. Apabila tahun lalu ujian terberat adalah pagebluk Covid-19 yang memicu resesi ekonomi, tahun 2021 tantangannya bertambah dengan mewabahnya Super Covid dan virus Nipah. Selain itu, rentetan bencana alam dan non-alam juga menjadi tantangan pembuka di awal tahun yang butuh penyikapan serius. Semua itu belum diperhitungkan oleh pemerintah maupun lembaga multilateral ketika memproyeksi atau menyusun target-target perekonomian 2021, termasuk setoran pajak.
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5% dan inflasi 3% maka secara alamiah idealnya penerimaan pajak tahun 2021 tumbuh minimal 8%. Namun di APBN 2021, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp1.229,6 triliun atau hanya tumbuh 2,6%. Pemerintah beralasan, target disusun dengan mempertimbangkan kembali peran pajak dalam mendukung pemulihan ekonomi. Percepatan restitusi PPN, insentif PPh 22 impor, pajak ditanggung pemerintah, serta tax holiday dan tax allowance adalah sederet fasilitas fiskal yang akan kembali dilanjutkan pada tahun ini.
Dengan target pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan alamiahnya, seharusnya tidak ada alasan bagi otoritas pajak untuk kembali mengulang shortfall. Perluasan basis pajak dengan mulai menggencarkan pemajakan transaksi ekonomi secara elektronik idealnya bisa mengompensasi penurunan setoran pajak dari sumber-sumber konvensional yang terdampak pandemi.
Porsi underground economy yang masih besar juga menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak. Dalam hal ini, ekstensifikasi pajak sebaiknya menggandeng pemerintah daerah dengan menyasar ke sektor usaha informal.
Selain itu, juga diperlukan transformasi sistem pelayanan pajak yang mengedukasi, memudahkan, sekaligus adaptif dengan gaya hidup wajib pajak yang semakin serba digital. Dengan kata lain, pengembangan teknologi informasi perpajakan menjadi keharusan guna mengoptimalkan pelayanan, memperkuat pengawasan, sekaligus meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak secara sistematis.
Terakhir, menyoal efektivitas pemanfaatan data dan informasi perpajakan dari pihak ketiga, seperti bank atau lembaga keuangan. Implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) dan Undang-
Undang tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memerlukan koordinasi lintas kelembagaan agar efektif dalam meningkatkan basis pajak. DJP juga perlu dukungan otoritas lain yang berwenang untuk membatasi transaksi tunai untuk bisa menyukseskan misi-misinya.
Intinya, jangan sampai seperti ayam dan telur yang selalu mencari asal usul. Pemerintah dan otoritas pajak tidak bisa selalu berdalih "shortfall karena target ekonomi dan penerimaan pajak yang ketinggian". Banyaknya insentif perpajakan seharusnya juga tidak menjadi alasan jika dilakukan tepat sasaran.
Semoga, meskipun di tengah situasi ketidakpastian, pemerintah sukses mengamankan penerimaan pajak tahun ini.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di CNNIndonesia.com, 5 Februari 2020
CNNIndonesia.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.