Opinion

Peluang, Tantangan, dan Potensi Korupsi Sovereign Wealth Fund

Mawla Robbi, Tuesday, 29 December 2020

Peluang, Tantangan, dan Potensi Korupsi Sovereign Wealth Fund

Pemerintah Indonesia membentuk lembaga khusus untuk mengelola investasi dana abadi atau Sovereign Wealth Fund (SWF). Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) ini diharapkan bisa menyediakan alternatif pembiayaan pembangunan yang bukan berbasis pinjaman. melainkan berasal dari penyertaan modal. Sebelum resmi beroperasi tahun 2021, berbagai risiko investasi harus diperhatikan LPI, terutama potensi korupsi.   

Sovereign Wealth Fund (SWF) sejatinya bukan barang baru di dunia, meskipun sampai saat ini belum ada definisi baku mengenai ini. Ide awal SWF sebenarnya berfokus pada pengelolaan surplus neraca berjalan yang dipisahkan dari neraca pemerintah, untuk kemudian dikelola sebagai dana investasi. 
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam Global Financial Stability Report (Oktober 2007), mendefinisikan SWF sebagai dana investasi spesial yang dibuat atau dimiliki oleh pemerintah untuk menguasai aset-aset asing demi tujuan jangka panjang. Tujuan yang dimaksud terkait dengan sejumlah kepentingan: (1) stabilisasi keuangan; (2) menabung untuk generasi masa depan; (3) cadangan investasi korporasi; (4) dana pengembangan; dan (5) pengelolaan dana cadangan pensiun. 

Generasi awal pembentukan SWF dilakukan oleh Kuwait pada tahun 1953. Negara yang berada di Teluk Persia itu setiap tahunnya mencadangkan 10% dari surplus pendapatan dari penjualan minyak mentah sebagai SWF. Konsep pengelolaan surplus neraca berjalan ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab (1977) dan Singapura (1981).  

Sementara Indonesia, meskipun neraca berjalannya jauh dari kata surplus atau defisit, telah menggunakan pendekatan SWF dalam pengelolaan aset negara melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Bedanya, LPI yang baru dibentuk ini bertanggung jawab langsung terhadap presiden.  

Modal & Kewenangan Besar 

Tidak seperti PT SMI yang harus tunduk pada Undang Undang Perseroan Terbuka atau Undang Undang BUMN, LPI dibentuk oleh  undang-undang dan peraturan khusus. LPI juga bukan badan layanan umum seperti halnya PIP, yang harus mematuhi segala ketentuan keuangan dan perbendaharaan Negara. Dengan demikian, lembaga Sovereign Wealth Fund ini memiliki fleksibilitas dan diskresi yang lebih luas dalam menjalankan skema investasi komersial.  

Payung hukum pembentukan LPI adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang secara spesifik diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.   

Pemerintah menetapkan modal LPI sebesar Rp75 triliun atau setara dengan US$5 miliar. Untuk penyertaan modal awal dianggarkan sebesar Rp15 triliun atau  sekitar US$1 miliar melalui APBN 2020. Sisanya akan disuntik bertahap bisa dalam bentuk dana tunai, barang milik negara, piutang negara dan/atau saham negara di BUMN atau perseroan terbatas, dan sumber lainnya. Dengan kata lain, pemerintah memiliki fleksibilitas lebih besar dalam mengelola aset-aset BUMN melalui LPI. 

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengelola aset negara yang dipisahkan, LPI memiliki enam kewenangan utama, yakni: (1) penempatan dana dalam instrumen keuangan; (2) pengelolaan aset; (3) bekerja sama dengan pihak lain, termasuk entitas dana perwalian (trust fund); (4) menentukan calon mitra investasi; (5) memberikan dan menerima pinjaman; dan (6) menatausahakan aset. 

Dengan kewenangan yang besar, LPI idealnya bisa  menjadi penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah. Terutama dalam menyediakan alternatif pendanaan selain dari APBN dan perbankan, dengan tingkat risiko pembiayaan yang lebih rendah dibandingkan keduanya. Karena kalau kita bicara soal pembiayaan atau pinjaman perbankan maka ada isu beban bunga atau risiko kurs yang dapat membebani pelaksanaan proyek.  

Berbeda halnya jika pembiayaan pembangunan menggunakan skema investasi. Dalam hal ini, potensi keuntungan dan risiko kerugian menjadi dua hal yang harus ditanggung bersama investor. LPI juga dapat menggunakan dana yang dihimpunnya untuk diinvestasikan di badan hukum asing atau di proyek negara lain.  

Secara badan hukum, LPI adalah lembaga khusus di luar pemerintah (sui generis) yang memiliki struktur mirip dengan perseroan terbatas. Dengan kewenangan khusus untuk mengatur aset dan kerja sama sendiri, LPI punya keleluasaan untuk mengelola investasi tanpa harus terhambat birokrasi dan regulasi.  

Selain itu, meskipun sepenuhnya dimiki oleh pemerintah, namun LPI merupakan badan hukum privat yang tanggung jawab dan kepemilikan asetnya dipisahkan. Dengan demikian, jika terjadi sengketa hukum baik di tingkat domestik maupun internasional, LPI dapat disejajarkan dengan korporasi atau badan hukum privat yang lain. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara sebagai pemilik modal LPI hanya terbatas kepemilikan modal. 

Kalau sebelumnya PIP tidak leluasa atau bahkan tidak kuasa menjadi kepanjangantangan negara dalam proses divestasi sejumlah korporasi asing, maka dengan terbentuknya LPI seharusnya tidak ada lagi isu soal itu. Sebab, LPI diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan akuisisi, pengelolaan aset, restrukturisasi perusahaan, hingga divestasi. Semua itu bisa dilakukan langsung maupun tidak langsung oleh LPI, baik dilakukan sendiri, melalui pihak ketiga, atau dengan membentuk entitas khusus berbadan hukum Indonesia ataupun asing.  

Tidak hanya itu, LPI juga dapat menunjuk mitra investasi yang memenuhi kriteria tertentu. LPI juga dapat mengalihkan aset yang dimilikinya untuk dapat dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan. Artinya, aset negara atau BUMN yang dialihkan ke LPI dapat dialihkan kembali sebagai setoran modal LPI ke perusahaan patungan.  

Keberadaan LPI juga bisa mendukung skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang dalam pelaksanaannya kerap terhambat persoalan instabilitas politik atau inskonsistensi kebijakan karena pergantian rezim.  

Terkait pembiayaan, LPI tidak hanya bisa mencari pinjaman tetapi juga bisa memberikan pinjaman, yang tentu saja harus disertai dengan penjaminan dan analisis risiko yang layak. Dalam hal kerja sama dengan skema trust fund, LPI dapat memberikan atau menerima kuasa kepada entitas dana perwalian. Skema ini mirip dengan fund manager atau trust yang lazim dipraktikan di pasar modal. Fund tersebut pun dapat dikelola melalui reksadana, Kontrak Investasi Kolektif (KIK) atau skema lainnya.  

Daftar Negatif Investasi 

Meskipun memiliki kewenangan luas terkait pengelolaan aset negara dan menghimpun modal domestik maupun asing, namun LPI tidak sepenuhnya bebas berinvestasi di dalam negeri. Terlebih jika investasi dilakukan secara langsung melalui perusahaan patungan dengan pemodal asing. Hal ini terkait dengan ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi  kepemilikan asing di sektor usaha tertentu. Seperti di sektor perdagangan dan konstruksi, investasi asing dibatasi maksimal 67%. Bahkan di sektor ritel haram bagi pemodal asing untuk masuk karena 100% diperuntukan bagi pemodal dalam negeri. Sementara di sektor keuangan, restu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi prasyarat untuk investasi asing.  

Karenanya, pemerintah perlu mempertegas status dana asing yang dikelola LPI, misal dengan pola joint operation, apakah termasuk subjek DNI atau bukan. Penyesuaian regulasi yang berpotensi menghambat investasi LPI juga perlu dilakukan agar tidak menghambat skema Sovereign Wealth Fund yang selalu digembar-gemborkan pemerintah.  

LPI juga harus memperhatikan isu politik internasional, terutama sebelum menempatkan modal di sektor-sektor strategis yang sebagian atau keseluruhan dananya berasal dari Sovereign Wealth Fund atau perusahaan yang dikontrol pemerintah asing. Misalnya, sektor energi dan infrastruktur. Ambil contoh ketegangan politik Rusia dan Ukraina, yang kemudian memengaruhi kebijakan Gazprom untuk menghentikan ekspor gas ke Ukraina pada musim dingin tahun 2006.  

Stabilitas nilai tukar dan risiko depresi ekonomi juga harus menjadi alarm bagi LPI sebelum menyuntikan modal ke pasar modal dan pasar uang. LPI harus belajar dari SWF Kuwait yang kehilangan hampir 50% modalnya pada saat krisis ekonomi 2008 akibat kejatuhan harga saham dan minyak global. Kala itu, SWF Kuwait merugi hampir US$5 miliar dari hasil investasi di  Citigroup dan Merrill Lynch. 

Selain risilo ekonomi dan politik, LPI ketika investasi melalui perusahaan asing juga dihadapkan pada sejumlah tantangan terkait isu hak kekayaan intelektual (HKI), resiprositas dan transparansi. Sederhananya, investor asing tidak hanya dimungkinkan mengakses riset, desain dan pengembangan atas HKI tetapi juga bisa saja menduplikasi di negara asalnya. Meskipun dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten diatur bahwa perjanjian lisensi tidak boleh membuat ketentuan yang dapat merugikan kepentingan nasional Indonesia, namun pengalihan paten dari anak perusahaan ke induk yang merupakan pemegang saham mayoritas merupakan hal yang lazim dilakukan. 

Hal ini erat kaitannya dengan prinsip resiprotas atau timbal balik. Lazimnya, negara tujuan investasi SWF biasanya juga menuntuk hak investasi yang sama perusahan-perusahannya di negara mitra.  

Intinya, LPI perlu pedoman yang jelas dalam menguji kelayakan calon investor, terutama investor asing. Terutama terkait dengan risiko kendali dan kepentingan asing terhadap perekonomian dan kedaulatan nasional, khususnya di bidang-bidang usaha strategis dan menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Dalam hal ini perlu dibentuk regulasi khusus untuk menguji siapa pengendali utama atau ultimate shareholder dari investor tersebut, kemudian menentukan efek-efek yang mungkin timbul dari investasi terhadap perekonomian dan keamanan nasional jangka pendek hingga jangka panjang, dampak kepada kontrol dan produksi domestik, pengalihan teknologi dan HKI, serta dampak terhadap sosial dan lingkungan. 

Berkaca pada The Foreign Investment and National Security Act of 2007 (FINSA) dan The Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS). Kedua instrumen ini menjadi penjaga gerbang kedaulatan dan keamanan nasional Amerika Serikat atas investasi dan transaksi-transaksi yang melibatkan dana pemerintah asing, baik melalui SWF maupun BUMN asing. Pengujian yang dilakukan oleh CFIUS dijadikan sebagai pendataan terhadap investasi asing yang akan masuk ke Amerika di sektor-sektor yang sensitif dan strategis. Jika terdapat risiko yang masih dapat ditanggulangi maka permintaan komitmen bersama dapat dilakukan antara calon investor atau mitra asing dengan SWF. Namun, jika tidak dapat ditanggulangi maka SWF perlu meminta pertimbangan Presiden dan rekomendasi senat untuk dapat meneruskan transaksi tersebut.  

Awas Korupsi! 

Isu berikutnya yang tidak kalah penting adalah transparansi. Hal ini biasanya selalu menjadi perhatian investor. Meskipun regulasinya menekankan bahwa pengelolaan LPI dilaksanakan dengan prinsip transparansi, namun tanpa adanya peraturan teknis dan supervisi, poin itu rentan terabaikan.  

Karenanya, kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang tidak ingin skandal korupsi 1MDB terjadi di LPI, tampaknya cukup beralasan. Sebab, potensi untuk terjadinya tindak pidana korupsi terbuka lebar mengingat dana kelolaan LPI yang sangat besar. Tampaknya, janji profesional dan pakta integritas saja tidak cukup bagi LPI. Kedua hal itu pada kenyataannya tidak menjamin perusahaan-perusahaan pelat merah terbebas dari gratifikasi dan korupsi.  

Perlu ada supervisi yang lebih ketat dan tegas dalam pelaksanaan Sovereign Wealth Fund di Indonesia, terutama untuk membebaskan LPI dari intervensi politik dan kepentingan pihak-pihak tertentu yang sering kali justru menjerumuskan. Publik benar-benar harus memelototi transparansi LPI, mulai dan penyusunan regulasi, seleksi direksi dan komisaris, hingga tahapan tender dan pelaksanaan investasi (pengelolaan aset negara). Semoga LPI dikelola oleh orang-orang kredibel yang bukan sekedar titipan partai politik, dan tidak alergi terhadap kritik publik. 

**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 24 Desember 2020

Kumparan.com

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.