Mencari Formula Terbaik CFC Rules
Wahyu Nuryanto
|
Saturday, 30 September 2017
Kematian dan pajak adalah dua kata yang kerap dikutip untuk menggambarkan kondisi pasti yang sulit dihindarkan oleh siapa pun di dunia ini. Sebelum Benjamin Franklin mempopulerkan hal itu (1978), seorang aktor asal Inggris Christopher Bullock lebih dahulu menuliskannya lewat sajak The Cobler of Preston (1716). “Tis impossible to be sure of any thing but Death and Taxes”.
Kalau soal kematian, sudah pasti siapa pun tidak bisa menghindar. Tapi bicara pajak, ungkapan Franklin maupun Bullock tidak sepenuhnya benar. Faktanya, masih banyak celah hukum yang memberikan ruang berkelindan yang nyaman bagi para penghindar pajak. Modus dan praktik penghindaran pajak sebenarnya sudah mulai terendus, tetapi untuk menindaknya masih sebatas polemik dan diskursus di kalangan fiskus.
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang rendah kerap dipersalahkan oleh otoritas pajak terkait dengan tax avoidance. Padahal, sebagai ilustrasi, tikus tak akan bisa keluar atau masuk ke rumah jika tidak ada lubang-lubang yang memberinya akses untuk mencuri dan sembunyi. Pun demikian dengan Wajib Pajak, tak akan dengan bebas menyembunyikan penghasilannya dari buruan petugas pajak jika tidak ada celah hukum yang memberikannya kesempatan.
Praktik tax avoidance tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga marak di berbagai belahan dunia. Para penghindar pajak biasanya memanfaatkan perbedaan tarif dan celah Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) antar-negara. Fenomena ini yang menjadikan Base Erotion and Profit Shifting (BEPS) sebagai isu global yang patut diperangi bersama karena menggerus potensi penerimaan negara.
Banyak cara yang dilakukan Wajib Pajak nakal untuk menghindari pajak (tax avoidance) atau mengelak dari kewajiban pajak (tax evasion). Mulai dari penggelembungan transaksi hingga menyembunyikan aset di negara suaka pajak (tax haven). Modusnya bisa dengan melakukan transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan Controlled Foreign Company (CFC).
Kaitannya dengan CFC, jurus yang biasa digunakan Wajib Pajak untuk menghindari pajak domestik biasanya dengan mendirikan perusahaan atau memindahkan pusat perusahaan ke negara lain yang memberikan tarif pajak lebih rendah atau bahkan bebas pajak, serta memberi perlindungan kerahasiaan (tax haven country). Kemudian, Wajib Pajak secara sengaja menangguhkan pendapatan pasif dari perusahaan luar negeri tersebut guna menghindar dari kewajiban pajak.
Negara tentu tak tinggal diam dengan aksi tersebut. Otoritas pajak harus lebih pintar daripada penghindar pajak. Untuk menangkalnya, Amerika Serikat (AS) memelopori ketentuan anti penghindaran pajak berupa Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules pada 1962. Tujuannya adalah untuk mengeliminasi penangguhan passive income dari perusahaan luar negeri yang dikontrol oleh Wajib Pajak Dalam Negeri selaku pemegang saham. Konsep CFC Rules ini kemudian diadopsi oleh banyak negara, termasuk Indonesia sejak 1995.
Seiring berjalannya waktu, regulasi CFC yang ada tak cukup kuat menutup celah tax avoidance. Sesuai rekomendasi OECD dalam Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 3, Pemerintah Indonesia pada 27 Juli 2017 kembali memperkuat CFC Rules dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.107/PMK.03/2017 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri (BULN) selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek, yang sekaligus menggantikan PMK No 256/PMK.03/2008.
Poin Krusial
Setidaknya ada enam poin baru yang ditekankan pemerintah melalui No 107/PMK.03/2017. Pertama, basis perhitungan pajak atas dividen BULN Non-listed terkendali (Controlled Foreign Company) diperluas. Apabila sebelumnya kriteria CFC hanya tertuju pada BULN Non-listed Terkendali Langsung (BULNTL), maka dalam ketentuan yang baru menyasar pula BULN Non-listed Terkendali Tidak Langsung (BULNTTL).
Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) akan dianggap sebagai pengendali langsung jika memiliki paling sedikit 50% saham BULN Non-listed, baik sendiri ataupun bersama-sama dengan WPDN lain.
Sementara itu, WPDN dianggap sebagai pengendali tidak langsung jika pada tingkat penyertaan modal selanjutnya, BULN Non-listed yang 50% atau lebih sahamnya dikuasai WPDN, memiliki 50% atau lebih saham di BULN Non-listed lainnya. Kondisi ini juga berlaku secara kolektif, di mana sekelompok WPDN menguasai 50% atau lebih saham BULN Non-listed dan BULN Non-listed tersebut secara kolektif menguasai 50% atau lebih saham entitas asing Non-listed lainnya.
Kedua, mengenai formula perhitungan Deemed Dividend. Dengan diperluasnya kriteria CFC, maka terdapat penambahan formulasi perhitungan Deemed Dividend bagi WPDN yang memiliki pengendalian langsung maupun tidak langsung di BULN Non-listed. Rumusnya, dengan mengalikan persentase penyertaan modal dengan laba setelah pajak BULNTL, plus persentase saham di BULNTTL yang telah dikalikan dengan laba setelah pajak BULNTTL.
Ketiga, tentang penghitungan Deemed Dividend dengan dividen yang telah didistribusikan. Apabila sebelumnya CFC Rules tidak mengatur mengenai hal ini, maka terhitung mulai tahun pajak 2017 Deemend Dividend selama jangka waktu 5 (lima) tahun ke belakang secara berturut-turut terhitung sejak diterimanya dividen, dapat diperhitungkan dengan dividen yang sudah diterima dari BULNTL.
Keempat, syarat pengkreditan Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen dari BULNTL diperketat. Apabila sebelumnya hanya mensyaratkan lampiran Laporan Keuangan; fotokopi SPT Tahunan PPh, dan bukti pembayaran atau bukti potong PPh atas dividen, maka mulai saat ini WPDN wajib pula melampirkan perhitungan atau rincian laba setelah pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir dari BULNTL.
Kelima, jika sebelumnya penyertaan modal melalui Trust atau entitas sejenis lainnya di luar negeri tidak diatur, maka mulai saat ini hal itu dianggap sebagai bentuk penyertaan modal oleh WPDN. Kebijakan ini mungkin akan menambah kompleks permasalahan, baik bagi WPDN maupun fiskus, untuk bisa mengetahui adanya pengendalian bersama BULN oleh beberapa pemegang saham domestik.
Keenam, ketentuan mengenai Distribution Exemption tidak lagi diatur dalam CFC Rules. Dengan kata lain, Deemed Dividend tetap dihitung walaupun sebelum batas waktu penetapannya BULN dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak WPDN. Sementara sebelumnya, penghitungan Deemed Dividend secara otomatis tidak berlaku jika sebelum batas waktu penetapannya BULN sudah membagikan dividen.
Sedangkan mengenai waktu penetapan saat terutangnya Deemed Dividend tidak berubah, yakni pada bulan keempat setelah batas waktu penyampaian SPT BULN, atau bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir jika BULN tidak diwajibkan melaporkan SPT atau batas waktu penyampaian SPT tidak ditentukan.
Hubungan Istimewa
Beda negara, beda pula kapasitas dan rezim perpajakannya. Ada negara yang cakupan CFC Rules hanya menyasar pada pendapatan dari dividen BULN Non-listed seperti Indonesia. Ada pula yang cakupan objek CFC Rules-nya lebih luas, yakni selain pendapatan pasif (bunga, royalti, dan dividen), juga menyasar pada pendapatan aktif yang berasal dari entitas asing.
Dalam konteks Indonesia, yang hanya fokus pada dividen, tentu lebih realistis ketimbang menyasar semua jenis pendapatan dari entitas luar negeri. Hal itu menyesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sangat terbatas dalam hal pengawasan dan penindakan. Hanya saja harus diakui CFC Rules Indonesia masih perlu perbaikan.
Misalnya ketentuan mengenai threshold penyertaan modal 50% BULN Non-listed, yang dalam CFC Rules dianggap memiliki kekuatan untuk mengendalikan langsung maupun tidak langsung. Meskipun itu mengikuti rekomendasi OECD, tetapi menjadi tidak konsisten dengan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh yang mana kepemilikan saham minimal 25% dianggap sudah menunjukkan adanya hubungan istimewa yang memiliki power untuk mengendalikan perusahaan. Untuk memudahkan WPDN maupun fiskus dalam mengidentifikasi, kenapa tidak 50% of threshold CFC diselaraskan dengan batasan penyertaan modal yang dianggap memiliki hubungan istimewa (minimal 25%) dalam UU PPh.
Tingkatan Penyertaan Modal
Dalam PMK No.107/PMK.03/2017 juga diatur mengenai pengendalian tidak langsung atas BULN Non-listed, baik yang 50% atau lebih sahamnya dikuasai sendiri oleh WPDN maupun secara bersama-sama dengan WPDN lain. Namun, belum jelas batasan jumlah WPDN pemegang saham yang menjadi sasaran CFC Rules.
Apabila melihat best practice dari CFC Rules di sejumlah negara, tingkatan penyertaan modal secara kolektif dibatasi hanya untuk beberapa pemegang saham yang koordinasi di antaranya dianggap punya kekuatan kendali signifikan (concentrate ownership approach), misalnya maksimal lima pemegang saham.
Sebab jika tidak dibatasi, bukan tidak mungkin ada kasus di mana jumlah pemegang saham BULN mencapai puluhan WPDN. Bahkan, bisa saja misalnya 100% saham BULN dimiliki oleh 100 WPDN, yang dengan demikian semua WPDN tersebut dianggap punya kendali sehingga semuanya jadi subjek CFC Rules.
Tentu akan lebih mudah jika threshold penyertaan modal diturunkan menjadi minimal 25% dan jumlah pemegang saham kolektif dibatasi maksimal lima WPDN. Ketentuan itu seharusnya dibunyikan dalam CFC Rules.
Selektif
Dari sisi cakupan area (coverage), Indonesia menerapkan CFC Rules menggunakan pendekatan global approach, yang berlaku atas penyertaan modal pada BULN Non-listed di seluruh negara di dunia. Pendekatan ini justru akan mempersulit di kemudian hari, tak hanya untuk WPDN tetapi juga bagi fiskus karena ada risiko double taxation. Terutama atas penyertaan modal di BULN di negara-negara yang telah mengikat Perjanjian penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) atau yang tarif pajaknya sama atau lebih tinggi dari Indonesia. Selain itu, penerapan CFC Rules secara global approach juga berpotensi menimbulkan gesekan dengan CFC Rules negara lain akibat double Deemed Dividend. Meskipun risiko itu bisa dimitigasi dengan adanya tax credit, tetapi butuh waktu yang tidak singkat dan prosedur yang tidak mudah.
Ada baiknya, Indonesia membatasi cakupan area CFC Rules hanya untuk negara-negara tertentu yang tidak kooperatif atau mengenakan tarif pajak lebih rendah, atau hanya untuk yurisdiksi yang tidak mengadopsi CFC Rules. Seperti penerapan CFC Rules dengan pendekatan designated jurisdiction approach yang dilakukan oleh Argentina, Italia, Korea, Peru, Portugal, Chili, dan Venezuela.
Biaya Kepatuhan
Satu hal yang juga patut diperhatikan oleh Wajib Pajak terkait penerapan CFC Rules adalah risiko biaya kepatuhan (compliance cost) yang bakal meningkat. Terutama bagi Wajib Pajak yang memiliki grup usaha di luar negeri, permasalahannya akan semakin kompleks akibat perbedaan rezim perpajakan antarnegara.
Sementara bagi DJP, tantangan yang paling berat adalah bagaimana caranya untuk mendeteksi kepemilikan langsung maupun tidak langsung pada BULN Non-listed oleh WPDN. Untuk itu, perlu bekal data dan informasi yang valid untuk bisa menetapkan Deemed Dividend secara tepat.
Di satu sisi, kebijakan CFC Rules yang semakin ketat di berbagai negara memang dapat secara tidak langsung mendorong perusahaan-perusahaan—yang selama ini sahamnya dipegang oleh investor asing—untuk melantai di bursa saham domestik. Namun di sisi lain, penetapan Deemed Dividend yang semakin agresif justru akan kontraproduktif dengan semangat ekspansi badan usaha domestik untuk menjadi perusahaan multinasional. Hati-hati, ada hak manajemen terkait kebijakan dividen yang mungkin bisa terabaikan dengan kebijakan ini. Sebab, bisa saja perusahaan memutuskan untuk tidak membagikan dividen guna menambah belanja modal. Intinya, alih-alih meningkatkan kepatuhan pajak, jangan malah CFC Rules menjadi disinsentif bagi Wajib Pajak yang sudah patuh.
*Versi singkat artikel ini telah terbit di Jakarta Post, 18 September 2017
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.