Other
Melarikan Diri, Bukan Solusi

Fhadhila Royani Putri, Quality Assurance Manager MUC Consulting | Monday, 26 April 2021

Melarikan Diri, Bukan Solusi

Mungkin kita pernah bertanya, kenapa perokok tetap mengulangi kebiasaan tak sehatnya? Sekalipun peringatan bahaya merokok—berupa gambar jantung rusak atau tenggorokan bolong—terpampang jelas di bungkus rokok?

Atau, kenapa ketika sedang ada masalah atau merasa kesepian sebagian dari kita menelepon orang tua sekedar minta dibuatkan masakan favorit. Kemudian kita pulang ke rumah orang tua, tidur di kamar masa kecil menggunakan selimut atau bantal lawas, kemudian kegalauan mendadak hilang.

Dalam psikoanalisis, apa yang terjadi pada si perokok dan sebagian dari kita yang memilih kembali ke kehidupan masa lalu adalah contoh dari mekanisme pertahanan psikologi (defense mechanism). Defense mechanism merupakan upaya manusia menghindar dari perasaan atau kejadian tak nyaman dengan mengalihkan perasaan tersebut ke objek atau kegiatan lain. Biasanya, manusia melakukannya  tanpa sadar.

Perokok yang tidak menggubris peringatan bahaya merokok sejatinya sedang melakukan pertahanan psikologi yang disebut dengan rasionalisasi. Yaitu, mencari alasan rasional untuk tetap melakukan dan menjustifikasi kebiasaan tidak sehat atau kurang baik tanpa merasa bersalah.

Sedangkan, orang yang memilih kembali ke lingkungan masa kecil atau remaja sebenarnya sedang melakukan regresi. Yaitu, mengalihkan rasa tidak nyaman dengan mengulang hal-hal yang biasa kita lakukan ketika belum dewasa. Contoh sederhana dari regresi adalah anak usia lima tahun atau lebih yang kembali mengompol atau bicara seperti balita ketika ia punya adik. Ia melakukannya karena rasa cemburu dan ingin diperlakukan seperti bayi lagi.

Teori pertahanan psikologi pertama kali diusung oleh Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis asal Austria. Menurutnya, defense mechanism merupakan hal wajar dan manusiawi karena merupakan bagian dari perkembangan psikologis manusia. 

Anak bayi biasanya menangis kencang sebagai bentuk awal komunikasi sekaligus mekanisme pertahanan. Seiring bertambah usia, bentuk pertahanan psikologi makin beragam seiring dengan pemahaman yang bertambah terhadap nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitar.

Berdasarkan riset Sigmund Freud, yang dikembangkan oleh putrinya Anna Freud, ada 20 jenis mekanisme pertahan psikologi. Berikut ini adalah 10 jenis defense mechanism yang paling umum.

Penyangkalan

Meyakini sesuatu yang jelas-jelas salah, atau sebaliknya menolak untuk percaya fakta yang nyata di depan mata. Contoh terkini di era pandemi, seseorang sakit dengan gejala Covid-19 tetapi menolak dites. Dia mencoba meyakinkan dirinya atau orang di sekitarnya bahwa ia hanya sedang tidak enak badan dan akan segera sembuh. Contoh lain adalah seseorang menolak menyingkirkan pakaian yang sudah sempit dengan alasan akan muat lagi, tanpa melakukan diet.

Proyeksi

Memproyeksikan pikiran atau perasaan kita terhadap orang lain dan seolah-olah orang tersebut berprasangka sama ke kita. Misalnya kita tidak menyukai seseorang karena sesuatu hal, karena tidak mau mengakuinya kita malah menganggap orang itu yang tidak menyukai kita. Atau, seseorang yang selingkuh karena ia curiga kalau pasangannya juga selingkuh.

Pengalihan

Dalam hal ini mengarahkan emosi dan frustrasi ke objek yang bukan penyebab dan dianggap lebih inferior. Misalnya, seseorang yang sedang kesal dengan atasannya lalu ketika di rumah memarahi anaknya karena hal yang sepele. Atau, suami yang takut dengan pasangannya dan tidak berani melampiaskan kekesalannya di rumah tapi di kantor ia dikenal sebagai atasan yang sangat galak dan sering marah-marah.

Formasi Reaksi

Apa yang ditampilkan kebalikan dari yang sebenarnya dirasakan. Contohnya, seseorang diam-diam suka kepada temannya, tapi karena takut ditolak dan tidak mengakui perasaannya, ia malah berprilaku seperti tidak suka atau membencinya.

Disosiasi

Memisahkan realita dan mencari representasi lain untuk mengalihkan rasa tidak nyaman. Orang yang menggunakan strategi ini, cenderung menghindar dari kenyataan dan hidup di dunia baru yang mereka ciptakan tanpa harus menghadapi konlik dan masalah untuk jangka waktu tertentu. Contohnya, menghayal skenario yang dalam dunia nyata tidak terjadi.

Intelektualisasi

Menggunakan logika untuk menghindari atau mengabaikan perasaan yang tidak menyenangkan. Intelektualisasi digunakan untuk menghalangi diri kita berhadapan langsung dengan perasaan sebenarnya. Misalkan, ketika seseorang gagal interview di perusahaan impian, karena tidak mau merasa kecewa maka langsung mengalihkannya dengan membuat daftar evaluasi tentang kesalahan atau kekurangan yang membuatnya gagal. Ia akan menggunakan hasil evaluasi tersebut untuk strategi ke depannya.

Represi

Melupakan kejadian yang membuat trauma atau tidak nyaman. Represi biasanya dilakukan tanpa sadar. Sayangnya, memori tersebut sebenarnya tidak benar-benar hilang. Perlahan masuk ke alam bawah sadar dan akan termanifestasi ke dalam prilaku dan reaksi terhadap sesuatu atau seseorang di masa yang akan datang. Represi biasanya dialami oleh, salah satunya, korban kekerasan seksual.

Supresi

Berbeda dengan represi, supresi dilakukan dengan sadar atau sengaja. Kita dengan sengaja melupakan sesuatu atau mengalihkan pikiran dari hal yang tidak membuat nyaman. Supresi adalah salah satu dari tiga jenis defense mechanisms yang dianggap matang dan merupakan satu-satunya jenis pertahanan yang dilakukan dengan sadar. Contohnya, ketika sedang patah hati lalu berusaha tidak melakukan sesuatu, atau mendatangi tempat-tempat, yang dapat mengingatkan kepada orang yang membuat patah hati tersebut.

Sublimasi

Mengalihkan emosi dan perasaan tidak nyaman ke objek atau aktivitas yang aman dan lebih produktif. Sublimasi merupakan jenis pertahanan diri kedua yang dianggap matang oleh Freud. Contohnya, dari pada marah-marah, kita menyalurkan emosi dengan melakukan pekerjaan, olahraga, musik, seni dan kegiatan-kegiatan positif lain yang tidak berhubungan dengan konflik.

Humor

Menghadapi konflik emosional atau stressor dengan mengangkat aspek yang dianggap “lucu” dan menjadikannya hal yang bisa ditertawakan. Contohnya, seseorang yang kakinya baru saja diamputasi lalu mengatakan paling tidak ia bisa berdandan seperti bajak laut. Hmm, quite dark. Contoh lain, pelawak atau komika yang mengangkat kekurangannya dan mengolok-ngolok dirinya untuk bahan komedi.

Freud menganggap humor sebagai defense mechanism tertinggi dari kesemuanya. Karena, tentu butuh kelapangan dan kebesaran hati untuk bisa menertawakan hal buruk yang menimpa kita. Bahkan dikatakan bentuk pertahanan ini mungkin menunjukkan sinyal baik dari proses pemulihan psikologis.

Pertahanan diri memang membuat kita lupa dengan perasaan tidak menyenangkan yang kita alami. Tapi, sayangnya walaupun dianggap normal, efek rasa nyaman yang diberikan sebenarnya bersifat sementara. Jadi, seperti sedang lari dari sumber masalah tanpa benar-benar menyelesaikan emosi tersebut.

Bukankah sumber emosi ini yang akhirnya sangat memengaruhi reaksi dan keputusan yang kita ambil ketika dihadapkan dengan stressor? Syukur-syukur kalau reaksi atau keputusan tersebut tidak merusak hubungan kita dengan orang lain atau melukai orang-orang terdekat—anak, pasangan, orang tua, atau bahkan diri sendiri.

Selain itu, defense mechanism secara tidak langsung dapat menghalangi kita menerima dan mengonfrontasi emosi. Padahal dalam psikologi, emosi-emosi yang kita tidak akui akan masuk ke dalam otak dan bersembunyi di alam bawah sadar. Pada akhirnya termanifestasi dalam bentuk prilaku tidak sehat atau penempukan stress di masa yang akan datang. Ketika semua menumpuk, dapat berujung ke gangguan psikologis. Contoh yang paling umum adalah depresi.

Intinya, walaupun defense mechanism dianggap normal dan alamiah, tetapi banyak orang yang mengalami kesulitan secara emosional karena terlalu dan hanya bergantung kepada mekanisme ini—tanpa benar-benar menghadapi atau mengenali sumber utama penyebab kecemasan atau ancaman.

Untuk itu, kita perlu mengetahui bentuk pertahanan psikologis apa yang biasa kita lakukan. Sebab, jika terus mengalihkan perasaan tanpa mengakuinya hanya akan menumpuk masalah dan bisa meledak seperti bom waktu.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan? 

Pertama, sadar diri (self-awareness). Dengan kesadaran diri, kita bisa mengamati apa yang terjadi dalam diri kita. Ketika kita sadar sedang melakukan mekanisme ini, kita bisa mencoba mengamati polanya. Kita bisa berhenti dan bertanya pada diri sendiri. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya kita rasakan dan membuat kita tidak nyaman? Ketika kita mengakui perasaan yang dialami maka kita sedang menarik keluar perasaan tersebut dari otak agar tidak tertanam atau menumpuk di alam bawah sadar.

Kedua, jika sulit untuk mengidentifikasi jenis defense mechanism apa, kita bisa bertanya kepada orang terdekat. Biasanya orang-orang terdekat lebih mudah melihat bentuk pertahanan psikologis kita.

Ketiga, kedua opsi sebelumnya belum bisa juga membuka mata, kita dapat langsung mencari bantuan profesional, psikolog atau konselor (psikiater jika sudah mengarah ke gejala klinis, sudah kronis, atau butuh medikasi).

Mengenali mekanisme pertahanan diri yang kita gunakan mungkin tidak langsung dapat menyembuhkan luka batin, tetapi setidaknya bisa menjadi titik awal proses self-healing. Analoginya, seperti membuka gerbang untuk masuk ke dalam ruang yang berisi perasaan atau emosi-emosi yang terpendam. Ini dapat membantu kita mengenali emosi-emosi tersebut dan menariknya keluar dari alam bawah sadar.

Dengan kita lebih peduli terhadap prilaku kita, pikiran kita, dan perasaan kita, percayalah kita akan menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab tanpa perlu melukai diri sendiri dan orang lain. 



Related


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

+6231-828-42-56 (Hunting)

+6231-828-38-84 (Fax)

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.