Ambiguitas Omnibus Law Pasca Putusan ‘Setengah Hati’ Mahkamah Konstitusi
Mawla Robbi,
Thursday, 09 December 2021
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan ”bersayap” dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta kerja) “inkonstitusional bersyarat” dan harus diperbaiki dalam waktu dua tahun.
MK dalam putusannya tidak secara tegas membatalkan UU Cipta Kerja meskipun ditemukan cacat formil dalam pembentukannya. Dalam hal ini, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya diminta memperbaiki undang-undang sapu jagat (omnibus law) tersebut paling lama dua tahun sejak putusan dikeluarkan. Apabila perbaikan tidak dilakukan sesuai jangka waktu yang diberikan maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional permanen dan tidak lagi mengikat secara hukum.
Selama rentang waktu tersebut pemerintah juga dilarang mengeluarkan kebijakan strategis dan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang terkait UU Cipta Kerja. Namun, kebijakan atau peraturan terkait yang sudah terlanjur terbit tetap berlaku selama jangka waktu perbaikan.
Ketidakpastian Baru
Alih-alih menghadirkan kejelasan di masyarakat, keputusan MK ini justru memunculkan ketidakpastian baru. ”Inkonstitusional bersyarat” dianggap lelucon oleh para praktisi hukum karena menunjukkan sikap ”setengah hati” MK selaku penegak hukum tertinggi konstitusi.
Secara teoritis, “inkonstitusional bersyarat” yang menjadi putusan MK memiliki dua konsep. Pertama, undang-undang yang diuji tetap dinyatakan berlaku sementara hingga revisi yang dipersyaratkan telah dilakukan. Kedua, undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku sementara hingga syarat untuk merevisi telah terpenuhi.
Putusan MK Nomor 91/2020 angka 4 jo. angka 7 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku hingga dua tahun, namun menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Dalam putusan tersebut, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai ukuran “strategis dan berdampak luas”.
Sebagaimana diketahui bahwa UU Cipta Kerja merupakan peraturan setingkat undang-undang yang tentunya mengatur substansi materi muatan yang strategis dan berdampak luas. Dengan demikian, seharusnya tertutup kemungkinan akan adanya pasal yang “diloloskan” dari penangguhan tersebut.
Namun, sebagaimana diketahui dalam konsep “distribution of power”, pemerintah dalam hal ini presiden sebagai lembaga eksekutif memiliki kewenangan untuk menjalankan undang-undang. Oleh karenanya, dengan tanpa dibuatnya ukuran “strategis dan berdampak luas” secara baku maka pemerintah dapat menafsirkan sendiri ketentuan mana saja dari UU Cipta Kerja yang tidak “strategis dan berdampak luas” sehingga bisa tetap dijalankan.
Selanjutnya, perihal tidak dibenarkannya menerbitkan peraturan pelaksana baru selama tenggat waktu dua tahun justru akan berdampak pada tidak dapat dilaksanakannya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Terutama, materi pengaturan yang secara khusus diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Substansi putusan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang luas karena secara materi telah diatur dalam UU Cipta Kerja namun tidak dapat dibuat aturan pelaksanaannya.
Sebagai catatan, Putusan MK Nomor 91/2020 angka 7 dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk diajukannya uji materi ke Mahkamah Agung atas Peraturan Pemerintah dari UU Cipta Kerja maupun produk hukum turunannya, baik yang telah diundangkan sebelum maupun setelah putusan MK tersebut dibacakan. Tentunya, hal tersebut ke depannya berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Dengan putusan tersebut, MK sebenarnya sudah menutup kemungkinan untuk dilakukan kembali uji materi atas UU Cipta Kerja. Sebab, dalam 10 putusan yang lain, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja sudah tidak lagi menjadi “objek sengketa” atas uji materi undang-undang terhadap UUD 1945. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat atau wajib untuk dipatuhi.
Selain itu, Putusan MK Nomor 91/2020 memberikan pesan bahwa pembuat undang-undang—Presiden dan DPR—wajib mematuhi standar dan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang belaku.
Jangan lupa, UU Cipta Kerja berpotensi inkonstitusional permanen jika dalam dua tahun tidak diperbaiki. Konsekuensi dari “inkonstitusional permanen” adalah undang-undang, pasal-pasal maupun materi yang sebelumnya digantikan oleh omnibus law tersebut menjadi kembali berlaku dan berkekuatan hukum.
Meskipun tujuan utamanya adalah untuk mengisi kekosongan hukum, namun pengembalian materi undang-undang dengan substansi yang sangat luas dapat berakibat pada ketidakpastian hukum yang terjadi di berbagai sektor yang diatur sebelumnya berdasarkan UU Cipta Kerja.
Selain itu, banyak produk hukum baik setingkat undang-undang maupun turunannya yang mengacu pada UU Cipta Kerja—seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan—berpotensi menjadi “objek hukum baru” untuk diuji materi.
Dapat disimpulkan bahwa, dampak dari putusan MK justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum baru, baik atas materi-materi yang sudah diatur dalam UU Cipta Kerja maupun produk hukum turunannya
Sebagai informasi, ketidakpastian hukum (uncertainty of law) merupakan salah satu isu utama dalam risiko berinvestasi di suatu negara. Sedangkan, tujuan pembentukan UU Cipta Kerja adalah untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja.
Salah Kaprah
Sebagaimana diketahui, MK memiliki kewenangan untuk menguji kesesuaian produk hukum dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku induk dari segala legislasi di negeri ini. Putusan MK bersifat final dan mengikat, yang artinya wajib dilaksanakan serta tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun untuk mengganti atau membatalkannya.
Berkaitan dengan uji formil UU Cipta Kerja, MK dalam amar putusannya mensyaratkan perbaikan metode dan pemenuhan asas-asas pembentukan undang-undang—sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Khususnya, terkait asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat.
Apabila dianggap menyalahi ketentuan konstitusi dan UU Nomor 12 Tahun 2011, kenapa tidak dibatalkan langsung UU Cipta Kerja agar pembuat pemerintah dan DPR memperbaikinya. Kalua yang dikhawatirkan kekosongan hukum, MK sebenarnya dapat memberlakukan peraturan lama yang diubah UU Cipta Kerja.
Alhasil, bukan UU Cipta Kerjanya yang akan diperbaiki, Pemerintah dan DPR justru akan merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011. Tujuannya agar bisa mengakomodir konsep omnibus law yang menjadi roh dari UU Cipta Kerja.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 6 Desember 2021
Kumparan.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.