Pemerintah Rancang APBN 2023, Defisit Dipatok 2,85%
Tuesday, 16 August 2022
JAKARTA. Setelah dalam dua tahun terakhir defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu dipatok di atas 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), akhirnya untuk Rancangan APBN 2023 defisit kembali lebih rendah dari 3%, tepatnya 2,85% atau sebesar Rp 598,2 triliun.
Hal itu tidak terlepas dari amanat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020, yang memberikan ruang kepada pemerintah untuk membuka batas defisit lebih dari 3% untuk APBN 2021 dan APBN 2022.
Hal itu dilakukan sebagai respons pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi Covid-19. Sementara untuk APBN 2023 wajib dikembalikan ke level di bawah 3%.
Adapun penyampaian RAPBN 2023 dilakukan bersamaan dengan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 di hadapan anggota DPR pada Selasa (16/8).
Baca Juga: Invasi Rusia, Inflasi, dan Simalakama Booming Harga Minyak
Dalam kesempatan tersebut Jokowi mengatakan, APBN harus mampu meredam keraguan, membangkitkan optimisme dan mendukung target pembangunan. "Namun tetap dengan kewaspadaan yang tinggi," katanya.
Oleh karenanya, menurut Jokowi APBN 2023 didesain untuk menghadapi berbagai tantangan yang lebih besar. Karena masih ada gejolak ekonomi yang kemungkinan masih harus dihadapi.
Secara rinci postur RAPBN yang dirancang pemerintah terdiri dari pendapatan negara sebesar Rp 2.443,6 triliun dan belanja negara sebesar Rp 3.041,7 triliun.
Target pendapatan negara yang dipatok tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.016,9 triliun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 426,3 triliun dan hibah sebesar Rp 0,4 triliun.
Baca Juga: Tax Amnesty, Dorong Kepatuhan Pajak atau Sebaliknya?
Sementara di sisi belanja negara, pemerintah mengalokasikan untuk belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.230 triliun dan transfer ke daerah Rp 811,7 triliun.
Untuk menutupi defisit yang terjadi, pemerintah mengalokasikan pembiayaan sebesar Rp 598,2 triliun, yang sepenuhnya berasal dari pembiayaan utang, pinjaman program, pendalaman pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan investasi BUMN.
Berbeda dari dua tahun terakhir, pembiayaan yang akan dilakukan pada tahun 2023 juga tidak akan melibatkan Bank Indonesia melalui skema burden sharing, seperti halnya yang dilakukan pada tahun 2020, 2021 dan 2022. (ASP)