Bicara Pajak Penelitian Bareng Dokter
Tuesday, 15 September 2020
Bicara Pajak Penelitian Bareng Dokter
JAKARTA. Penelitian sering kali diasosiasikan sebagai kegiatan yang berorientasi sosial, karena tidak bisa dipisahkan dari kepentingan pendidikan, pengabdian masyarakat atau pengembangan sumber daya manusia. Terutama terhadap penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk tujuan nirlaba.
Namun, meski dilakukan oleh lembaga yang mengaku non profit, seperti lembaga pendidikan, ada aspek pajak yang kerap membayangi para peneliti ketika menjalankan sebuah proyek penelitian. Sebab, pajak hanya akan melihat transaksi, tidak hanya melihat pihak yang melakukan transaksi.
Hal ini telah menjadi diskursus antara peneliti, terutama yang tidak memiliki latar belakang pajak dengan pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Terkait hal tersebut, Do Research, Social Service and Inovation (D'ROSSI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), menggelar diskusi yang membahas Institustional Fee dan Pajak pada Kegiatan Riset, Pengabdian Masyarakat dan Inovasi. Acara tersebut digelar pada tanggal 29 Agustus 2020, melalui aplikasi ZOOM dan dihadiri oleh ratusan peneliti.
Dalam kesempatan tersebut Shinta Marvianti, Senior Manager Tax Dispute MUC Consulting menyampaikan bahwa pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat baik pribadi ataupun badan. Ada empat jenis pajak yang terkait dengan kegiatan penelitian, pertama Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh pasal 4 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Masing-masing pajak tersebut tidak berlaku sama untuk semua peneliti, tergantung dengan sifat penelitian dan siapa yang melakukan penelitian tersebut. Misalnya, untuk PPh Pasal 21 akan berbeda tarif dan mekanisme pembayarannya antara peneliti yang berstatus pegawai tetap PNS, Non PNS dan peneliti yang berstatus bukan pegawai.
"Peneliti yang berstatus pegawai tetap PNS atas honor penelitian yang dilakukan dikenakan PPh Pasal 21 final,"ujar Shinta.
Sementara PPh pasal 21 yang dikenakan terhadap bukan pegawai tidak bersifat final, dan dianggap sebagai honorarium, komisi atau fee. Sedangkan PPh pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang diterima atas royalti hasil penelitian.
Tergantung Motif Penelitian
Dalam kesempatan tersebut Direktur Keuangan Universitas Indonesia (UI) Titi Muswanti Purwanti menambahkan, masalah lain yang sering muncul adalah dispute terkait kewajiban pajak atas penghasilan hibah yang diterima lembaga penelitian.
Menurut Titi, untuk menilai apakah ada kewajiban perpajakan atas penghasilan tersebut perlu dilihat dari beberapa aspek. Pertama, apakah penelitian yang dilakukan termasuk kedalam jasa kena pajak, dan kedua, apakah ada kontraprestasi yang muncul dalam perjanjian kerjasama penelitian tersebut, atau tidak.
Jika penelitian tersebut bukan termasuk kedalam jasa kena pajak, maka atas penghasilan tersebut tidak akan dikenakan PPh pasal 23. Begitupun jika tidak ada kontraprestasi yang terjadi dalam penelitian, maka tidak akan terhutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Yang dimaksud kontraprestasi adalah timbal balik yang dijanjikan lembaga peneliti terhadap pemberi dana. Indikator lainnya bisa dilihat dari penggunaan hasil penelitian, apakah digunakan secara ekslusif untuk kepentingan pemberi dana atau bisa berupa kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas penelitian. (asp)