Gagal Beli dan Bubuhkan e-Meterai, Berikut Solusinya
Thursday, 05 September 2024
Setiap kali melakukan transaksi di dokumen legal yang nilainya di atas Rp 5 juta akan dikenakan Bea Meterai atau sering disebut pajak dokumen. Tarif Bea Meterai yang berlaku saat ini bersifat tunggal, yaitu sebesar Rp 10.000.
Terdapat tiga jenis Bea Meterai yang berlaku, yaitu meterai cetak atau meterai tempel dan meterai elektronik atau e-meterai. Khusus untuk e-meterai, pemungutannya dilakukan melalui cara permintaan oleh Wajib Pajak kepada distributor yang ditunjuk sebagai pemungut, untuk kemudian dibubuhkan.
Namun demikian, sebagaimana mengutip Kompas.com, belakangan sejumlah pihak mengeluh karena terkendala mengakses tautan e-meterai, untuk keperluan pendaftaran tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sehingga, pembubuhan e-meterai gagal dilakukan.
Baca Juga: Aturan Terkait Penggunaan Materai Elektronik Dirilis
Cara Mengembalikan Kuota Bea Meterai yang Gagal
Terkait hal tersebut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau Wajib Pajak untuk melakukan langkah-langkah berikut.
1. Keluar dari Portal e-meterai
Langkah pertama yang disarankan DJP kepada Wajib Pajak adalah keluar atau logout dari portal e-meterai. Setelah itu Wajib Pajak bisa log in kembali.
2. Cek Daftar Riwayat Pembubuhan
Setelah melakukan log in, Wajib Pajak disarankan untuk membuka daftar riwayat pembubuhan Bea e-meterai. Kemudian cek kembali dokumen yang gagal dilakukan pembubuhan e-meterai, karena semua pembubuhan e-meterai yang sudah dilakukan akan terlihat.
3. Cek Status Pembubuhan
Jika pembubuhan e-meterai berhasil maka keterangan statusnya berhasil. Namun, gagal maka status pembubuhannya Refund, sehingga akan dilaporkan untuk dilakukan pengembalian kuota meterai elektronik alias e-meterai.
Jika pembubuhan gagal, Wajib Pajak disarankan untuk melakukan tangkapan layar (screen capture) pada riwayat pembubuhan. Hal ini diperlukan sebagai pendukung laporan refund kuota e-meterai.
Baca Juga: Transaksi Surat Berharga Bebas Bea Meterai
4. Hubungi Petugas Helpdesk Untuk Melakukan Refund
Untuk melakukan refund, Wajib Pajak disarankan menghubungi petugas Helpdesk melalui Whatsapp atau layanan telepon yang nomornya tertera pada laman portal e-meterai.
Sebagai informasi, kontak Helpdesk tersebut dapat juga dapat digunakan ketika Wajib Pajak mengalami kendala saat menggunakan laman e-meterai, baik saat pembelian maupun saat pembubuhan.
5. Isi Data yang Diberikan Petugas Helpdesk
Selanjutnya, petugas Helpdesk akan meminta Wajib Pajak mengisi data yang diperlukan dalam proses refund. Jika telah diisi, petugas helpdesk akan membalas chat dan membuatkan tiket permintaan refund.
Setelah itu, tunggu petugas helpdesk melakukan pengecekan kuota e-meterai yang hilang karena gagal pada proses pembubuhan. Jika sudah selesai petugas helpdesk akan melaporkan hasilnya kepada Wajib Pajak.
6. Cek Kuota e-Meterai
Untuk memastikan kuota e-meterai telah kembali, Wajib Pajak bisa melakukan log in ulang ke dalam portal e-meterai. Demikian, langkah yang bisa dilakukan, ketika pembubuhan e-meterai yang kamu lakukan gagal.
Baca Juga: Hanya Wajib Pajak Tertentu Berhak Pungut Bea Meterai, Ini Kriterianya!
Dokumen-dokumen yang memerlukan Bea Meterai
Ketentuan mengenai Bea Meterai tertuang di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 151/PMK.03/2021 yang terbit dan mulai berlaku pada 27 Oktober 2021.
Berdasarkan aturan tersebut, dokumen yang wajib dibubuhkan Bea Meterai meliputi dokumen yang digunakan sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat perdata dan dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Dokumen tersebut harus menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan utang dengan nominal lebih dari Rp5 juta, baik yang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. Bentuk dokumen perdata yang dimaksud macam-macam, bisa berupa:
- Surat Perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
- Akta notaris beserta grosse, Salinan, dan kutipannya;
- Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
- Surat berharga dengan nama dan bentuk apa pun;
- Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan bentuk apa pun;
- Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, salinan risalah lelang, Salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang
Dokumen Bukan Objek Bea Meterai
Selain itu, UU Nomor 10 Tahun 2020 juga merilis daftar dokumen yang bukan termasuk objek bea meterai. Non-objek bea meterai antara lain:
- Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, seperti : surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim, dan surat lainnya;
- Segala bentuk ijazah;
- Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud; dan
- Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen yang Tidak Dikenakan Bea Meterai
Selain itu, ada juga dokumen yang tidak dikenakan bea meterai, yakni berupa:
- Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan Lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
- Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
- Surat gadai;
- Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
- Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.