Menguji Kredibilitas Fiskal Saat Krisis & Pandemi Covid-19
Sugianto
|
Wednesday, 22 April 2020
Krisis ekonomi seperti penyakit kambuhan, terutama pasca depresi besar (Great Depression) di zaman Malaise (1929). Dia menyerang kesehatan suatu negara, kawasan, atau bahkan dunia secara bergantian, yang pemicu dan episentrumnya bisa berbeda pada setiap kasusnya. Tahun ini, 2020, penyakit kambuhan itu kembali menyerang hampir seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Adalah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai sumber penyakit krisis global kali ini. Virus ini telah membunuh lebih dari 177 ribu jiwa, menginfeksi lebih dari 2,5 juta orang, dan memenjarakan miliaran penduduk dunia di rumah masing-masing. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara dan urutan ke-36 dari 212 negara di dunia yang terpapar, berdasarkan data WHO yang dirilis worldometers.info.
Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, tetapi juga mengoyak rasa kemanusian, mendisrupsi adab pergaulan sosial, serta merusak tatanan ekonomi liberal yang telah terbangun sejak perang dunia II. Untuk menghentikan penyebarannya, hampir setiap negara membatasi—atau bahkan ada yang melarang—kegiatan sosial dan aktivitas ekonomi. Sejumlah lembaga keuangan internasional serempak memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020, dari yang sebelumnya positif menjadi mendekati atau bahkan negatif. Bahkan, IMF memperingatkan akan kemungkinan bahaya Second Great Depression jika wabah mematikan ini tidak segera dikendalikan. Karenanya, kebijakan stimulus ekonomi menjadi langkah paling realistis bagi negara-negara yang terdampak pandemi.
Dejavu
Di Indonesia, Covid-19 telah memaksa sebagian besar pemberi kerja menghentikan operasional bisnisnya. Ada yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), ada pula yang merumahkan karyawan tanpa memberikan upah. Tidak sedikit pula perusahaan yang mencoba bertahan—itupun tidak tahu sampai kapan—dengan menerapkan work from home.
Sejauh ini, berdasarkan perhitungan Kementerian Tenaga Kerja, lebih dari 2 juta pekerja terkena PHK. Keputusan sulit yang harus diambil pengusaha dan kabar buruk yang harus diterima pekerja. Kondisi yang jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan, akibat ketiadaan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ketika pengangguran merajalela dan kemiskinan menganga, yang juga patut diwaspadai adalah gejolak sosial dan politik, serta risiko gangguan keamanan.
Indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan pemburukan. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat terjun bebas dan menyentuh Rp16,824.71/USD (kurs tengah Bank Indonesia) pada 2 April 2020, yang merupakan level terparah sepanjang sejarah Indonesia. Kepanikan juga terjadi di pasar modal, menyusul rontoknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke kisaran 4.000 hanya dalam hitungan hari, setelah sebelumnya susah payah menembus level 6.000.
Baca juga: Corona, Oil War, dan Peliknya Ekonomi Kita
Sementara kinerja ekspor dan impor, yang memang sudah melemah dalam beberapa tahun terakhir, semakin bertambah parah dengan adanya pembatasan lalu lintas orang dan barang di berbagai negara. Di sisi lain, permintaan yang meningkat akan sejumlah kebutuhan pokok dan barang medis, menimbulkan kelangkaan dan berpotensi memicu lonjakan harga. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia menjaga inflasi rendah terancam ambyar jika masalah rantai pasok tidak segera ditangani dengan baik. Secara umum, semua kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena berisiko menghadirkan stagnasi atau bahkan menyeret ekonomi Indonesia ke dalam jurang resesi.
Cerita di atas seperti membawa ingatan kita kembali ke masa-masa krisis di penghujung Orde Lama atau bahkan bisa lebih parah dari krisis ekonomi dan politik 1997 yang memicu kejatuhan Orde Baru. Bedanya pada krisis-krisis sebelumnya, sektor UMKM masih bisa bertahan sehingga bisa menjadi penyangga ekonomi untuk bangkit. Namun kali ini, Covid-19 menghantam seluruh lapisan ekonomi tanpa pandang bulu sehingga dampaknya sulit dibayangkan. Instrumen fiskal kembali dituntut peran pentingnya dalam memitigasi dampak negatif krisis ekonomi global, sekaligus meredam efek tular pandemi Covid-19 di tengah masalah klasik defisit kembar (defisit neraca perdagangan dan defisit APBN).
Stimulus Fiskal
Pemerintah menganggarkan dana tambahan sebesar Rp405,1 triliun guna mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) sekaligus menyelamatkan perekonomian dan sistem keuangan nasional dari dampak beracun Covid-19. Dana tambahan tersebut dialokasikan untuk program pemulihan ekonomi nasional Rp150 triliun, pendanaan tambahan di bidang kesehatan Rp75 triliun, program jaring pengaman sosial Rp110 triliun, serta insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha rakyat (KUR) Rp70,1 triliun.
Dengan tambahan anggaran tersebut, pemerintah terpaksa mengubah ketentuan batas defisit APBN dari 3% PDB jadi 5,07% PDB. Soal pendanaannya, sudah tentu harus ditambal dari utang, mengingat kondisi perpajakan sedang sulit diandalkan. Secara bersamaan, target petumbuhan ekonomi dikoreksi dari 5,3% di APBN 2020 menjadi 2,3% dalam skenario moderat, atau bahkan minus 0,4% jika mempertimbangkan skenario terburuk. Basis legalnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 serta peraturan pelaksananya, yang sampai tulisan ini dibuat “banjir regulasi” tak kunjung berhenti.
Baca juga: Menyoal PPN Atas Pemberian Cuma-Cuma Saat Pandemi
Dari sisi perpajakan, paket insentif yang diberikan pemerintah meliputi:
|
Semua insentif tersebut patut diapresiasi di saat kondisi krisis saat ini, terutama kebijakan PPh Pasal 21 DTP untuk enam bulan ke depan. Dengan adanya fasilitas tersebut diharapkan menambah jumlah penghasilan yang diterima pekerja sehingga meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya pekerja.
Sayangnya, cakupan penerima PPh Pasal 21 DTP tersebut hanya terbatas untuk pekerja di sektor industri tertentu, yang berpenghasilan hingga Rp200 juta setahun. Kenyataannya, hampir semua sektor usaha terpukul dan PHK terjadi tidak hanya di sektor formal, tetapi juga banyak pekerja di sektor informal yang terpaksa dirumahkan.
Karenanya, alangkah lebih baik jika fasilitas PPh Pasal 21 DTP diberikan juga bagi seluruh pekerja di semua sektor usaha. Kalaupun beban fiskal terlalu besar untuk menanggung PPh 21, bisa saja batasan jumlah penghasilan setahun diturunkan atau tidak harus sampai Rp 200 juta. Periode pemberian fasilitas PPh PAsal 21 DTP juga perlu dikaji ulang, tidak harus dikunci selama enam bulan. Dengan demikian, insentif sewaktu-waktu bisa dihentikan jika Indonesia bisa terbebas dari pandemi Covid-19 lebh cepat dari estimasi enam bulan, atau sebaliknya dapat diperpanjang jika memang diperlukan.
Paradoks Utang
Bicara fiskal tidak melulu soal pajak dan belanja negara. Ada komponen utang yang menambal selisih kurangnya. Menurut Mankiw (2000), kebijakan fiskal yang optimal di sebagian besar negara membutuhkan kondisi defisit atau surplus anggaran. Ini terkait dengan tiga fungsi fiskal sebagai alat stabilisasi, tax smoothing dan redistribusi intergenerasi.
Baca juga: Menyelaraskan Standar Akuntansi dengan Aturan Pajak
Karenanya, tidak ada yang salah dengan utang selama digunakan untuk membiayai kegiatan produktif, sehingga menghasilkan output yang positif. Yang salah adalah gencar menarik utang tanpa diimbangi dengan kemampuan mengelola dan mengembalikannya. Jangan sampai tumpukan utang menciptakan krisis keuangan seperti yang menjerat sejumlah negara Uni Eropa belum lama ini.
Indonesia juga pernah mengalami masalah yang sama. Radius Prawiro, Menteri Keuangan tahun 1983-1988 dalam buku Era Baru Kebijakan Fiskal (2000), mengisahkan bahwa statistik dari Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) tak sanggup menggambarkan parahnya bencana ekonomi Indonesia pada medio 1966. Selain miskin dan bangkrut, Indonesia juga menanggung beban utang yang menghimpit Indonesia untuk berada di lembah kemiskinan selama beberapa dekade setelahnya. Pinjaman luar negeri—yang kerap dibungkus dengan istilah bantuan asing—kala itu menjadi satu-satunya sumber pembiayaan “APBN Sosialisme ala Indonesia”. Warisan utang tersebut semakin bertambah seiring dengan semangat pembangunan Orde baru. Alih-alih menertibkan fiskal, bantuan dan utang justru dikamuflasekan ke dalam komponen penerimaan negara demi menjaga marwah “APBN Berimbang dan Dinamis”. Sebelum akhirnya komponen pembiayaan dipisahkan dari penerimaan ke dalam pos tersendiri di APBN sejalan dengan semangat transparansi di era reformasi hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu, instrumen pembiayaan semakin kaya ragam. Obligasi kemudian menjadi sumber pembiayaan utama pemerintah selain pinjaman luar negeri—yang banyak menuai kritik publik pasca penandaanganan Letter of Intent (LoI) IMF tahun 1998.
Dalam kaitannya dengan krisis pandemi Covid-19, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Live Media Briefing (7/4) mengatakan, APBN 2020 akan mengahadapi tekananan dari semua sisi, baik penerimaan, belanja, maupun pembiayaan. Dia memperkirakan penerimaan negara 2020—pajak, bea dan cukai, maupun PNBP—akan mengalami shortfall sekitar 10% (Rp472,3 triliun). Sementara itu, pembiayaan dipastikan melonjak signifikan seiring dengan melebarnya defisit APBN 2010 menjadi Rp853 triliun (5,07% PDB) dari Rp307,2 triliun (1,76% PDB) di APBN 2020.
Belajar dari pengalaman pahit krisis utang, pemerintah harus hati-hati dalam menarik pembiayaan dengan mencari sumber-sumber pembiayaan yang risikonya paling kecil. Terutama penarikan pinjaman luar negeri dan penerbitan obligasi valas yang rentan terpengaruh tekanan global dan gejolak kurs.
Satu yang pasti, pemerintah tidak bisa sendirian menghadapi krisis ini sehingga diperlukan dukungan dan kritik dari semua pihak. Bank Indonesia selaku otoritas moneter harus mengimbangi stimulus fiskal dengan pelonggaran kebijakan makroprudensial. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jangan sampai relaksasi aturan kredit mengabaikan tugas utamanya sebagai pengawas operasional bank dan lembaga keuangan nonbank.
Moral Hazard
Harus disadari bahwa saat ini perekonomian Indonesia dihadapkan pada iklim ekonomi dunia yang lebih dinamis, diliputi ketidakpastian, dan volatilitas yang tinggi. Karenanya, diperlukan fleksibilitas fiskal yang memadai bagi pemerintah untuk merespon dan menjawab gejolak dan dinamika yang terjadi. Namun, fleksibilitas fiscal tersebut juga harus mengutamakan pada tiga hal, yakni efisiensi, efektivitas, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Poin ketiga tidak kalah penting untuk juga diperhatikan pemerintah. Terutama di tengah sorotan publik akan klausul impunitas bagi pengambil kebijakan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang dianggap rentan disalahgunakan (moral hazard). Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penyelamatan Bank Century adalah contoh kebijakan penanggulangan krisis yang diseret ke ranah pidana dan menjadi polemik politik berkepanjangan sampai sekarang. Kondisi-kondisi tersebut pasti sudah dipertimbangkan pemerintah, termasuk keputusan akhir Mahkamah Konstitusi nantinya atas uji materi Pasal impunitas Perpu Nomor 1 tahun 2020 oleh sejumlah pihak.
Kita tidak pernah tahu akan seperti apa masa depan, karena krisis yang terjadi hari ini pun tidak ada yang dapat memprediksi sebelumnya. Karenanya, sense of crisis harus dibangun dan menjadi landasan dalam penyusunan APBN. Satu pelajaran yang bisa dipetik dari krisis ekonomi adalah pentingnya menjaga pengelolaan fiskal yang mengutamakan kehati-hatian, sehat, dan berkesinambungan. Karenanya, alangkah bijak jika semua pihak—terutama pemerintah—mendalami pesan artis senior Amerika Serikat, Maya Angelou: “Hoping for the best, prepared for the worst, and unsurprised by anything in between.”
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.