Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi sasaran utama dari program ekstensifikasi perpajakan pada 2018. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 menjadi penegas kebijakan yang dikhususkan bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Pemanisnya adalah tarif Pajak Penghasilan (PPh) final yang dipangkas dari 1% menjadi 0,5%.
Namun, tarif PPh final 0,5% itu hanya opsi yang bisa dipilih oleh Wajib Pajak UMKM, selain menggunakan tarif normal yang diatur dalam Pasal 17 UU PPh. Itu pun ada syarat dan ketentuan, serta jangka waktu yang harus diperhatikan oleh UMKM yang memilih tarif pajak final 0,5%. Sebab, tidak semua Wajib Pajak dan jenis usaha dapat memanfaatkan fasilitas pajak termurah ini.
Pertama, Wajib Pajak harus memastikan bahwa penghasilan yang diterimanya bukan berasal dari pekerjaan bebas; penghasilan dari luar negeri yang sudah dipotong pajak; penghasilan yang dikenakan PPh final berdasarkan aturan lain; dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
Kedua, PP Nomor 23 Tahun 2018 menetapkan Wajib Pajak yang diharamkan untuk bisa menikmati tarif PPh final 0,5%, yakni: (1) Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai tarif PPh normal; (2) Wajib Pajak Badan yang dibentuk oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memberikan jasa terkait pekerjaan bebas; (3) Wajib Pajak Badan yang memperoleh fasilitas perpajakan sesuai Pasal 31A UU PPh dan PP Nomor 94 Tahun 2010; dan (4) Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Ketiga, berlaku batasan masa pemanfaatan tarif PPh final 0,5%, yang jangka waktunya disesuaikan dengan karakteristik Wajib Pajak, baik yang baru maupun yang existing. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maksimum tujuh tahun; Wajib Pajak Badan berstatus Perseroan Terbatas paling lama tiga tahun; sedangkan yang berbadan hukum CV, firma, atau koperasi tidak lebih dari empat tahun. Setelahnya, secara otomatis berlaku ketentuan PPh normal yang penerapan tarifnya bersifat progresif.
Keempat, batas nilai peredaran bruto kurang dari Rp 4,8 miliar berlaku pula atas penghasilan Wajib Pajak suami dan istri, baik yang harta maupun hak dan kewajiban perpajakannya digabung ataupun dipisah. Demikian pula untuk Wajib Pajak Badan yang terdiri dari beberapa cabang usaha, mekanisme penghitungan nilai omzet dilakukan dengan menggabungkan pendapatan seluruh cabang usaha.
Potensi Penerimaan
Apabila melihat tren lima tahun terakhir, jumlah Wajib Pajak UMKM mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yakni bertambah lebih dari lima kali lipat. Pada 2013 baru 220.000 UMKM yang terdaftar sebagai Wajib Pajak, tetapi pada 2017 menembus angka 1,5 juta.
Pertambahan jumlah Wajib Pajak tersebut seiring dengan setoran PPh final UMKM yang meningkat pesat, dari hanya Rp 428 miliar pada 2013 menjadi Rp 5,8 triliun pada 2017. Hal ini tentunya tidak terlepas dari implementasi kebijakan PPh final 1% yang tertuang dalam PP Nomor 46 Tahun 2013, sebelum akhirnya digantikan oleh PP Nomor 23 Tahun 2018.
Namun dilihat dari sisi kepatuhan perpajakan, jumlah Wajib Pajak UMKM masih sangat sedikit dibandingkan dengan total 59,2 juta pelaku UMKM yang meraup penghasilan di Indonesia. Artinya, basis data pajak UMKM yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru mencakup sekitar 2,5% dari populasi riil. Alhasil, sumbangan PPh final UMKM terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan masih sangat kecil, yakni 0,29% dalam waktu lima tahun terakhir.
Paparan data di atas setidaknya menggambarkan betapa besar potensi pajak dari sektor UMKM yang belum tergali optimal. Namun, harus diakui bahwa UMKM merupakan Wajib Pajak yang sulit untuk dipajaki (hard to tax). Terlebih untuk UMKM yang bergerak secara masif di sektor-sektor ekonomi yang sulit tertangkap radar pajak (underground economy).
Banyak faktor yang menyebabkan UMKM sulit dipajaki, antara lain: (1) jumlah yang sangat besar membuat pengawasan sulit; (2) nilai penghasilan kecil; (3) tidak melakukan pembukuan; (4) mayoritas transaksi penjualan dilakukan secara tunai; sehingga (5) mudah menyembunyikan penghasilan.
Kebijakan pemerintah memangkas tarif PPh final menjadi 0,5%—yang dibayangi penerapan pajak progresif secara bersamaan—bisa menjadi solusi untuk memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan pencapaian penerimaan pajak dari sektor UMKM.
Dengan adanya batas waktu pemanfaatan PPh final, kebijakan ini juga diharapkan bisa mengedukasi UMKM agar lebih tertib administrasi dan perpajakan. Bagaimanapun, manajemen keuangan yang baik penting bagi UMKM untuk “naik kelas” dan mengakses pinjaman bank.
Menyoal Keadilan
Sepintas, kebijakan itu menjadi kabar baik bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp 4,8 miliar—yang mayoritas pelaku UMKM. Sebab sebelumnya, tidak ada pilihan bagi pelaku UMKM selain menggunakan tarif PPh final 1%. Dengan terbitnya PP Nomor 23 Tahun 2018, setidaknya ada opsi untuk menggunakan tarif PPh yang lebih murah (0,5%) atau bisa juga menggunakan tarif PPh normal (progresif).
Harus diakui kebijakan ini menjadi insentif bagi Wajib Pajak UMKM untuk menikmati tarif PPh murah, tetapi hanya untuk jangka waktu yang sudah ditetapkan. Selama periode itu pula, Wajib Pajak UMKM yang sudah terlanjur memilih PPh final 0,5% tidak bisa lagi beralih menggunakan tarif PPh normal. Dengan demikian, walaupun usahanya merugi, PPh final 0,5% tetap akan dikenakan terhadap omzet yang diterima.
Apabila jangka waktunya habis, barulah secara otomatis Wajib Pajak dipaksa menggunakan ketentuan PPh normal dengan tarif progresif. Apabila pendapatan Wajib Pajak tumbuh sesuai yang diharapkan, tentu tak jadi soal. Persoalan baru muncul jika UMKM yang sudah antusias menggunakan fasilitas pajak murah ini ternyata hingga jangka waktu yang ditentukan gagal “naik kelas”. Alih-alih mengharapkan insentif, yang didapat justru disinsentif.
Karenanya, penerapan asas keadilan menjadi catatan serius dalam implementasi kebijakan PPh final 0,5%. Jangan lupa, setiap Wajib Pajak idealnya membayar pajak sesuai dengan kemampuan ekonomi, yang basisnya seharusnya penghasilan bersih yang memang layak untuk dipajaki (penghasilan kena pajak).
Celah Pelanggaran
Setiap kebijakan sejatinya bertujuan baik, meskipun dalam implementasinya belum tentu sempurna. Sebagus apa pun regulasi dibuat, tak jarang meninggalkan celah-celah hukum yang sangat mungkin dimanfaatkan para penghindar pajak. Pun demikian dengan PP Nomor 23 Tahun 2018, otoritas pajak harus lebih cerdik dalam membaca kemungkinan siasat Wajib Pajak licik terhadap kebijakan PPh final ini.
Modus yang bisa saja dilakukan Wajib Pajak “nakal” adalah dengan membentuk badan usaha baru dengan skala omzet di bawah Rp 4,8 miliar. Sementara bisnis lamanya—yang seharusnya sudah dikenakan PPh dengan tarif normal—dengan sengaja ditinggalkan.
Akal-akalan Wajib Pajak yang juga patut diwaspadai petugas pajak adalah memecah usaha yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar menjadi beberapa entitas bisnis skala kecil. Dengan demikian, Wajib Pajak tetap bisa masuk dalam kategori UMKM yang bisa menikmati tarif PPh final 0,5%.
Oleh karenanya, pengawasan dan pendampingan usaha mutlak harus dilakukan pemerintah. Memang tidak akan sederhana, tetapi jika mekanisme pemotongan PPh final UMKM bisa berjalan atas setiap transaksinya, maka DJP akan lebih mudah melakukan pengawasan tersebut.