Opinion
Surga Digital Nomad, Bukti Lemahnya Imigrasi dan Pajak Indonesia

Gianti Pradipta, Tax Consultant MUC Consulting | Friday, 30 April 2021

Surga Digital Nomad, Bukti Lemahnya Imigrasi dan Pajak Indonesia

Beberapa waktu yang lalu, media sosial dihebohkan dengan cerita wanita berkebangsaan Amerika Serikat (AS)—yang hampir setahun menjadi pengembara digital (digital nomad) di Bali, Indonesia. Videonya viral karena ia mengajak jejaring sosialnya—yang mayoritas warga negara asing—untuk mengikuti jejaknya bekerja jarak jauh dari kawasan surga wisata Bali dengan memanfaatkan kelemahan dan kelengahan pengawasan imigrasi dan perpajakan Indonesia.

Sontak, pengakuan turis AS ini mendapat kecaman dari netizen Indonesia. Karena selain menyalahgunakan visa turis untuk bekerja, ia dipastikan tidak membayar pajak penghasilan (PPh) seperti ekspatriat pada umumnya, dan yang paling parah mendorong migrasi wisatawan mancanegara ke Bali di tengah upaya Indonesia berjuang mengatasi pandemi Covid-19.

Video viral ini seolah membuka mata publik—dan juga seharusnya pemerintah—terkait eksistensi digital nomad di Indonesia. Terutama turis-turis mancanegara yang memperoleh penghasilan dengan berselancar di dunia maya sambil duduk santai di sudut-sudut café atau co-working space di kawasan wisata seperti Bali, Lombok, Jogjakarta, atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Digital nomad adalah orang yang sepenuhnya mengandalkan internet untuk bekerja, sehingga dapat bekerja dari mana saja dan berpindah-pindah ke berbagai destinasi yang jaraknya ribuan kilometer jauhnya dari rumah, rekan kerja, bos, dan bahkan klien atau pelanggannya.

Pengambara digital biasanya memperoleh penghasilan dari jasa daring terkait web/app developing, digital marketing, graphics design, social media specialist, vlog dan blog monetizing, copywriting, digital assistants, serta jual-beli online melalui sistem dropshipping atau remote selling. Penghasilan mereka bisa berasal dari seluruh dunia, yang dibayarkan melalui rekening digital.

Kebocoran Pajak

Fenomena digital nomad asing—yang seolah bebas berwisata sambil bekerja—setidaknya mengungkap salah satu penyebab kebocoran pajak Indonesia dan mungkin banyak negara lain. Sayangnya, video viral tersebut hanya mengungkap satu identitas dari mungkin ratusan atau ribuan eksistensi turis ”nakal” di seluruh Nusantara. Ceritanya tentu beda jika aturan keimigrasian diperketat dan sistem perpajakan melekat.

Sejatinya, sejak lama sudah ada regulasi yang mengatur mengenai keberadaan WNA sebagai subjek pajak dalam negeri. Payung hukum tertinggi yang mengatur hal itu adalah UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang terakhir diubah melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Intinya begini, Pasal 2 ayat (3) UU PPh menegaskan yang termasuk subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi, baik WNI maupun WNA, yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan atau satu tahun pajak, dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Teknis penentuan subjek pajak dalam dan luar negeri kemudian diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-43/PJ/2011, yang masih berlaku sampai sekarang. Dalam hal ini, subjek pajak orang pribadi dianggap mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia selama memiliki bukti dokumen yang dipersyaratkan. Yakni berupa: visa kerja; Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS); atau kontrak/perjanjian kerja, usaha, atau kegiatan di Indonesia lebih dari 183 hari hari.

Selain kepemilikan dokumen yang dipersyaratkan di atas, subjek pajak orang pribadi juga perlu  menunjukkan niatnya menetap di Indonesia seperti dengan menyewa atau mengontrak tempat tinggal  dan memindahkan anggota keluarga, atau memperoleh tempat yang disediakan oleh pihak lain.

Berdasarkan ketentuan di atas, sudah jelas turis wanita AS—yang mengajak hijrah teman-teman WNA-nya ke Bali—memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak dalam negeri. Sebab, yang bersangkutan telah tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dengan menyewa tempat tinggal yang permanen (permanent dwelling place), dan berkegiatan sehari-hari laiknya warga yang menetap (ordinary course of life), serta memiliki tempat untuk melakukan kebiasaan atau kegiatannya (place of habitual abode).

Terlebih, wanita tersebut dalam vlog-nya  mengaku telah menjual aset-asetnya di AS dan memilih pindah ke Bali. Masalahnya, dia dan kemungkinan sebagian besar digital nomad lainnya, masuk Indonesia menggunakan visa kedatangan 60 hari (B211A) yang tidak untuk bekerja di Indonesia. Apalagi kalau mereka tidak memiliki KITAS sebagai izin bekerja.

Insentif Pajak

Sebenarnya, ketentuan perpajakan—yang baru direvisi menggunakan skema omnibus law—memberikan semacam keringanan atau insentif, dengan hanya memajaki penghasilan yang diterima di Indonesia untuk jangka waktu empat tahun. Artinya, penghasilan yang berasal dari luar negeri tidak dikenakan PPh untuk jangka waktu empat tahun.  Ketentuan ini juga berlaku bagi WNA yang memenuhi kriteria tertentu. 

Pasal 4 UU Cipta Kerja menyebutkan, pengecualian objek pajak hanya diperuntukan bagi WNA yang memiliki keahlian tertentu dan itupun berlaku selama empat tahun terhitung sejak menjadi subjek pajak dalam negeri. Adapun kriteria keahlian tertentu serta tata cara pengenaan PPh bagi WNA yang dimaksud diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Sejauh ini belum ada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal tersebut.

Dengan demikian,  penghasilan digital nomad sebenarnya memenuhi persyaratan untuk dikecualikan atau bebas PPh karena diterima sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan di Indonesia yang dibayarkan dari luar negeri. Dengan catatan, bidang kerja mereka termasuk dalam kriteria keahlian tertentu yang dipersyaratkan. Satu hal lagi, hanya WNA yang memasuki wilayah Indonesia menggunakan visa yang sesuai yang berhak atas pengecualian tersebut.

Lantas, bagaimana dengan digital nomad di Bali yang videonya viral? Tentunya sudah bisa ditebak. Sambil menyelam minum air. Sambil berwisata mengakali imigrasi dan menghindari pajak. Deportasi aja ke India, eh…Amerika.

**) Tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 28 April 2021

 Kumparan.com

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.

Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.