DJP: Semua Penydikan Pidana Pajak Dilengkapi Pasal Pencucian Uang
Friday, 16 April 2021
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak akan menggunakan pasal tindak pidana pajak untuk semua kasus pidana pajak, mengingat tingginya modus pencucian uang yang bermula dari pidana pajak.
Dengan demikian, dalam menangani kasus pidana pajak ada dua payung hukum yang akan digunakan, yaitu Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mengutip Bisnis Indonesia edisi Jumat (16/4), penggunaan pasal berlapis ini menimbulkan implikasi dalam penanganannya. Diantaranya, dalam melakukan penyidikan DJP harus menyesuaikan dengan bukti permulaan.
Implikasi lainnya adalah, ketika melakukan penyidikan, DJP juga harus mengharmonisasi pengelolaan barang sitaan dan membutuhkan dukungan dari forensik digital dalam menyusun pembuktian dan penelusuran aset.
Dengan penerapan pasal pencucian uang, maka penyidik bisa langsung menyita aset milik pelaku tindak pidana pajak. Namun apabila harta tidak terbukti hasil pencucian uang, maka hakim bisa memerintahkan untuk dikembalikan.
Sebetulnya, sudah beberapa kali DJP menggunakan pasal pencucian uang dalam menangani kasus pida pajak.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dalam laporannya yang berujudul “Tipologi Pencucian Uang”, ada beberapa pelanggaran pidana pajak yang sering berujung pada kasus pencucian uang. Berikut beberapa diantaranya:
- Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
- Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
- Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
- Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga merugikan keuangan negara.
- Perbuatan lainnya yang terkait dengan perpajakan.
Dalam laporan tersebut, PPATK juga menyebut bahwa pencucian uang hasil tindak pidana perpajakan dapat melibatkan satu atau lebih yurisdiksi. Bahkan, pelakunya bisa perorangan atau pemilik usaha atau pun petugas pajak.
Misalnya, pemalsuan faktur pajak atau bukti transaksi, sengaja melaporkan dan membayar pajak dengan jumlah yang tidak sebenarnya, serta pembuatan data wajib pajak palsu untuk memperoleh restitusi pajak. (ASP)