Opinion
Pentingnya Independensi dan Keterbukaan dalam Proses Keberatan Pajak

Imam Subekti | Wednesday, 15 January 2020

Pentingnya Independensi dan Keterbukaan dalam Proses Keberatan Pajak

Pajak itu dinamis. Bisa galak, bisa bersahabat, atau bisa juga keduanya. Dalam penerapannya, pajak juga merupakan pengejewantahan relasi antara pembayar pajak dan fiskus yang didasari rasa saling percaya dan kepatuhan terhadap ketentuan. Basis legalnya tentu saja paket undang-undang perpajakan.

Idealnya, relasi antara pembayar dan petugas pajak berlangsung harmonis, dengan syarat masing-masing taat dan patuh terhadap ketentuan dan etika perpajakan. Realitanya kadang jauh dari sempurna. Tidak selalu karena motif negatif, atau salah satu pihak sengaja keluar dari jalur. Sering kali sengketa terjadi karena beda persepsi atau karena gap pemahaman fiskus dan wajib pajak terhadap ketentuan dan konsep perpajakan.

Otoritas pajak di mana pun, tidak terkecuali di Indonesia, sudah punya perangkat hukum untuk menyelesaikan sengketa. Ini merupakan bagian dari upaya menjaga prinsip keadilan perpajakan. Baik fiskus maupun pembayar pajak punya hak yang sama untuk menempuh langkah hukum jika dirasa pelaksanaan ketentuan kurang berlaku adil.

Bagi pembayar pajak, ada mekanisme keberatan dan banding jika merasa kurang puas atau tidak sependapat atas hasil koreksi fiskus atau ketetapan pajak. Ini biasanya berkaitan dengan penetapan nilai pajak terutang—kurang atau lebih bayar.

Baca Juga: Pengaruh Pajak Terhadap Investasi

Introspeksi

Dalam proses perkara, selalu ada tahapan pemeriksaan oleh fiskus guna menguji kepatuhan wajib pajak. Koreksi pajak bisa dibilang sebagai antiklimaks dari hubungan harmonis kedua belah pihak. Fiskus selalu punya alasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan wajib pajak, salah satu motifnya—dan yang utama biasanya—adalah mengamankan penerimaan negara. Sementara, wajib pajak sudah barang tentu berupaya mempertahankan perhitungan atas kewajiban perpajakan yang memang seharusnya dibayarkan. Prinsip utama wajib pajak pasti dan selalu jangan sampai kurang dan sebisa mungkin tidak lebih bayar pajak. Karena masing-masing punya pijakan yang berbeda dan bahkan berseberangan 180 derajat, sudah bisa dipastikan proses keberatan dan banding akan menjadi babak berikutnya.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mendudukkan perkara pada tempatnya sesuai dengan ketentuan dan perhitungan pajak yang seharusnya. Kuncinya adalah iktikad baik dari masing-masing pihak.

Di satu sisi, pemeriksa harus tegas namun tidak sempit dalam memandang suatu masalah. Jangan sampai karena dalih menyelamatkan keuangan negara, fiskus hanya berkutat pada pengujian tanpa berusaha memahami usaha wajib pajak secara menyeluruh.

Baca Juga: Mencari Solusi Terbaik Sengketa Pajak Internasional

Di sisi lain, kepatuhan wajib pajak juga bukan tanpa kritik. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, lebih dari 5 juta wajib pajak belum patuh melaporkan SPT pada tahun 2018. Angka tersebut sekitar 29% dari total 17,65 juta wajib pajak terdaftar yang wajib melaporkan SPT. Itu baru dari sisi pelaporan SPT, belum melihat keterbukaan wajib pajak terhadap pemeriksa pajak yang jumlahnya pasti jauh lebih sedikit. Dalam banyak kasus, pengalaman buruk—ketika menjelaskan terlalu gamblang kepada pemeriksa yang justru memicu koreksi—mungkin jadi alasan wajib pajak untuk menutup diri. Lagi-lagi persoalannya adalah beda interpretasi pembayar dan petugas pajak terhadap ketentuan yang menjadi cikal bakal sengketa perpajakan.

Dalam hal ini, independensi pengadil keberatan kerap mendapat sorotan karena proses dan hasil putusan sering kali jauh dari harapan wajib pajak. Ujung-ujungnya, pembayar pajak dipaksa untuk menempuh langkah hukum berikutnya—yakni banding—guna mencari keadilan yang diharapkan. Tahapan proses hukum yang ongkos perkaranya terkadang tidak murah dan tidak sebentar.

Asumsinya, jika wajib pajak lalai atau salah perhitungan, maka putusan akhir di pengadilan pajak seharusnya memenangkan fiskus. Sebaliknya, yang sering terjadi justru hasil pemeriksaan fiskus kerap dimentahkan di pengadilan. Alhasil, wajib pajak baru memperoleh keadilan setelah proses panjang nan melelahkan di tingkat pengadilan.

Wajar jika kemudian banyak yang mempertanyakan motif dan kualitas pemeriksaan pajak, yang hasilnya sering kali dapat dipatahkan dalam proses banding di pengadilan. Silakan cek statistik penyelesaian sengketa di pengadilan pajak, yang mana hampir 50% gugatan wajib pajak dimenangkan (dikabulkan seluruhnya) oleh majelis hakim. Bayangkan jika perkara tersebut bisa dituntaskan pada tahap keberatan, tentu masing-masing pihak bisa menghemat tenaga dan sumber dayanya untuk kegiatan lain yang lebih produktif.

Ada beberapa poin terkait keberatan yang sejatinya sudah menjadi diskursus umum para pemerhati perpajakan. Pertama, target penerimaan pajak yang tergolong tinggi. Faktor “kejar setoran” ini diduga dan selalu dikhawatirkan menjadi alasan utama fiskus selalu menolak keberatan, sekalipun perhitungan wajib pajak benar.

Kedua, jiwa korps petugas pajak selaku Aparat Negeri Sipil (ASN). Semangat esprit de corps ini menimbulkan anggapan publik bahwa ada kesan fiskus sengaja mencari-cari alasan dan kesalahan pembayar pajak guna menepis anggapan kongkalikong ketika memenangkan keberatan wajib pajak.

Ketiga, tidak ada sanksi bagi fiskus yang “asal-asalan” dalam melakukan pemeriksaan. Hal ini terkait dengan putusan pengadilan yang tidak jarang mematahkan argumentasi pemeriksa pajak. Faktor-faktor tersebut yang menimbulkan dugaan: jangan-jangan fiskus tidak independen dalam memproses dan memutus keberatan wajib pajak.

Terpisah

Karenanya, menjadi menarik menghidupkan kembali wacana lama terkait perlunya memisahkan unit keberatan pajak dari DJP. Atau, menaikkan statusnya menjadi lembaga khusus yang diberikan kewenangan independen dalam memproses dan memutus keberatan wajib pajak. Harapan utamanya tentu saja agar dalam memproses dan memutuskan keberatan hasilnya tidak berat sebelah. Selain itu, jika melihat banyaknya berkas perkara yang menumpuk di pengadilan pajak, mungkin lembaga ini bisa ikut menyaring perkara pajak yang layak untuk masuk ke pengadilan pajak.

Mungkin sudah waktunya kita meluruskan paradigma keberatan dan banding dalam sistem perpajakan Indonesia. Yakni sebagai sebuah tahapan yang seharusnya memberikan kesetaraan hukum bagi fiskus maupun wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Sebagai catatan, tidak sepatutnya wajib pajak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan negara untuk meminimalkan apalagi menghindar dari kewajiban perpajakan.  Pun demikian dalam konteks abdi pajak, semangat yang seharusnya dikedepankan adalah melayani, bukan menghakimi wajib pajak. Kalau prinsip untuk saling menjaga kepercayaan dan etika yang dikedepankan, maka sengketa perpajakan bisa ditekan dan sumber daya abdi pajak bisa dioptimalkan untuk menggali potensi-potensi pajak yang selama ini belum terjamah.

*Versi singkat artikel ini telah terbit di Majalah Pajak edisi Januari 2020.



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.