Sri Mulyani Kritik Kesenjangan Aturan Pajak Internasional
Friday, 15 July 2022
JAKARTA. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengkritik aturan perpajakan internasional yang dianggapnya terlalu condong pada kepentingan negara maju, dibandingkan negara berkembang.
Hal itu ia sampaikan dalam acara Finance and Central Bank Governors (FMCBG) Meetings yang merupakan bagian dari rangkaian pertemuan G20 di Bali, Kamis (14/7).
Mengutip Bisnis.com, Sri Mulyani menyebut arsitektur perpajakan global yang selama ini dibuat lebih banyak menggunakan standar negara-negara maju dalam melihat perubahan bisnis, konektivitas, perkembangan teknologi dan perubahan kebiasaan konsumen.
Seperti diketahui, lahirnya konsensus perpajakan global karena besarnya dampak yang ditimbulkan dari perubahan-perubahan tersebut terhadap kondisi perpajakan semua negara.
Sulit Mengikuti Standar Negara Maju
Namun, minimnya keterlibatan negara berkembang dalam penyusunan kerangka kebijakannya, mereka sulit mengikuti standar-standar yang ditetapkan.
Di sisi lain, masalah perpajakan yang timbul tidak hanya dirasakan negara maju, tetapi juga negara berkembang. Bahkan, menurut Sri Mulyani tantangan perpajakan yang dihadapi oleh negara berkembang jauh lebih berat dibandingkan negara-negara maju.
"Negara-negara berkembang mengalami pengurangan revenue yang lebih besar dalam cross border tax evation. Oleh karena itu, suara mereka harus didengarkan dan dipertimbangkan," kata Sri Mulyani.
Masalah Negara Berkembang
Ada beberapa alasan mengapa demikian, pertama karena negara berkembang memang menghadapi masalah ekonomi yang jauh lebih kompleks. Selain itu, mereka juga dihadapkan pada masalah finansial dan terbatasnya akses data.
Sri Mulyani menyarankan, negara berkembang harus lebih dilibatkan tidak hanya sebagai partisipan, melainkan dalam proses pengambilan keputusan. "sehingga mereka bisa memiliki pengaruh secara langsung dalam membentuk peraturan perpajakan internasional", ujarnya.
Sementara mengutip Kontan.co.id, terlepas dari persoalan itu Sri Mulyani menyebut koordinasi kerangka kerja inklusif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan kemajuan.
Terutama untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul karena digitalisasi ekonomi, melalui dua pilar kebijakan perpajakan internasional. Pilar pertama mengatur mengenai hak pemajakan atas penghasilan perusahaan multinasional.
Sedangkan Pilar II mengatur mengenai tarif pajak minimum yang berlaku global sebesar 15 untuk perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria. (asp)