Bijak 6: Upaya Pemerintah Optimalkan Penerimaan dari Sektor Digital Beserta Tantangannya
Tuesday, 28 July 2020
Di tengah masa pandemi Covid-19, tantangan pajak masih cukup berat. Di satu sisi, pajak harus memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus mengalami tekanan. Sementara di sisi lain, pajak juga harus mampu menjaga penerimaan terkait fungsinya sebagai instrumen utama pembiayaan negara. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah pundi-pundi penerimaan di tengah kondisi bisnis yang tengah lesu bahkan terhenti ini, adalah dengan menyasar sektor yang mengalami pertumbuhan pesat dalam kondisi sekarang. Yakni sektor digital. Hal ini mengemuka dalam acara diskusi pajak #MUCBijak yang mengangkat tema "Booming Digital dan Tantangan Pajak di Era New Normal.
Edisi #MUCBijak keenam ini menghadirkan tiga pembicara utama. Diantaranya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto, serta Praktisi Pajak dan Kandidat Doktor University of Technology Sydney - Business School Subagio Effendi. Selain itu, acara diskusi juga dihadiri Meidijati, Kepala Seksi (Kasi) Peraturan PPN Perdagangan I, Direktorat Peraturan Perpajakan I. Acara diskusi yang berlangsung pada Kamis, 23 Juli ini dipandu dua Konsultan Pajak MUC Consulting, Deo Damiani dan MNK Ferby.
Dalam kesempatan tersebut, Yon Arsal mengungkapkan ada tiga fokus kebijakan pajak di masa pandemi. Yang pertama, menopang sisi permintaan dengan menjaga daya beli masyarakat, salah satunya melalui fasilitas PPh pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah (DTP). Kemudian, menjaga sisi produksi dengan meringankan beban likuiditas usaha yang terdampak melalui fasilitas pajak di bidang impor. Yang terakhir, mendorong partisipasi masyarakat dalam melawan pandemi, diantaranya dengan pemberian tambahan potongan pajak bagi produsen perlengkapan medis dan insentif pajak bagi pekerja medis.
Yon melanjutkan, tantangan pajak di masa pandemi sangat tinggi. Di samping perlambatan ekonomi, pemberian sejumlah insentif berakibat pada tergerusnya baseline pajak. Sehingga tax ratio pun makin anjlok. "Di satu sisi kita ingin pertahankan tingkat penerimaan yang optimal, tapi di sisi lain kebutuhan pembiayaan harus tetap terjaga,"ungkapnya.
Karena itu, Yon menuturkan, salah satu upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari pajak adalah dengan mencari basis-basis penerimaan baru. Diantaranya, pemajakan terhadap Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau e-commerce. Di tengah kondisi seperti ini, potensi ekonomi digital justru sangat besar. Model bisnis ekonomi digital juga berkembangan dengan cepat. "Karena itu regulasi juga harus menyesuaikan dengan cepat,"imbuhnya.
Untuk itu, pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 yang merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1/2020. PMK tersebut akan menjadi dasar pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas produk digital yang berasal dari luar negeri oleh pelaku usaha PMSE, yaitu pedagang/penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, atau penyelenggara PMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Pajak.
Namun sejauh ini, PMK tersebut baru fokus terhadap pemungutan PPN bagi para pelaku usaha PSME. Menurut Kepala Seksi PPN Perdagangan 1 DJP Meidijati, untuk jenis-jenis pungutan pajak digital selain PPN, masih menunggu konsensus global. "Untuk PPh contohnya, kita tunggu keputusan final global consensus yang mudah-mudahan bisa dicapai akhir tahun ini,"tambahnya.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menambahkan bahwa pemerintah juga perlu berupaya mencari sumber penerimaan baru yang tidak hanya relevan dengan kondisi sekarang. Dia menguraikan, dalam kondisi normal pun masih banyak hal-hal yang bisa dipajaki (taxable) namun belum dikenai pajak. Sementara terkait digital ekonomi, pihaknya meyakini masih ada beberapa sektor yang belum terjangkau pajak digital. "Jadi sektor-sektor atau golongan Wajib Pajak ini belum tercakup dalam program ekstensifikasi,"ujarnya.
Selain itu, Wahyu juga menyoroti tingkat konsumsi masyarakat yang masih menurun sebagai dampak dari pandemi, sekalipun beberapa area publik sudah kembali dibuka. Karena konsumsi memegang peranan sangat penting bagi laju ekonomi domestik, maupun kinerja penerimaan pajak. "PPN pajak atas konsumsi sumbangannya besar, bahkan paling besar yang masuk dalam penerimaan pajak. Untuk itu pemerintah harus memikirkan insentif yang tepat untuk mendongkrak konsumsi ini,"tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Praktisi Pajak dan Kandidat Doktor University of Technology Sydney - Business School Subagio Effendi juga mengungkapkan bahwa sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah terkait perpajakan sudah sangat komprehensif. Pemberian insentif ini merupakan upaya untuk memperluas basis pajak. Namun, upaya tersebut harus dibarengi dengan menjaga basis pajak yang sudah terjaring. "Perkuat basis pajak, perkecil size informal ekonomi. Orang yang punya usaha UMKM harus diformalkan usahanya. Sehingga selesai pandemi, usahanya sudah profit, bisa dikenakan pajak,"jelasnya.
Sebagai informasi, program Bijak6 ini dilakukan melalui aplikasi komunikasi ZOOM, dan disiarkan secara langsung melalui berbagai platform media sosial MUC Consulting. Youtube, Instagram dan melalui twitter dalam bentuk live tweet. Untuk menyimak kembali jalannya diskusi, Anda bisa mengaksesnya di channel youtube MUC Consulting melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=dw_IJhf-LWo. Kegiatan ini juga bekerjasama dengan Butterfly Effect, yaitu sebuah gerakan sosial yang digagas karyawan MUC Consulting. (Ken)