Pandemi, Resesi dan Nasib Pajak Tahun Ini
Rama Ames Remonda,
Wednesday, 12 August 2020
Indonesia berada di ambang resesi ekonomi. Adalah Presiden Joko Widodo yang mempertegas kondisi ini dalam rapat bersama para gubernur di Istana Kepresidenan Bogor, 15 Juli 2020.
Dalam istilah ekonomi, resesi adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi. Suatu negara dapat dikatakan mengalami resesi bila pertumbuhan ekonomi kontraksi atau minus dalam dua kuartal atau lebih secara tahunan (year on year). Sementara itu, jika Produk Domestik Bruto (PDB) negatif dalam dua kuartal beruntun atau lebih secara triwulanan (quarter to quarter) disebut sebagai resesi teknikal. Mana yang lebih pas untuk menilai kondisi riil ekonomi saat ini? Keduanya sama-sama relevan.
Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia di kuartal I-2020 tumbuh 2,97% secara tahunan, tetapi jika dibandingkan dengan kuartal IV-2019 minus 2,41%. Kondisinya semakin parah pada kuartal II-2020, di mana PDB anjlok hingga minus 5,32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Secara triwulanan, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 negatif 4,19% jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sudah minus 2,41%.
Kondisi tersebut diperkuat oleh data penurunan hampir seluruh komponen ekonomi. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor utama ekonomi nasional, pertumbuhannya anjlok 6,51% atau lebih parah dibandingkan dengan kondisi ketika krisis ekonomi 1998 (minus 6,17%). Setali tiga uang dengan investasi, ekspor, dan impor yang juga sulit diandalkan karena memang trennya melambat sejak beberapa periode terakhir. Dari sisi pengeluaran, praktis hanya belanja pemerintah yang masih bisa dipaksakan tumbuh guna menstimulus perekonomian.
Dari sisi produksi, hampir semua lapangan usaha terpukul seiring dengan menurunnya permintaan barang dan jasa selama pandemi. Kecuali sektor pertanian, informasi dan komunikasi, serta sektor pengadaan air--yang masih tumbuh di tengah krisis ekonomi.
Bencana Global
Sebenarnya, banyak negara yang kondisi perekonomiannya jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan Indonesia. Amerika Serikat salah satunya yang terparah. Negeri Paman Sam sudah lebih dulu memastikan resesi ekonomi, setelah mengalami kontraksi ekonomi secara beruntun -5% pada tiga bulan pertama 2020 dan -32,9% pada triwulan berikutnya.
Sejumlah negara maju di Eropa juga tidak kalah sialnya. Jerman, misalnya, negara dengan ekonomi terbesar di Benua Biru itu juga mengalami resesi lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2020 minus 10,1%, melanjutkan tren negatif triwulan sebelumnya yang minus 2%.
Bergeser ke Perancis. Setelah mencatatkan laju PDB -5,9% pada periode Januari-Maret 2020, Negeri Napoleon Bonaparte itu gagal recovery dan justru terjatuh ke dalam jurang resesi. Pada kuartal II-2020, PDB Prancis minus 13,8%.
Pun Italia bernasib sama. Setelah minus 5,5% pada triwulan pertama, Italia menutup paruh pertama 2020 dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif 17,3% pada kuartal II-2020.
Kondisi serupa juga terjadi di kawasan Asia. Jepang, yang tengah berupaya keras memulihkan ekonominya dari krisis, justru kondisinya bertambah tragis pada tahun ini. Setelah mengalami kontraksi 7,3% pada kuartal IV-2019, laju PDB Negeri Sakura kembali negatif 3,4% pada triwulan pertama 2020. Kalangan ekonom melihat tren negatif masih akan membayangi perekonomian Jepang, dengan memprediksi laju PDB kuartal II-2020 minus 26.3%. BPS Jepang kemungkinan baru akan merilis laporan resmi pertumbuhan ekonomi triwulan II pada 17 Agustus 2020.
Demikian pula dengan Korea Selatan, yang lebih dahulu mengalami resesi ekonomi setelah mencatatkan pertumbuhan negatif 1,3% pada triwulan I dan minus 3,3% pada triwulan II-2020.
Hong Kong, alih-alih keluar dari krisis politik dan ekonomi, yang terjadi justru sebaliknya. Pemburukan ekonomi sejatinya sudah dialami oleh Hong Kong sejak paruh kedua tahun lalu menyusul aksi protes aktivis pro demokrasi terhadap Undang-Undang Kemanan Nasional yang diinisiasi Pemerintah China. Pada kuartal III-2019, ekonomi Hong Kong minus 2,8% dan minus 3% pada Oktober-Desember 2019. Kejatuhan ekonomi hong Kong kemudian semakin dalam pada paruh pertama 2020, setelah mengalami kontraksi 9,1 persen, di kuratal I dan minus 9% pada kuartal II.
Resesi ekonomi kemudian merembet ke Singapura dan menjadi yang pertama di Asia Tenggara. Pada kuartal I-2020, pertumbuhan ekonomi Negeri Merlion minus 0,7%. Kontraksi semakin parah di kuartal II, yakni minus 12,6%.
Filipina kemudian menyusul. Resesi ekonomi terkonfirmasi dari laporan resmi otoritas terkait Filipina terkait penurunan laju PDB sebesar -0,7% pada tiga bulan pertama 2020 dan -16,5% pada triwulan berikutnya.
Resesi ekonomi saat ini merupakan fenomena global. Kemungkinan besar akan semakin banyak negara yang mengalami resesi. Tidak terkecuali dengan Indonesia.
Dana Moneter Internasional (IMF), dalam outlook terbarunya bahkan memperkirakan perekonomian global akan mengalami kontraksi sekitar 4,9% pada 2020. IMF meramalkan krisis ekonomi dunia baru akan pulih secara lambat mulai tahun depan dengan estimasi pertumbuhan 5,4% pada 2021.
Bank Dunia dan OECD bahkan lebih pesimistis dibandingkan IMF. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprediksi laju ekonomi global minus 6% pada tahun ini. Sementara Bank Dunia melihat ada potensi pelemahan ekonomi dunia sebesar -5,2% pada 2020.
Musuh Bersama
Adalah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai biang keladi dari kejatuhan ekonomi global saat ini. Virus yang bermutasi cepat sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, China ini telah menginfeksi lebih dari 20 juta penduduk dunia dan menewaskan lebih dari 734 ribu di antaranya (sampai tulisan ini dibuat). Wabah ini menghentikan hampir seluruh aktivitas sosial dan ekonomi secara paksa di berbagai belahan dunia sepanjang tahun ini.
Bencana non-alam ini membuat otoritas di berbagai belahan dunia kaget dan tergagap dalam meresponsnya. Di bidang ekonomi, hampir seluruh negara serempak menggelontorkan anggaran belanja besar-besaran untuk penanganan kesehatan dan stimulus ekonomi. Kemasan dan bentuk kebijakannya beragam di masing-masing negara, tetapi yang pasti semuanya di luar batas kewajaran atau extra ordinary.
Pemerintah Indonesia sendiri sampai detik ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp695,2 triliun untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan penanganan dampak pandemi Covid-19. Rinciannya: untuk bidang kesehatan Rp87,55 triliun; program perlindungan sosial Rp203,9 triliun; insentif dunia usaha Rp120,6 triliun; dukungan terhadap UMKM Rp123,46 triliun; pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun; serta program sektoral melalui kementerian/lembaga dan pemerintah daerah) Rp106,11 triliun.
Semua itu merupakan kebijakan besar yang sangat berisiko mengganggu kesehatan fiskal yang mau/tak mau harus diambil oleh pemerintah. Risiko paling nyata yang sudah terprediksi saat ini adalah potensi pembengkakan defisit APBN hingga 6,72% dari PDB atau mencapai Rp 1.028,6 triliun. Bicara defisit APBN berarti bicara soal selisih kurang setoran pajak ke kas negara yang harus ditutup pembiayaannya melalui utang. Sebuah pilihan kebijakan yang sangat tidak populis, tetapi penting dan memang harus dilakukan.
Pertaruhannya adalah di paruh kedua tahun ini. Salah satu indikator berhasil atau gagalnya Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) akan terkonfirmasi dari pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV-2020. Ancaman resesi--yang dikhawatirkan dan menjadi alasan Presiden Joko Widodo marah besar ke bawahannya--akan menjadi pembuktian kinerja pemerintah di bidang ekonomi.
Bagaimana di bidang kesehatan? Presiden tentu tidak akan marah besar kalau otoritas yang terkait sigap menangani penyebaran wabah Covid-19. Jadi silakan menilai sendiri.
Lupakan Target
Bagi otoritas pajak, mungkin mereka tidak pernah berharap melewati tahun 2020, kalau saja tahu tantangannya akan seberat ini. Jangan dulu mempertanyakan pencapaian target penerimaan pajak, sudah bisa ikut mengurangi pelebaran defisit APBN saja sudah syukur bagi mereka. Sama halnya dengan target pertumbuhan ekonomi yang jauh panggang dari api.
Bahkan, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo sempat curhat bahwa fokus instansinya terbelah antara mengejar setoran pajak dan mengobral insentif pajak. Sebuah pilihan sulit karena keduanya sama-sama menentukan nasib ekonomi Indonesia ke depan.
Logikanya, bagaimana mungkin petugas pajak tega menagih wajib pajak, yang kemungkinan besar penghasilannya berkurang atau bahkan tidak sedikit yang kehilangan penghasilan dan pekerjaan akibat lumpuhnya ekonomi. Kalaupun masih ada yang untung dan bisa ditagih, tantangan berikutnya adalah bagaimana fiskus memastikan kepatuhan wajib pajak di tengah tuntutan social distancing yang seolah mengharamkan interaksi fisik.
Karenanya, digitalisasi layanan perpajakan sudah tidak bisa lagi hanya menjadi wacana. Sudah seharusnya seluruh sistem perpajakan ditunjang infrastruktur IT yang mumpuni agar dapat terkoneksi dengan jaringan digital yang kini menjadi akses utama interaksi manusia.
Maksud penulis, bukan hanya masif memajaki transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Melainkan juga mengoptimalkan penggunaan IT untuk memberikan pelayanan yang optimal dan memudahkan wajib pajak. Jadi, bicara kepatuhan pajak bukan hanya tanggung jawab wajib pajak, tetapi juga “Pekerjaan Rumah” aparatur negara yang dalam hal ini termasuk fiskus di dalamnya.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.