Mengenal Bapak Pajak Indonesia Radjiman Wedyodiningrat
Tuesday, 14 July 2020
Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak melulu soal peran besar Soekarno dan Muhammad Hatta. Kalau keduanya adalah pemeran utama, seperti halnya drama, selalu ada tokoh lain di balik layar yang perannya tidak kalah penting dalam membidani kelahiran Indonesia menjadi Negara yang berdaulat dan diakui dunia. Dia tidak banyak bicara, jarang tampil layaknya Sang Proklamator, tetapi jeli dalam menyusun pilar-pilar negara yang berserakan dan nyaris luput dari pengamatan.
Adalah Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952), Dokter Jiwa yang punya andil besar dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar 1945. Beliau pula, cerdik cendikia yang mengusulkan agar pemungutan pajak di Indonesia diatur secara hukum. Atas usulannya tersebut, pajak untuk pertama kalinya dibahas dalam sidang Panitia Kecil Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia–Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI–PPKI) yang dia pimpin. Kata “pajak” kemudian muncul dalam draf kedua UUD yang disampaikan BPUPKI-PPKI pada 14 Juli 1945.
Atas dasar itu, Muhammad Hatta memutuskan untuk memasukan pajak dalam Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sejarah itu yang kemudian membuat Radjiman Wedyodiningrat dikenang sebagai Bapak Pajak Indonesia dan tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan sebagai Hari Pajak Nasional.
Sejarah Pajak
Sejatinya, pemungutan pajak di Nusantara telah berlangsung sejak era kerajaan yang diawali dengan konsep upeti. Dalam Buku Profil Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014) dijelaskan, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ketika dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), diberi hak octrooi yang salah satunya adalah mencetak uang dan melakukan kebijakan perekonomian. Sejak tahun 1600-an, VOC mengeluarkan kebijakan untuk menambah isi kas negara dengan menetapkan peraturan verplichte leverentie (kewajiban menyerahkan hasil bumi pada VOC), contingenten (pajak hasil bumi, pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah agar harganya tinggi, dan preangerstelsel (kewajiban menanam pohon kopi).
Akibat terjadinya keadaan ekonomi yang memprihatinkan dikarenakan adanya peraturan agraria Laissez faire laissez passer–perekonomian diserahkan pada pihak swasta (kaum kapitalis)—yang dilakukan atas desakan kaum Humanis Belanda, pemerintahan Hindia Belanda membentuk Departement van Financien pada tahun 1924. Sejak itu, pajak dipungut secara kelembagaan melalui 3 Djawatan di bawah Departemen Van Financien: (1) Djawatan Padjak; (2) Djawatan Bea Cukai; dan (3) Djawatan Padjak Hasil Bumi.
Pada Zaman Jepang, Departemen Van Financien Berganti Nama Menjadi Zaimubu dan ketiga Djawatan tersebut digabungkan (1942). Sayangnya, pajak yang dipungut sebelum kemerdekaan kurang mencerminkan rasa keadilan, tidak transparan, dan sifatnya lebih menunjukan superioritas penguasa kepada rakyatnya. Keprihatinan ini yang menjadi landasan Radjiman mengusulkan agar dibuat rambu-rambu hukum pemungutan pajak.
Dokter Rakyat
Jauh sebelum dikenang sebagai Bapak Pajak Indonesia, Radjiman Wedyodiningrat lebih dikenal sebagai Dokter Rakyat. Dalam perjalanan karirnya, mengutip Liputan6.com, dia pernah menetap di tengah-tengah warga Ngawi yang tengah diserang wabah pes di tahun 1934. Dia juga aktif memberdayakan dukun bayi di daerah tersebut guna mencegah kematian ibu dan bayi saat melahirkan.
Radjiman sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat, terutama yang tidak mampu. Itu sebabnya dia diangkat menjadi dokter Keraton Surakarta dan mendapat gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dan tambahan nama Wedyodiningrat. Dia juga tercatat pernah menjadi dokter di Rumah Sakit Jiwa Lawang, Jawa Timur, yang namanya kemudian diabadikan pada rumah sakit tersebut: Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Dilansir dari Historia.id, Radjiman lulus dari Sekolah Dokter Bumiputera (Stovia) sebagai “dokter jiwa” pada 1898. Kemudian, dia melanjutkan pendidikan di Belanda, Berlin, dan Paris serta dinobatkan sebagai dokter ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan.
Aktivis Perjuangan
Di tengah kesibukannya sebagai dokter, Radjiman juga terlibat aktif dalam pergerakan kaum intelektual di zaman perjuangan. Liputan6.com mewartakan, Radjiman ikut berperan dalam lahirnya organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua organisasi tersebut pada 1914-1915. Ketika memimpin Boedi Oetomo, Radjiman mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah menyusul pecahnya Perang Dunia I. Usulan tersebut ditolak Pemerintah Belanda, dan sebagai gantinya Radjiman ditunjuk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Setelah itu, Radjiman menjadi aktivis Committee van da Javasche Onwikkeling (Java Instituut) dan Indonesiasche Studie Club.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Radjiman juga aktif menyebarkan aspirasinya melalui coretan pena. Dia sempat menerbitkan majalah Timbul yang digunakan sebagai sebagai wadah untuk aspirasi politiknya secara halus.
Sepak terjangnya itu yang membuat Radjiman kemudian dipercaya menduduki posisi-posisi penting semasa penjajahan Jepang. Karir tertingginya adalah sebagai Ketua BPUPKI dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pasca Indonesia merdeka.
Radjiman Wedyodiningrat tutup usia pada 20 September 1952 dan dianugerahkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2013. (AGS)