Opinion

Rain Tax, Instrumen Fiskal Pengendali Banjir?

Andhika Muchlis & Andre Ryanto Wijaya | Monday, 16 March 2020

Rain Tax, Instrumen Fiskal Pengendali Banjir?

Banjir kembali merendam—jika tidak ingin disebut menenggelamkan—sebagian besar wilayah DKI Jakarta dan sejumlah daerah penyangga Ibu Kota seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Bencana klasik—yang selalu memakan korban jiwa—kerap berulang dari zaman ke zaman tanpa ada solusi yang signifikan dari para pemangku kepentingan. Bahkan, fenomena berulang ini dianggap “wajar” oleh sebagian penduduk Jakarta dan seolah mereduksi banjir sebagai “wahana air” dari yang seharusnya masuk kategori bencana.  

Awal tahun ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta menyebutkan banjir telah menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan berdampak negatif terhadap 31.232 orang yang tersebar di 157 kelurahan. Banjir dengan intensitas sebesar ini merupakan yang kelima kalinya menggenangi Jakarta dalam rentang waktu 20 tahun terakhir. Rekor terparah adalah banjir di Jakarta tahun 2007, yang memakan korban 48 orang meninggal dan berdampak terhadap 276.333 penduduknya (lihat tabel).  



20022007201320152020
Curah Hujan (mm/hari)1683401002773777
RW Tergenang353955599702390
Luas Area Tergenang (km2)168455240281156
Jumlah Pengungsi (orang)154.270276.33390.91345.81331.232
Korban Meninggal (orang)324840519
Waktu Surut Sampai 95% (hari)610774

(Sumber: BPPD DKI Jakarta, bisnis.com, diolah)

Selain faktor pemanasan global yang meningkatkan intensitas curah hujan, banjir di Ibu Kota juga erat kaitannya dengan kondisi topografi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa 40% wilayah Ibu Kota merupakan dataran rendah, yang ketinggiannya berada di bawah permukaan laut serta dilalui oleh 13 sungai dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kondisi ini mengakibatkan wilayah Jakarta menjadi muara dari aliran air 13 sungai tersebut dan rentan banjir jika terjadi pendangkalan sungai.  

Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sangat terbatas juga menjadi problematika tersendiri terhadap pencegahan banjir di Jakarta. Berdasarkan data Dinas Kehutanan, Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, saat ini luas ruang terbuka hijau di Ibu Kota hanya 9,98% dari total keseluruhan luas Jakarta. Angka tersebut di bawah syarat minimum ketersediaan RTH wilayah perkotaan, yakni 30% dari luas wilayah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tidak tercapainya syarat minimum luas RTH—tidak hanya di Jakarta—merupakan konsekuensi dari kebijakan pembangunan ekonomi yang kerap menabrak jalur hijau. Misalnya, kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan alih fungsi wilayah serapan air menjadi bangunan, menghilangkan waduk kecil, dan serangkaian kebijakan anti-lingkungan hidup lainnya yang berpengaruh terhadap perencanaan tata kota.  

Perencanaan tata ruang terhadap sistem drainase yang belum optimal juga kerap menjadi sorotan para pemerhati lingkungan berkaitan dengan banjir. Jakarta, misalnya, masih mempertahankan sistem drainase warisan kolonial dan belum berubah hingga sekarang di era milenial. Sistem drainase di Jakarta diperkirakan hanya berfungsi sekitar 33% karena sebagian besar wilayahnya berdiri hunian dan bangunan yang tidak terhubung dengan drainase premier, sekunder, maupun tersier. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh eksploitasi air tanah secara berlebihan, yang menurut catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebabkan degradasi tanah di Jakarta rata-rata 25 cm di setiap tahunnya. 

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah DKI Jakarta bukannya tanpa upaya dalam menanggulangi bencana banjir. Terlepas dari debat istilah normalisasi atau naturalisasi, setidaknya sudah ada upaya dari otoritas terkait untuk melakukan penataan aliran sungai, hingga pembenahan daerah permukiman di bantaran kali. Soal pelaksanaannya belum maksimal, itu cerita klasik lain. 

Alternatif Solusi 

Mungkin perlu alternatif solusi yang radikal guna memaksimalkan kerja-kerja pemerintah bersama masyarakat dalam menanggulangi dan memitigasi banjir. Bila perlu, pemerintah bisa belajar dari kebijakan negara-negara subtropis yang memiliki curah hujan jauh lebih tinggi daripada Indonesia, khususnya Jakarta. Salah satu kebijakan yang bisa dicontek Indonesia mungkin earmarked tax atau penggunaan instrumen perpajakan dalam mengatasi permasalahan banjir. Earmarked tax merupakan salah satu jenis perpajakan yang dipungut untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan pemerintah. Hasilnya kemudian digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tujuan dan peruntukannya.  

Contoh kongkret penerapan earmarked tax dalam kaitannya dengan mitigasi banjir adalah rain tax, yang lazim diterapkan di negara-negara beriklim subtropis sebagai langkah preventif dan kuratif dalam menghadapi bencana banjir. Rain Tax adalah suatu sistem pemungutan pajak yang dikenakan terhadap properti-properti kedap air atau yang tidak dapat menginfiltrasi air karena menggunakan material seperti aspal, beton, dan genteng. Sejumlah negara yang telah menerapkan rain tax antara lain Jerman, Italia, dan sejumlah negara bagian di Amerika Serikat. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penerapan rain tax di banyak negara subtropis antara lain kondisi curah hujan yang tinggi, peningkatan demografi, degradasi sungai, infrastruktur yang menua, dan RTH yang semakin terbatas. Kondisi-kondisi semacam ini yang kemudian memaksa pemerintah untuk bekerja ekstra dalam memitigasi banjir, yakni dengan membangun sistem drainase yang mumpuni dan menjamin ketersediaan ruang terbuka hijau yang dapat menginfiltrasi air.  

Adalah Pemerintah Jerman yang mempelopori kebijakan rain tax pada tahun 1990. Jerman menetapkan tarif sebesar US$2,6 atau setara dengan Rp 36.360 per m² (kurs Rp13.984/US$) atas properti bisnis atau residensial yang tidak dapat menyerap air. Sesuai dengan peruntukannya (earmarking), seluruh hasil dari pemungutan rain tax kemudian dialokasikan oleh Pemerintah Jerman untuk mendanai berbagai program dan proyek pencegahan banjir, seperti untuk peningkatkan kualitas dan pemeliharaan drainase, serta  biaya penelitian mitigasi banjir. 

Kebijakan disinsentif tersebut juga diimbangi dengan pemberian insentif bagi masyarakat yang berperan aktif dalam membangun sistem penampungan air hujan seperti taman, kebun, pekarangan, dan lain sebagainya. Dengan menerapkan mekanisme pengurang pajak (deduction tax), Pemerintah Jerman secara tidak langsung mengajak masyarakatnya untuk ikut memitigasi bencana banjir. Hasilnya, sebanyak 1,8 juta keluarga membangun tempat penampungan air hujan dan Jerman berhasil menghemat 110 juta liter air pada tahun 2009. 

Kombinasi kebijakan fiskal ini juga cukup berdampak bagi para pebisnis yang bergelut di bidang properti. Sebab, ada konsekuensi peningkatan beban pajak bagi para pemilik aset yang tidak peduli terhadap pelestarian lingkungan. Sebaliknya, jika mereka membuat tempat-tempat penampungan air maka akan ada penghematan yang bisa didapatkan sesuai dengan skala penyerapan airnya.  

Duplikasi dan Tantangan Rain Tax 

Indonesia, terutama Jakarta, mungkin bisa berkaca dari kebijakan rain tax di Jerman dan negara-negara subtropis lainnya. Dalam konteks pengendalian banjir di Ibu Kota dan wilayah sekitarnya, opsi earmarked tax ini mungkin lebih tepat jika dieksekusi oleh Pemerintah Daerah, dengan mengedepankan asas equity dalam pemungutannya. Regulasi dan penetapan tarifnya mungkin bisa ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, namun pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Opsi kebijakan rain tax ini mungkin bisa diakomodir melalui kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang kebetulan sejumlah klausul dalam UU PDRD tengah diamandemen melalui skema Omnibus Law perpajakan. 

Namun, biaya kepatuhan (compliance cost) dari wajib pajak menjadi tantangan terbesar untuk bisa menerapkan rain tax di Jakarta atau daerah lainnya. Sebab, beban pajak terutang (tax burden) masyarakat akan semakin membengkak dengan dipungutnya jenis pajak baru ini. Kecuali, pemerintah bisa meyakinkan publik bahwa akan ada timbal balik yang sepadan dari beban pajak yang meningkat tersebut. Caranya tentu saja dengan memastikan alokasi penerimaan rain tax dimaksimalkan sesuai peruntukannya, yakni menanggulangi sekaligus memitigasi bencana banjir. Harus ada pembuktian bahwa ada korelasi dari penerapan rain tax dengan penghematan air, berkurangnya penggunaan air tanah, bertambahnya RTH, dan yang paling penting tidak ada lagi banjir.  

Rain tax adalah alternatif gagasan yang kami tawarkan bagi pemerintah untuk bersama-sama masyarakat menanggulangi banjir dan bukan untuk mengkampanyekan “sambil menyelam minum air”. Sebab, bencana bukan tempatnya menghimpun dana melainkan momentum untuk berimpati dan mencari solusi bersama. (AGS)


* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) Universitas Indonesia dan juga tercatat sebagai freelance researcher MUC Tax Research Institute.  

 *Tulisan ini merupakan proyek kolaborasi Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) Universitas Indonesia dan MUC Tax Research Institute yang telah terbit di CNBC Indonesia, 13 Maret 2020.




Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.