Pengusaha Kecil Eks Korban PHK, Bagaimana Hitung Pajaknya?
Wila,
Monday, 15 November 2021
Sejak pandemi saya memulai usaha budidaya tanaman hias, terutama setelah terkena PHK. Apabila sebelumnya setiap tahun saya melaporkan SPT atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang dipotong perusahaan, bagaimana dengan kewajiban serupa untuk tahun pajak selanjutnya?
Ada yang menyarankan saya menggunakan norma, ketimbang ribet membuat pembukuan. Apa yang dimaksud norma dan bagaimana cara penggunaannya? Mana yang lebih baik sebenarnya, norma atau pembukuan? Terima kasih
~Muhib, Surabaya~
Jawaban:
Salam Pak Muhib. Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebagai pengusaha tanaman hias, Anda termasuk dalam kategori wajib pajak orang pribadi non karyawan, yang berkewajiban menghitung penghasilan kena pajak, membayarkan pajak penghasilan dan melaporkan semuanya secara swadaya ke kantor pajak.
Untuk itu, pastikan penghasilan Anda sebagai pengusaha kecil—setelah dikurangi biaya-biaya—melampaui batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta sebulan. Sebab, PPh hanya dikenakan atas penghasilan neto atau penghasilan yang telah dikurangi PTKP.
Untuk menghitung penghasilan kena pajak, ada dua metode yang bisa Anda pilih selaku pembayar pajak orang pribadi: pencatatan atau pembukuan.
Pencatatan merupakan data penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang dikumpulkan secara teratur, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Hal ini akan terkait dengan kemungkinan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Sedangkan pembukuan adalah data dan informasi keuangan yang dikumpulkan dan dicatatkan secara teratur, yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan (laba/rugi). Pembukuan wajib bagi pembayar pajak dengan peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun.
Menyimak pertanyaan di atas, saya berasumsi Anda pengusaha kecil dengan omzet atau peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun dan belum membuat pembukuan. Untuk itu, Anda dapat memilih metode pencatatan sebagai basis menghitung penghasilan kena pajak menggunakan NPPN.
Intinya, rumus untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto dikalikan dengan persentase NPPN, lalu dikurangi dengan PTKP. Adapun Besaran persentase NPPN dikelompokan berdasarkan wilayah dan jenis profesi atau usaha tertentu, yang detilnya bisa dilihat melalui link ini.
Sebagai ilustrasi, NPPN untuk budidaya tanaman hias di kota Surabaya sebesar 11, 5 % dan penghasilan bruto Anda dalam setahun semisal Rp1 miliar. Dengan demikian, total penghasilan neto yang terutang PPh sebesar Rp115 juta.
Karena peredaran usaha di atas tidak melebihi Rp4,8 miliar setahun, Anda dapat memilih untuk menggunakan tarif PPh final 0,5 % dari peredaran bruto. Fasilitas ini dapat Anda manfatkan selama tujuh tahun.
Setelah itu, berlaku ketentuan PPh normal dengan tarif bersifat progresif (lihat tabel).
Penghasilan Kena Pajak | Tarif |
<Rp50 juta | 5% |
>Rp50 juta - Rp250 juta | 15% |
>Rp250 juta - Rp500 juta | 25% |
>Rp500 juta - Rp5 miliar | 30% |
> Rp5 miliar* | 35% |
*Ketentuan baru UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Satu hal yang harus diperhatikan juga bahwa segala bentuk buku, catatan, dokumen atau bukti yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan termasuk hasil pengolahan data yang dikelola secara elektronik atau online wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yakni di tempat kegiatan atau tempat tinggal wajib pajak.
Demikian penjelasan dari saya, semoga bermanfaat dan terima kasih.
Salam.
Catatan:
Tanya-tanya Pajak merupakan kolaborasi Kompas.com dan MUC Consulting seputar kebijakan dan praktik perpajakan. Sobat Pajak dapat mengajukan pertanyaan melalui link ini. Artikel ini telah terbit di Kompas.com, Jumat (12/11/2021).