Sengketa Pajak Digital Indonesia-AS Buntu, WTO Turun Tangan
Wednesday, 27 January 2021
JAKARTA. Sengketa pajak digital antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) akan berlanjut melalui forum World Trade Organization (WTO). Pasalnya negosiasi yang dilakukan kedua negara menemui titik buntu.
Mengutip harian Bisnis Indonesia, edisi rabu (27/1), ada dua pokok sengketa yang membuat WTO akhirnya turun tangan.
Pertama, AS melalui United States Trade Representative (USTR) keberatan dengan penerapan klasifikasi barang dan pembebasan tarif bea masuk atas peranti lunak. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.010/2018.
Menurut pemerintah, AS merupakan satu-satunya negara yang keberatan dengan kebijakan ini. Padahal beleid yang mengatur tentang tarif bea masuk barang virtual 0%, dan keharusan perusahaan untuk melaporkan barang digital yang diimpor itu berlaku untuk semua negara.
Tercatat, beberapa negara yang mengimpor barang digital ke Indonesia selain AS, yaitu China, Swedia, Inggris, Singapura dan Irlandia, dengan nilai devisa mencapai US$ 12,5 juta.
Sementara nilai Pajak Penghasilan (PPh) yang berhasil dikumpulkan lebih dari Rp 3,7 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 18,8 miliar.
Baca Juga: Indonesia Pangkas Tarif PPh Badan dan Resmi Terapkan Pajak Digital
Kedua, USTR keberatan dengan substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, perihal pemajakan atas ekonomi digital.
Aturan itu menjadi dasar bagi pemerintah untuk bisa memungut PPN atas perdagangan yang menggunakan sistem elektronik (PMSE) dan PPh atau Pajak atas Transaksi Elektronik (PTE).
Sebetulnya, hingga saat ini Indonesia belum mengeluarkan aturan yang lebih rinci mengenai skema dan tarif PTE.
Namun AS menganggap kebijakan itu diskriminatif karena hanya menyasar subjek pajak nonresiden. Kesimpulan tersebut dikeluarkan setelah USTR melakukan investigasi atas kebijakan pajak digital Indonesia.
Untuk menanggapi berbagai tudingan tersebut dalam forum WTO, pemerintah sudah menyiapkan tim khusus yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, perwakilan Kementerian Keuangan dan lembaga terkait. (asp)