Tarif Naik, Daya Pungut PPN Anjlok
Wednesday, 14 September 2022
JAKARTA. Kemampuan pemerintah dalam memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) anjlok setelah terjadi kenaikan tarif.
Mengutip Bisnis Indonesia edisi Rabu (14/9) kemampuan memungut PPN yang menggunakan indikator Value Added Tax (VAT) Gross Collection Ratio pada periode April-Juni 2022 hanya 61,29%.
Angka itu lebih rendah dari nilai VAT Gross Collection Ratio pada periode Januari-April atau kuartal I 2022 yang tercatat sebesar 85,59%
Nilai VAT Gross Collection Ratio dihitung berdasarkan perbandingan antara realisasi penerimaan PPN terhadap potensi PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Nilai potensi PPN diperoleh dengan mengalikan tarif PPN sebesar 11% terhadap nilai pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar Rp 2.532,4 triliun.
Dengan demikian potensi PPN pada periode Januari-Juni 2022 sebesar 278,56 triliun. Sedangkan realisasi penerimaan PPN pada periode tersebut hanya sebesar Rp 170,75 triliun.
Kenaikan tarif dianggap menjadi salah satu faktor utama dalam menyebabkan penurunan angka VAT Gross Collection Ratio ini.
Baca Juga: Bank Dunia: Tarif PPN Naik, Kemiskinan Bertambah
Sebelumnya, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% merupakan salah satu kebijakan yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kondisi ini diperkirakan akan membuat upaya pemerintah dalam mendongkrak penerimaan pajak tahun ini semakin terbatas.
Padahal, tadinya pemerintah menargetkan tambahan penerimaan pajak dari terbitnya UU HPP adalah sebesar Rp 136,3 triliun.
Namun hingga Juli 2022, kebijakan itu hanya menambah penerimaan sebesar Rp 82 triliun. Penerimaan terbesar bersumber dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebesar Rp 61 triliun dan PPN sebesar Rp 21,1 triliun.
Efektivitas UU HPP Diuji
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai, kunci dari efektivitas UU HPP ada pada optimalisasi data dari berbagai sumber, terutama mengenai Pajak Penghasilan (PPh) dan keberlanjutan PPS.
Sejatinya, ada sejumlah katalis yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk menggali potensi penerimaan dari pelaksanaan UU HPP tersebut.
Di antaranya penambahan lapisan baru PPh, pajak atas kenikmatan atau natura, pajak atas teknologi finansial (tekfin), hingga pemajakan atas aset kripto.
Baca Juga: Bukan Alat Tukar, Alasan Mata Uang Kripto Kena PPN
Hanya saja, sejumlah faktor tersebut tidak terlalu dominan apabila dibandingkan dengan penerimaan yang ditopang oleh PPS serta kenaikan tarif pajak atas konsumsi masyarakat.
Penambahan lapisan PPh misalnya hanya berpengaruh pada masyarakat super kaya, yang jumlahnya di Tanah Air amat terbatas. Hal itu disebabkan tarif yang sebesar 35% itu hanya berlaku atas wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun.
Pajak natura, yang diyakini merupakan sebuah gebrakan di bidang perpajakan, sejauh ini masih belum dilengkapi dengan aturan teknis sehingga otoritas pajak tak memiliki legalitas untuk melakukan pungutan.
Potensi lain, yakni pajak tekfin dan pajak kripto realisasinya sejauh ini masih amat terbatas yakni masing-masing Rp 83,15 miliar dan Rp 88,93 miliar per Juli lalu. (ASP)