Opinion

Perluasan Basis Pajak Perlu Strategi Luar Biasa

Wahyu Nuryanto, Monday, 08 March 2021

Perluasan Basis Pajak Perlu Strategi Luar Biasa

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, target penerimaan pajak mencapai Rp 1.229,6 triliun, naik Rp 159,6 triliun dibandingkan dengan realisasi tahun lalu. Pada saat yang sama, pemerintah diharapkan melanjutkan pelbagai program insentif kepada Wajib Pajak (WP) untuk mengakselerasi upaya pemulihan ekonomi.

Mencapai target penerimaan itu tentu tidak mudah. Berlarut-larutnya wabah Covid-19 menyebabkan pertumbuhan ekonomi hingga saat ini masih dalam kondisi belum menggembirakan. Sementara pertumbuhan alami penerimaan pajak biasanya dikaitkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Asumsi pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen juga terbilang sangat optimistis di tengah kondisi ketidakpastian saat ini.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu strategi kerja yang tidak biasa-biasa saja. Dengan kata lain, tahun ini tidak ada ruang bagi otoritas untuk melakukan business as usual. Setiap tahun, otoritas pajak selalu akrab dengan strategi ekstensifikasi dan intensifikasi. Jika tahun ini kedua hal itu masih dilakukan seperti sedia kala, dalam kondisi seperti ini tentu target penerimaan sangat sulit dicapai, meski bukan mustahil. Artinya, perlu strategi luar biasa bagaimana memperluas basis pemajakan termasuk meningkatkan jumlah WP terdaftar, dan bagaimana melakukan pengawasan terhadap WP yang sudah terdaftar.

Selektif dan Tepat Sasaran

Harus diakui bahwa pajak memainkan peran penting dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi dari krisis dan pandemi. Ibarat dua sisi mata uang, penarikan pajak harus digenjot untuk memastikan ketersediaan anggaran penanggulangan Covid-19 namun di sisi lain harus merelakan sebagian setoran tidak ditarik demi menstimulus perekonomian. Percepatan restitusi PPN, insentif PPh 22 impor, pajak ditanggung pemerintah, serta tax holiday dan tax allowance adalah sederet fasilitas fiskal yang akan kembali dilanjutkan pada tahun ini. Hal ini tentu akan mengurangi potensi penerimaan pajak, yang sejatinya tanpa ada pandemi pun sudah tertekan oleh perlambatan ekonomi.

Teorinya, ada dua pilihan kebijakan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, yaitu memperluas basis pemajakan atau meningkatkan tarif pajak. Opsi kedua sudah jelas bukan pilihan pemerintah menyusul dipangkasnya tarif PPh Badan dan digelontorkannya berbagai keringanan pajak sejak tahun lalu. Konsekuensi dari penurunan tarif pajak adalah perluasan basis pemajakan (tax base) mutlak harus dilakukan. Selain itu, yang harus diperhatikan adalah memastikan insentif perpajakan diberikan secara selektif dan tepat sasaran. Sejak dahulu itu bukan perkara mudah.

Koordinasi dan Kolaborasi

DJP dalam beberapa kesempatan menyatakan salah satu strategi DJP untuk mengoptimalkan penerimaan pajak tahun ini adalah perluasan basis pajak. Salah satu upaya yang sudah dirintis DJP sejak tahun lalu adalah pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Meskipun belum sepenuhnya efektif diterapkan, namun langkah ini patut diapresiasi.

Hanya saja, perluasan basis pajak tidak cukup hanya dengan mengandalkan kebijakan pajak digital. Tanpa pandemi pun DJP seharusnya aktif menyasar subjek pajak yang selama ini sulit terjamah sistem perpajakan (underground economy). Misalnya, dengan membatasi transaksi tunai yang sampai saat ini regulasinya belum ada. Tentu saja ini bukan domain DJP. Karenanya, perlu dukungan dari otoritas lain yang punya kewenangan mengatur transaksi keuangan untuk membantu DJP dalam memperkuat fiskal.

Sebagai negara yang menganut sistem perpajakan self-assessement, otoritas pajak harus memiliki alat pengawasan yang andal untuk bisa mendeteksi ketidakpatuhan WP. Dibutuhkan strategi baru yang lebih efektif, antara lain dengan memperkuat sistem pengawasan sektor informal dengan menggandeng pemerintah daerah. Selain itu, peningkatan kapasitas IT dan penguatan basis data tidak kalah penting dan itu sebenarnya sudah masuk dalam rencana strategis DJP 2019–2024.

Transformasi sistem pelayanan pajak perlu didorong agar dapat mengedukasi, memudahkan, sekaligus adaptif dengan gaya hidup WP yang semakin serbadigital. Intinya, pengembangan teknologi informasi perpajakan merupakan keharusan dalam mengoptimalkan pelayanan, memperkuat pengawasan, sekaligus meningkatkan kepatuhan sukarela WP secara sistematis.

Dalam hal ini DJP tidak bisa bekerja sendiri. Perlu kolaborasi dan bersinergi dengan pihak lain. Antara lain dengan mengefektifkan pemanfaatan data dan informasi  dari pihak ketiga, seperti  bank atau lembaga keuangan. Perlu koordinasi dan kolaborasi lintas kelembagaan agar implementasi Automatic Exchange of Information (AEoI) atau Undang-Undang tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan bisa efektif meningkatkan basis pajak.

Satu hal yang pasti, ekstensifikasi dan perluasan tax base ini harus menjadi kampanye lebih luas dan sudah sepatutnya mendapatkan dukungan politis.

*Artikel ini telah terbit di Majalah Pajak, 4 Maret 2021

Majalah Pajak

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.