Solusi Alternatif Sengketa Pajak Internasional
Karsino Miarso
|
Friday, 21 February 2020
Dalam banyak kasus, sengketa perpajakan internasional kerap terjadi karena perbedaan fiskus dan wajib pajak dalam menginterpretasikan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty dan/atau melakukan penetapan harga transfer (transfer pricing) atas transaksi dengan pihak terafiliasi (affiliated parties) lintas yurisdiksi. Penyelesaiannya sejauh ini lebih banyak diselesaikan melalui proses keberatan atau banding (domestic remedies).
Dalam prosesnya, keberatan dan banding bisa memakan waktu yang tidak sebentar dan tidak jarang membutuhkan ongkos perkara yang juga tidak murah. Sebagai ilustrasi, wajib pajak harus menunggu keputusan otoritas pajak atas keberatan yang diajukannya sampai 12 bulan. Jika kantor pajak dalam putusannya menolak keberatan atau memberikan keputusan kurang sesuai harapan, wajib pajak dapat menempuh proses hukum lanjutan dengan mengajukan banding ke pengadilan pajak. Jangka waktu pengajuan permohonan banding adalah tiga bulan sejak keputusan keberatan diterima wajib pajak. Meskipun sidang pemeriksaan perkara banding di pengadilan pajak paling lama 15 bulan sejak banding diajukan, namun penerbitan keputusannya bisa melebihi jangka waktu tersebut.
Apabila permohonan banding ditolak atau hanya dikabulkan sebagian, wajib pajak akan dikenai sanksi administrasi tambahan berupa denda 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding, yang tidak dibayar sebelum pengajuan keberatan. Ketidakpastian menjadi catatan dalam hal ini.
Mutual Agreement Procedure (MAP)
Sejatinya, ada pendekatan alternatif yang bisa ditempuh oleh wajib pajak guna menyelesaikan sengketa perpajakan terkait transaksi yang sifatnya lintas batas negara. Alternatif tersebut antara lain dengan mengajukan permohonan MAP. MAP merupakan prosedur persetujuan bersama antar-otoritas pajak untuk menyelesaikan permasalahan administratif yang timbul dalam penerapan P3B, termasuk mengeliminasi terjadinya pemajakan ganda karena koreksi transfer pricing. Pendekatan ini juga diharapkan bisa menghindari adanya penghasilan-penghasilan yang tidak terpajaki di mana pun.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 49/PMK.03/2019, batas waktu penyampaian MAP adalah tiga tahun sejak surat ketetapan pajak dikeluarkan, tanggal bukti pembayaran, pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan (PPh), dan sejak perlakuan perpajakan yang dianggap tidak sesuai dilakukan. Jika batas waktu melebihi, maka permohonan MAP tidak dapat diterima. Namun, wajib pajak ataupun mitra P3B dapat mengajukan permohonan kembali, sepanjang belum melewati batas waktu kedaluwarsa.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan penelitian atas informasi dan dokumen yang dipersyaratkan untuk menentukan apakah permohonan MAP bisa ditindaklanjuti atau ditolak. Jika permohonan diterima, maka DJP akan menindaklanjutinya dengan melakukan perundingan dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra. Perundingan dilaksanakan maksimal 24 bulan atau dua tahun sejak permohonan diterima.
Advance Pricing Agreement (APA)
Selain MAP, wajib pajak juga bisa mencegah terjadinya sengketa transfer pricing dengan mengajukan permohonan APA. APA merupakan kesepakatan di awal antara perusahaan multinasional dengan satu atau lebih otoritas pajak negara lain sehubungan dengan penetapan harga transaksi yang wajar antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa.
APA tidak hanya bersifat unilateral, di mana relasi yang terbentuk hanya melibatkan wajib pajak dengan satu otoritas pajak. Artinya, APA juga bisa bersifat bilateral/multilateral yang dalam praktiknya melibatkan wajib pajak dengan dua atau lebih otoritas pajak. Karena APA bukan merupakan prosedur penyelesaian sengketa yang didasarkan pada P3B, karenanya APA dapat diajukan juga atas transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa di yurisdiksi yang tidak terikat tax treaty. Berbeda halnya dengan MAP yang dalam pelaksanaannya berpedoman terhadap P3B.
DJP akan merespons permohonan APA paling lama 24 bulan setelah permohonan diajukan oleh wajib pajak dan dapat diperpanjang untuk 24 bulan berikutnya. Kesepakatan harga transfer dalam kerangka APA berlaku untuk jangka waktu transaksi afiliasi selama empat tahun ke depan.
Penerapan APA dan MAP sejatinya merupakan fasilitas menarik yang disediakan negara. Kebijakan ini bisa menjadi solusi dari kebuntuan perkara atau berbelit-belitnya proses persidangan di pengadilan pajak. Terlebih, pelaksanaan MAP dan APA di Indonesia tidak membebankan biaya sepeser pun kepada wajib pajak. Berbeda halnya dengan di sejumlah negara lain, yang memperhitungkan ongkos negosiasi MAP dan APA.
Sayangnya, tidak banyak wajib pajak yang tertarik untuk memanfaatkan fasilitas MAP dan APA. Padahal, keduanya sudah diinisiasi sejak lama (MAP sejak tahun 2010). Minimnya pemanfaatan MAP dan APA terlihat dari statistik MAP dan APA di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir masih dapat dihitung dengan jari (lihat tabel).
Year | Description | MAP | APA | Total |
Pre-2016 | Requests Received | 69 | 14 | 83 |
Requests Closed | 1 | 0 | 1 | |
Ending Balance | 68 | 14 | 82 | |
2016 | Requests Received | 19 | 25 | 44 |
Requests Closed | 32 | 3 | 35 | |
Ending Balance | 55 | 36 | 91 | |
2017 | Requests Received | 16 | 2 | 18 |
Requests Closed | 20 | 3 | 23 | |
Ending Balance | 51 | 35 | 86 | |
2018 | Requests Received | 26 | 13 | 39 |
Requests Closed | 17 | 15 | 32 | |
Ending Balance | 60 | 33 | 93 |
DJP sudah menegaskan bahwa MAP bisa dijalankan berbarengan dengan proses keberatan dan banding. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 274 Tahun 2011, kesepakatan MAP akan menjadi dasar perbaikan putusan DJP terkait dengan keberatan wajib pajak. Dengan catatan, proses MAP tuntas sebelum wajib pajak menempuh proses banding. Dengan kata lain, hasil MAP kedudukannya lebih kuat dibandingkan dengan putusan keberatan.
Beda halnya jika proses MAP dilakukan berbarengan dengan banding di pengadilan pajak. Jika hasil MAP keluar lebih dahulu sebelum putusan banding berkekuatan hukum tetap maka hasil kesepakatan MAP dapat dibawa ke pengadilan untuk dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara banding. Sebaliknya, jika putusan banding diketok hakim lebih dahulu, maka secara otomatis proses MAP berhenti atau tidak bisa dilanjutkan.
Yang perlu menjadi catatan adalah majelis hakim adalah pihak independen yang dalam memutus perkara tidak bisa dipaksa. Dengan demikian, tidak ada jaminan juga bahwa hasil MAP pasti diikuti oleh majelis hakim dalam memutus perkara banding di pengadilan pajak. Kecuali, wajib pajak mencabut permohonan bandingnya ketika masih ada ruang untuk mencabut. Bisa jadi, hal ini menjadi salah satu penyebab keraguan wajib pajak untuk mengajukan permohonan MAP atau APA. Pertanyaannya kemudian, apa jaminan DJP akan memproses permohonan MAP dan APA wajib pajak? Kalaupun ditindaklanjuti, apakah kesepakatan akhirnya dapat memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak?
Transparansi
Meskipun MAP dan APA sudah diinisiasi sejak lama, namun dalam pelaksanaannya di Indonesia seperti menjadi hal baru. Statistik DJP menunjukkan bahwa pelaksanaan MAP dan APA setidaknya baru terlihat mulai tahun 2016 dan mencapai puncaknya pada tahun 2018. Kabar baiknya, tingkat penyelesaian MAP di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan banyak negara di dunia.
Menurut catatan OECD—seperti dipaparkan DJP—tingkat penyelesaian MAP Indonesia berkisar 55,97%, lebih baik dibandingkan dengan Jepang (54,41%), Singapura (50,75%), Korea (47,01%), Malaysia (4,55%) dan Filipina (0%). Namun, kinerja Indonesia tidak lebih baik dibandingkan dengan Cina (57,4%), Australia (67,71%), New Zealand (72,92%), dan Thailand (77,42%).
Hemat penulis, MAP dan APA bisa menjadi solusi alternatif bagi wajib pajak dalam menghadapi atau memitigasi risiko sengketa perpajakan internasional. Namun, untuk dapat memastikan keberhasilan proses keduanya diperlukan iktikad baik dari masing-masing pihak—baik wajib pajak maupun fiskus.
Bagi wajib pajak, untuk memastikan permohonan MAP dan APA-nya direspons dengan baik oleh DJP, tidak cukup hanya dengan memenuhi persyaratan administrasi. Transparansi dan keterbukaan informasi keuangan menjadi kunci utama bagi wajib pajak untuk bisa memaksimalkan opsi MAP dan APA.
Sementara, otoritas pajak harus punya semangat melayani wajib pajak yang mengajukan permohonan MAP dan APA, jika ingin mengurangi beban perkara keberatan dan banding yang menumpuk setiap tahunnya. Keseriusan DJP setidaknya bisa dimulai dengan melakukan sosialisasi yang lebih aktif ke wajib pajak terkait dengan fasilitas penyelesaian sengketa yang sejak lama diinisiasi oleh OECD dan G20.
***
*Versi singkat artikel ini telah terbit di Majalah Pajak edisi Desember 2019
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.