Belanja Pajak 2020 Turun, Insentif di Masa Pandemi Tidak Efektif?
Tuesday, 24 August 2021
JAKARTA. Pemerintah menyebut realisasi belanja perpajakan atau tax expenditure selama tahun 2020 diprediksi hanya Rp 234,9 triliun, atau 1,5% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai belanja perpajakan ini turun 10,3% dari realisasi tahun 2019
Sebagaimana yang disampaikan pemerintah di dalam Nota Keuangan atau Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 angka realisai belanja perpajakan ini sudah memperhitungkan pemberian insentif dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.
Jika kita lihat tren dalam beberapa tahun terakhir, nilai belanja perpajakan tahun 2020 merupakan yang paling rendah dalam tiga tahun terakhir. Padahal, sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret 2020 hingga saat ini, berbagai insentif perpajakan telah dikeluarkan pemerintah.
Belanja perpajakan, yang disebutkan sebagai berkurangnya jumlah penerimaan perpajakan, akibat pemberian insentif atau perlakuan khusus terhadap satu objek pajak dari ketentuan yang berlaku umum.
Baca Juga: Insentif Covid-19 Diperpanjang, Sektor Usaha Penerima Dipersempit
Nilai belanja perpajakan dihitung menggunakan metode revenue forgone atau selisih antara realisasi penerimaan pajak dengan estimasi penerimaan pajak jika insentif tidak diberikan. Logikanya, semakin banyak insentif yang ditawarkan akan berbanding lurus dengan jumlah nilai penerimaan yang tidak tertagih.
Perubahan Metodologi
Pemerintah mengungkapkan ada tiga alasan, mengapa belanja perpajakan tahun 2020 turun. Pertama, adanya perubahan metodologi penghitungan, terutama dalam penggunaan tarif pajak PPh dan PPN efektif. Dengan menggunakan metodologi terbaru, pemerintah mengklaim penghitungan belanja perpajakan akan jauh lebih akurat.
Kedua, karena adanya perubahan bacnhmark tarif Pajak Penghasilan dari 25% menjadi 22%, mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020. Ketiga, karena adanya perubahan basis data penghitungan belanja PPN, dari sebelumnya mengacu pada table output yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menjadi tahun 2016.
Manufaktur Terbesar
Secara rinci, alokasi belanja perpajakan terbesar berasal dari PPN dan PPnBM sebesar Rp 140,4 triliun turun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 156,5 triliun. Sementara belanja PPh pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 80,6 triliun, turun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 104,3 triliun.
- Belanja Perpajakn Berdasarkan Jenis Pajak:
Jenis Pajak | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
PPN & PPnBM | Rp 108,8 | Rp 132,8 | Rp 153,9 | Rp 156,5 | Rp 140,4 |
PPh | Rp 77,0 | Rp 92,4 | Rp 99,9 | Rp 104,3 | Rp 80,6 |
Bea Masuk dan Cukai | Rp 8,5 | Rp 8,8 | Rp 12,3 | Rp 11,3 | Rp 13,8 |
PBB Sektor P3 | Rp 0,02 | Rp 0,1 | Rp 0,1 | Rp 0,1 | Rp 0,1 |
Bea Materai | Rp 0,0 | Rp 0,0 | Rp 0,0 | Rp 0,0 | Rp 0,0 |
TOTAL | Rp 194,4 | Rp 234,1 | Rp 266,1 | Rp 272,1 | Rp 234,9 |
- Belanja Pajak Berdasarkan Tujuan Kebijakan
Tujuan Penggunaan | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 |
Mendukung dunia bisnis | Rp 19,8 | Rp 30,6 | Rp 33,5 | Rp 39,2 | Rp 26,8 |
Mengembangkan UMKM | Rp 42,7 | Rp 51,8 | Rp 62,3 | Rp 65,5 | Rp 59,9 |
Investasi | Rp 45,2 | Rp 21,2 | Rp 27,1 | Rp 25,8 | Rp 28,6 |
Kesejahteraan masyarakat | Rp 86,7 | Rp 130,5 | Rp 143,2 | Rp 141,6 | Rp 119,7 |
TOTAL | Rp 194,4 | Rp 234,1 | Rp 266,1 | Rp 272,1 | Rp 234,9 |
Jika dilihat berdasarkan sektor industry penerima insentif, belanja perpajakan terbesar diserap oleh sektor manufaktur senilai Rp 57,2 triliun serta jasa keuangan dan asuransi sebesar Rp 37,3 triliun. (asp)