Opinion
Ketentuan Pajak Natura, Kado Akhir Tahun atau Beban Tahun Baru?

Winni Hidayanti, Monday, 09 January 2023

Ketentuan Pajak Natura, Kado Akhir Tahun atau Beban Tahun Baru?
Ilustrasi karyawan mencoba memahami ketentuan pajak atas natura/kenikmatan (Photo: Andrea Piacquadio/Pexels).

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2022 menjadi kado akhir tahun 2022 sekaligus pedoman baru bagi pembayar pajak untuk mengawali tahun baru 2023. Alih-alih mencerahkan dan membantu, beleid yang ditunggu-tunggu ini justru menyisakan ketidakjelasan dan memunculkan risiko beban administrasi yang kemungkinan bakal merepotkan wajib pajak. 

Salah satu poin dalam PP tersebut yang ditunggu adalah ketentuan pelaksanaan amanat Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menegaskan pemberian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari perusahaan ke karyawan sebagai objek pajak penghasilan. 

“Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. 

UU HPP juga menegaskan, biaya pengganti atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan usaha, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. 

Dengan demikian, nilai natura atau kenikmatan merupakan komponen penghasilan bruto karyawan yang menjadi dasar penghitungan PPh 21 atau PPh 26. Nilai natura itu juga menjadi komponen biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan.

Sejak UU HPP disahkan pada tahun 2021, baru di penghujung 2022 pemerintah mengeluarkan petunjuk pelaksana ketentuan pajak atas natura menyusul terbitnya PP No. 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan

Intinya, efektif per 1 Januari 2023, pemberi kerja wajib menghitung, melaporkan, dan membayarkan PPh atas imbalan berupa natura /kenikmatan yang diberikan ke karyawan mulai tahun 2022. Namun, untuk natura/kenikmatan yang belum dipotong PPh oleh pemberi kerja di tahun 2022, menjadi kewajiban karyawan yang menerima untuk menghitung dan membayarkan sendiri pajaknya, serta melaporkan secara self-assessment di SPT Tahunan 2022.

Untuk bisa menghitung nilainya, wajib pajak harus memahami dulu definisi dari “penggantian atau imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan". Ada dua definisi imbalan yang diatur dalam PP Nomor 55 tahun 2022. 

Pertama, imbalan dalam bentuk natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang. Dalam hal ini yang dimaksud uang meliputi pula cek, saldo tabungan, uang elektronik, atau saldo dompet digital.

Kedua, imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan. Fasilitas dan/atau pelayanan yang diberikan pemberi kepada penerima dapat bersumber dari aktiva pemberi atau aktiva pihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi.

Intinya, untuk menghitung besaran natura mengacu pada nilai pasar. Sedangkan untuk kenikmatan, dihitung berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi imbalan. 

Namun, PP Nomor 55 tahun 2022 membuat pengecualian pengenaan PPh atas natura dan/atau kenikmatan tertentu yang diterima karyawan. Meski dikecualikan dari objek PPh karyawan, natura/kenikmatan tertentu tersebut tetap dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan (deductible expense). Untuk lebih detil, simak daftar natura bebas pajak penghasilan berikut. 

Baca juga: Aturan Baru Terbit, Simak Daftar Natura Bebas Pajak Penghasilan Berikut

Belum Jelas

Walaupun PP No. 55 tahun 2022 telah menjelaskan beberapa hal terkait tata cara penilaian natura/kenikmatan sebagai obyek pajak, namun masih diperlukan penjelasan yang lebih detail agar tidak membingungkan Wajib Pajak, baik pemberi kerja maupun karyawan. 

Misalnya terkait natura/kenikmatan di daerah tertentu, yang kategorisasi dan definisinya terlalu luas dan masih meninggalkan tanda tanya. PP No. 55 Tahun 2022 menjelaskan “daerah tertentu” yang dimaksud adalah wilayah yang secara ekonomis mempunyai potensi layak dikembangkan, tetapi secara umum prasarana kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum, baik melalui darat, laut, maupun udara. Salah satunya adalah natura yang diberikan perusahaan kepada karyawan yang mendapatkan penugasan tertentu, sepanjang lokasi usaha pemberi kerja mendapatkan penetapan daerah tertentu dari Direktur Jenderal Pajak. Catatan di akhir kalimat tersebut dapat diartikan bahwa perusahaan yang tinggal di daerah terpencil yang tidak memiliki surat ketetapan “daerah tertentu” dari DJP, tidak dapat memanfaatkan fasilitas bebas PPh. 

Begitu juga dengan non-objek PPh berupa natura dengan jenis dan batasan tertentu, yang masih belum jelas. Terutama terkait jenis dan nilai natura, serta kriteria penerimanya seperti apa. Penjelasannya tampaknya masih harus menunggu terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait. 

Risiko & Beban

Selanjutnya, ketentuan pelaporan self-assessment bagi karyawan yang menerima natura kenikmatan di tahun 2022 tetapi belum dipotong PPh oleh pemberi kerja. Hal ini tidak hanya merepotkan bagi karyawan penerima natura, tetapi juga perusahaan selaku pemberi kerja. Sebab, perusahaan harus menilai dan menghitung secara detail nilai natura/kenikmatan yang diberikan ke masing-masing karyawan, untuk kemudian dan menginformasikan ke karyawan satu per satu. Prosedur administrasi ini juga harus diperjelas lebih lanjut. 

Berdasarkan penilaian penulis, implementasi dari penetapan natura/kenikmatan sebagai objek pajak bisa membebani neraca keuangan (cashflow) perusahaan, terutama jika PPh atas natura ditanggung perusahaan seluruhnya. Sebaliknya, jika PPh atas natura dipotong dari gaji karyawan maka akan menggerus penghasilan bersih karyawan. 

Oleh karenanya, perlu dibuka ruang diskusi yang transparan antara perusahaan dengan karyawan terkait penetapan natura/kenikmatan sebagai obyek pajak. Alangkah lebih baik jika melibatkan Otoritas Pajak sebagai narasumber dan mediator sehingga bisa menghasilkan solusi yang sama-sama baik bagi karyawan maupun perusahaan. Jangan lupa, sebelum aturan ini terbit karyawan tidak memiliki kewajiban tambahan untuk melaporkan, menghitung, dan membayarkan pajak atas natura/kenikmatan yang diterima dari pemberi kerja. 

Pertanyaan terakhir, seberapa jauh tanggungjawab perusahaan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan karyawan di tahun 2022? Tentunya akan sulit bagi perusahaan untuk melakukan pembuktian pemenuhan pajak yang dilaporkan karyawannya.  Apakah hal ini akan mempengaruhi pengakuan natura sebagai biaya di SPT PPh Badan perusahaan tahun 2022? Kalau iya, bisa tambah runyam. 

Baca juga: 10 Poin Penting Aturan Baru PPN

Alternatif Pembetulan SPT

Mungkin pemerintah perlu mempertimbangkan opsi alternatif penghitungan natura/kenikmatan tahun 2022 melalui mekanisme pembetulan SPT PPh 21 tahun 2022 tanpa dikenakan sanksi bunga. Pasalnya, aturan terkait penghitungan dan pelaporan natura sebagai obyek pajak (PP No. 55 Tahun 2022) baru diterbitkan di penghujung tahun 2022. Alternatif ini akan lebih sederhana dan memudahkan pemberi kerja maupun karyawan. (AGS)

*Artikel telah terbit di CNBC Indonesia, 4 Januari 2023

CNBC Indonesia

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.