Reformasi Kelembagaan Perpajakan, Jangan Sekadar Ganti Nama
Wahyu Nuryanto
|
Thursday, 28 February 2019
Dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), Pemerintah memasukkan klausul pembentukan lembaga atau badan khusus calon pengganti Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan mungkin juga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan. Ini merupakan wacana lama yang timbul-tenggelam selaras dengan semangat reformasi perpajakan yang juga kencang-kendur di Indonesia.
Wacana soal penguatan kewenangan pajak sebenarnya bukan hal baru dalam konteks global. Kesadaran akan semakin pentingnya pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan menuntut kinerja otoritas yang efisien dan kompetitif. Fenomena ini mendorong banyak negara di dunia memberikan otonomi dan fleksibilitas fungsi kepada otoritas pajak dalam beberapa dekade terakhir.
Dalam praktiknya, bentuk dan kewenangan otoritas pajak di setiap negara berbeda-beda. Hampir tidak ada otoritas pajak di mana pun yang mempunyai otonomi penuh. Ada yang berbentuk badan semi-otonom dan ada yang setingkat direktorat di bawah Kementerian Keuangan.
Otoritas pajak Singapura, misalnya, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) merupakan badan perpajakan semi-otonom yang tidak berada di bawah Kementerian Keuangan. Namun, badan ini disupervisi secara ketat oleh semacam Dewan Pengawas, di mana Menteri Keuangan bertindak sebagai ketua. IRAS sebagai representasi negara memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi perjanjian pajak, membuat draf undang-undang perpajakan, dan memberikan saran terkait penilaian properti kepada Pemerintah.
Namun, ada pula otoritas pajak setingkat direktorat atau di bawah kementerian yang punya kewenangan hampir sama atau bahkan lebih luas dibandingkan badan semi-otonom di negara lain. Misalnya di Thailand, direktorat pemungut pajaknya punya kewenangan yang sangat luas jika dibandingkan dengan badan semi-otonom perpajakan Jepang.
Sementara di Indonesia, sistem administrasi perpajakannya dikelola oleh lebih dari satu direktorat (multiple directorates) di bawah Kementerian Keuangan, yakni DJP dan DJBC. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, otoritas pajak tidak dapat mendesain organisasi sendiri secara cepat karena proses birokrasi. Fleksibilitas yang kurang menyulitkan DJP maupun DJBC untuk melakukan perubahan dan pengembangan sistem administrasi perpajakan, serta perbaikan internal agar seimbang dengan perkembangan bisnis yang dinamis dan cepat di lapangan. Keterbatasan kewenangan inilah yang kemudian dianggap sejumlah kalangan sebagai penghambat reformasi perpajakan di Indonesia.
Ego Sektoral
Rencana transformasi kelembagaan perpajakan sebenarnya sudah menjadi wacana di Indonesia sejak sekitar 2007. Namun alih-alih fokus pada reformasi perpajakan, yang tampak justru tarik-ulur kepentingan dan konflik ego sektoral. Terbukti, hingga enam kali pergantian pucuk pimpinan DJP dan lima kali pergantian Dirjen Bea dan Cukai, rencana tersebut tak kunjung terealisasi.
Kajian serius soal itu sejatinya pernah dilakukan pada medio 2014 dan menjadi bagian dari program 100 hari terakhir masa jabatan Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hasilnya, muncul tiga opsi reformasi struktural perpajakan.
Pertama, membentuk lembaga baru bernama Badan Penerimaan Negara (BPN) yang tetap berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan. Kedua, BPN sebagai lembaga baru terpisah dari Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara. Ketiga, cukup dengan memberikan fleksibilitas kepada DJP untuk melakukan perekrutan pegawai maupun menentukan sistem remunerasi sehingga mereka dapat lebih leluasa mengumpulkan pajak.
Pertanyaannya kemudian, transformasi kelembagaan seperti apa yang tepat untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia? Apakah dengan membentuk lembaga khusus yang terpisah dari struktur Kementerian Keuangan atau cukup dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada DJP dan DJBC?
Proses reformasi kelembagaan otoritas pajak Amerika Serikat (AS), Internal Service Revenue (IRS), setidaknya bisa jadi pelajaran. Saat ini, IRS merupakan lembaga yang semi-otonom dengan sejumlah kewenangan yang memperkuatnya. Namun sebelum memperoleh status tersebut, IRS telah melalui berbagai tahap transformasi kelembagaan.
Cikal bakal IRS, yaitu jabatan Commissioner of Internal Revenue, sudah dikukuhkan sejak 1862 pada masa Pemerintahan Presiden Abraham Lincoln, yang kemudian berubah menjadi lembaga yang bernama The Bureau of Internal Revenue. Baru pada 1953, AS mereorganisasi The Bureau of Internal Revenue menjadi IRS seperti yang kita kenal. Dengan kata lain, perlu waktu 91 tahun atau hampir satu abad untuk menemukan format otoritas pajak yang dianggap tepat bagi AS.
Kewenangan Proporsional
Berdasarkan penelitian Arthur Mann (2004), pembentukan otoritas penerimaan semi-otonom atau Semi-Autonomous Revenue Authorities (SARA) tidak menjamin keberhasilan negara dalam meningkatkan penerimaan negara, mengurangi praktik korupsi dan penghindaran pajak, serta memperbaiki pelayanan perpajakan. Contohnya implementasi SARA di Ekuador, Guatemala, Peru, dan Tanzania yang hanya sebatas penyediaan platform atau landasan untuk menciptakan administrasi perpajakan yang efisien tanpa memberikan jaminan keberhasilan. Intinya, pembentukan badan semi-otonom belum tentu menjadi obat mujarab yang bisa dengan cepat mengatasi penyakit perpajakan. Permasalahannya sebenarnya bukan di status atau bentuk kelembagaan, melainkan pada cakupan kewenangan otoritas pajak.
Menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), ada sembilan kewenangan yang idealnya dimiliki otoritas pajak: (1) kewenangan untuk membuat peraturan; (2) kewenangan untuk mengenakan sanksi atau denda; (3) kewenangan untuk mendesain sendiri struktur organisasi internal; (4) kewenangan untuk membuat penganggaran atau pengalokasian anggaran; (5) kewenangan untuk melakukan manajemen atau pengaturan komposisi pegawai; (6) kewenangan untuk merekrut karyawan; (7) kewenangan untuk mempekerjakan atau memecat karyawan; (8) kewenangan untuk melakukan negosiasi penetapan upah karyawan; dan (9) kewenangan untuk menetapkan standar pelayanan.
Semakin lengkap kewenangan otoritas pajak, diharapkan semakin baik sistem perpajakan sebuah negara. Namun, sangat jarang ada lembaga perpajakan yang memiliki kewenangan tersebut secara lengkap.
Ada banyak pertimbangan yang bisa dijadikan acuan dalam menentukan jenis kewenangan yang harus dimiliki oleh sebuah otoritas pajak. Salah satunya adalah pertimbangan kebutuhan dan kapasitas sumber daya. Setiap negara memiliki karakter yang berbeda dalam hal kualitas sumber daya manusia, teknologi informasi, hingga jumlah wajib pajak dan luas wilayah.
Dengan kata lain, kewenangan harus proporsional dengan kebutuhan dan sumber daya yang tersedia. Kewenangan yang terlalu besar hanya akan menciptakan lembaga yang terlalu super power sehingga sulit untuk dikontrol. Sementara jika kewenangan yang diberikan terbatas, kinerja otoritas pajak tidak akan optimal.
Otonomi atau kewenangan yang lebih besar memungkinkan otoritas pajak menerobos segala hambatan yang selama ini mengekangnya untuk bisa mewujudkan manajemen organisasi yang efektif dan efisien. Namun yang tak kalah penting, transparansi dan akuntabilitas harus tetap dijaga.
Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, Menteri Keuangan punya peran yang cukup besar dalam mengendalikan dan melakukan pengawasan langsung terhadap otoritas pajak. Namun idealnya, menurut OECD, kewenangan strategis dan pengawasan langsung oleh Menteri Keuangan lebih dibatasi, seperti hanya pada pengangkatan board of directors dan perancangan kebijakan perpajakan.
Indonesia bisa belajar dari supervisi yang dilakukan terhadap otoritas pajak Singapura yaitu semacam komite pengawas. Komite bekerja sama dengan auditor eksternal dalam mengkaji laporan keuangan IRAS. Komite pengawas juga memiliki kewenangan untuk menyetujui kebijakan remunerasi serta penunjukan, promosi dan remunerasi utama para eksekutif senior di IRAS.
Oleh karena itu, perdebatannya saat ini seharusnya lebih pada pemberian kewenangan yang proporsional kepada otoritas pajak tanpa melupakan pentingnya pengawasan, bukan lagi mempersoalkan posisi lembaga, apakah otonom atau tetap menjadi subordinat di bawah Kementerian Keuangan. Apalagi kalau yang diributkan hanya soal “pisah ranjang” dan ganti nama, tidak akan maju-maju Indonesia. Jangan sampai diskursus dan perdebatan panjang ini menjadi sia-sia hanya karena kita terjebak pada politik identitas. Apalah arti sebuah nama?
*Versi singkat artikel ini terbit di portal CNBC Indonesia, 28 Februari 2018
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.