PPh 21 Ditanggung Pemerintah, Kemudahan dan Kendalanya Bagi Pemberi Kerja
Ardi Nurdianto, Tax Advisory MUC Consulting
|
Monday, 18 January 2021
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Untuk meredamnya, pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal yang salah satunya dengan menanggung pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Di satu sisi kebijakan ini meringankan beban pajak pekerja dan memudahkan pengusaha, tetapi di sisi lain selalu ada kendala untuk bisa memanfaatkannya.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat kurang dari lima bulan pertama 2020 sudah sekitar tiga juta penduduk yang kehilangan mata pencaharian. Angka tersebut bukan hanya berasal dari sektor formal, melainkan juga dari sektor informal. Hal itu diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan jumlah buruh atau karyawan tetap di sektor formal berkurang 5,62 juta orang sepanjang 2020.
Hilangnya mata pencaharian atau pendapatan berakibat pada lonjakan angak kemiskinan. BPS mencatat jumlah penduduk miskin per 30 Maret 2020 sebanyak 26,4 juta jiwa, bertambah hamper 2 juta jiwa jika dibandingkan dengan ahsil survey September 2019 yang sebanyak 24,8 juta penduduk miskin. Tingkat kemiskinan tertinggi terjadi di desa sebesar 12,82%, sedangkan tingkat kemiskinan di perkotaan 7,38%.
Fenomena ini merupakan “alarm” krisis ekonomi yang harus ditanggapi serius oleh seluruh pemangku kepentingan, terutama pemerintah. Kebijakan stimulus—yang akan menghabiskan anggaran belanja negara super besar—mau tidak mau harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dampak negatif pagebluk Covid-19. Pilihan sulit di tengah keringnya sumber penerimaan Negara dari pajak.
Salah satu bentuk kebijakan stimulus yang difokuskan untuk meredam gelombang PHK adalah insentif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah (selanjutnya disebut PPh 21 DTP). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya take home pay pekerja informal. Sederhananya seperti ini: PPh 21 yang seharusnya disetorkan perusahaan ke kas negara, dialihkan menjadi dibayarkan secara tunai ke pegawai.
Syarat & Ketentuan
Kebijakan ini semula diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/PMK.03/2020. Namun, seiring dengan semakin banyaknya sektor usaha yang terdampak Covid-19, pemerintah memperluas cakupan jenis usaha yang berhak menerima fasilitas PPh 21 DTP dengan menerbitkan PMK Nomor 44/PMK.03/2020. Substansi revisi beleid tersebut adalah menambah jenis klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang berhak mendapat insentif PPh 21 DTP, dari awalnya 440 KLU menjadi 1062 KLU.
Bicara soal kebijakan pemerintah, selalu ada syarat dan ketentuan yang menyertainya. Dalam konteks pemanfaatan PPh 21 DTP, pemberi kerja harus terlebih dahulu melakukan pemberitahuan ke (Kantor Pelayanan Pajak) tempatnya terdaftar melalui saluran elektronik di laman www.pajak.go.id.
Dalam proses pengajuan insentif PPh 21 DTP, setelah masuk ke sistem, pemberi kerja akan dihadapkan pada sejumlah persyaratan berikut:
- Bidang usaha yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh 2018 termasuk dalam daftar 1062 klasifikasi lapangan usaha yang telah ditentukan;
- Telah ditetapkan sebagai perusahaan penerima fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE); atau
- Telah mendapatkan izin penyelenggara Kawasan Berikat, atau izin pengusaha dalam Kawasan Berikat (PDKB).
Ketentuan lainnya adalah pemberi kerja wajib menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh 21 DTP setiap bulan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Tidak semua pegawai dari pemberi kerja yang berhak atas insentif PPh 21 DTP. Catat, hanya pegawai yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan penghasilan tetap bruto tidak lebih dari Rp200 juta setahun. Di luar itu, maaf Anda kurang beruntung.
Kemudahan
Dari sisi administrasi, banyak kemudahan yang diberikan pemerintah terkait dengan persyaratan pemanfaatan insentif PPh 21 DTP. Salah satu yang terkait dengan permasalahan kode KLU.
Pada praktik di lapangan, banyak ditemukan KLU pemberi kerja tidak sesuai antara kondisi yang sebenarnya dengan data masterfile di sistem DJP Online ataupun yang tercantum di SPT Tahunan PPh pemberi kerja. Padahal, yang menjadi rujukan untuk memanfaatkan insentif PPh 21 DTP adalah KLU yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yang minimal telah dilaporkan di SPT Tahunan 2018.
Terkait permasalahan tersebut, pemerintah tetap mengusahakan untuk memberikan insentif bagi pemberi kerja yang bermasalah dengan perbedaan KLU. Misalnya, KLU pemberi kerja dalam SPT belum update sehingga dianggap bukan KLU yang berhak memanfaatkan insentif PPh 21 DTP. Solusinya, pemberi kerja dapat melakukan pembetulan SPT PPh 2018, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Apabila SPT PPh 2018 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan maka pemberi kerja dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan perubahan data.
Selain itu, sekalipun KLU yang tercantum dalam SPT Tahunan 2018 berbeda dengan yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau masterfile wajib pajak di sistem DJP Online, pemberi kerja tetap berhak mendapatkan fasilitas PPh 21 DTP. Nantinya, atas perbedaan data tersebut akan ditindaklanjuti dengan perubahan data secara jabatan atas kode KLU dalam masterfile wajib pajak.
Bentuk kemudahan lain yang diberikan adalah terkait dengan batasan penghasilan yang berhak memperoleh PPh 21 DTP. Sesuai ketentuan, batas penghasilan pegawai yang berhak mendapatkan PPh 21 DTP sebesar Rp200 juta atau sekitar Rp16 juta per bulan. Batasan angka tersebut tergolong tinggi karena masuk kategori penghasilan golongan masyarakat ekonomi menengah.
Kendala
Hanya saja, seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, selalu ada kendala bagi pekerja atau pemberi kerja untuk bisa memanfaatkan insentif PPh 21 DTP. Misalnya, terkait dengan pemahaman beberapa hal mengenai persyaratan pemanfaatan insentif PPh 21 DTP yang berpotensi menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Hal ini terjadi karena belum ada penjelasan mendetail mengenai persyaratan pemanfaatan insentif PPh 21 DTP dalam PMK Nomor 44/PMK.03/2020 maupun petunjuk pelaksanaannya, yaitu SE-29/PJ/2020.
Kedua beleid di atas hanya menjelaskan: “Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada Pemberi Kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan Pemberi Kerja.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pegawai seperti apa yang berhak memperoleh insentif PPh 21 DTP. Seperti yang kita ketahui, penghitungan PPh Pasal 21 berbeda-beda sesuai dengan status pegawai. Apakah itu pegawai tetap, pegawai tidak tetap, atau tenaga kerja lepas.
Apabila hanya pegawai tetap yang berhak, justru hal ini akan mencederai regulasi tersebut. Itu tidak sesuai dengan tujuan pemerintah memberikan PPh 21 DTP, yakni untuk meningkatkan take home pay pekerja dan menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Permasalahan berikutnya bagi pemberi kerja dalam menentukan kriteria pegawai yang berhak atas PPh 21 DTP adalah terkait dengan penentuan komponen gaji yang menjadi bagian dalam penghitungan penghasilan bruto. Tidak ada penjelasan rinci mengenai penghasilan seperti apa yang termasuk dalam penghitungan penghasilan bruto. PMK Nomor 44/PMK.03/2020 maupun SE-29/PJ/2020 hanya menyebutkan “…memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan”.
Masalahnya, komponen penghasilan bulanan yang tetap dan teratur itu cukup beragam. Misalnya saja uang lembur, yang dalam beberapa kasus merupakan penghasilan yang mungkin diperoleh setiap bulan oleh karyawan dengan besaran yang berubah-ubah. Apakah selanjutnya uang lembur ini menjadi komponen dalam penghitungan penghasilan bruto atau tidak?
Pada dasarnya insentif PPh 21 DTP sangat membantu ekonomi pekerja di tengah kondisi pandemi dan resesi seperti saat ini. Namun, alangkah baiknya jika kriteria yang diberikan, khususnya terkait kriteria pegawai dan kriteria penghasilan dapat dijelaskan secara rinci. Hal ini penting agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara pemberi kerja dan petugas pajak, yang akan berisiko menimbulkan sengketa di kemudian hari, yang bisa merugikan kedua belah pihak. Karena sejatinya kebijakan stimulus atau insnetif itu untuk mengurangi masalah, bukan menambah masalah.
**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kumparan.com, 15 Januari 2020
Kumparan.comDisclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.