Opinion

AEoI, Momentum Reformasi Perpajakan

Wahyu Nuryanto | Tuesday, 14 March 2017

AEoI, Momentum Reformasi Perpajakan

Pada 2016, dunia dihebohkan oleh bocornya 11,5 juta dokumen investasi rahasia berkapasitas 2,6 terabit milik firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca. Jutaan dokumen yang dikenal dengan Panama Papers tersebut mengungkap dugaan jejaring penggelapan pajak dan pencucian uang terbesar melalui lebih dari 214.000 perusahaan cangkang (shell company) di 21 negara suaka atau surga pajak. Hasil investigasi 100 grup media anggota International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu menyebut nama-nama pesohor dunia sebagai pemilik dana, mulai dari pengusaha dan badan usaha, politisi, selebriti, atlet, hingga pejabat dan mantan pejabat negara.  Di antara mereka merupakan Warga Negara Indonesia. 

Walau belum terbukti adanya pelanggaran hukum, namun laporan-laporan ICIJ tersebut mengungkap modus-modus yang dilakukan oleh para kaum superkaya untuk menyembunyikan harta melalui perusahaan offshore di negara-negara surga pajak (tax havens). 

Berdasarkan riset organisasi nirlaba Global Financial Integrity (GFI) 2015, setiap tahun negara berkembang kehilangan sekitar US$ 1 triliun akibat korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang. GFI memprediksi bahwa potensi pajak yang menguap dari Indonesia karena praktik pelarian uang haram jumlahnya hampir Rp 200 triliun setiap tahunnya.

Hasil riset tersebut diperkuat oleh kajian Koalisi Publish What You Pay Indonesia, yang menyatakan Indonesia berada pada posisi ke-7 dari negara-negara yang memiliki aliran uang haram tertinggi. Dalam rentang 2003-2012 Indonesia tercatat mengalirkan dana sebesar Rp 1.699 triliun atau rata-rata per tahun mencapai Rp 167 triliun. 

Namun, semua baru sebatas estimasi dan belum ada angka pasti berapa nilai aset yang tersembunyi di negara suaka pajak dan besaran pajak yang tergerus oleh skema perencanaan keuangan agresif tersebut. 

Bocornya dokumen Panama Papers seolah menjadi tamparan bagi pemerintahan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang di saat bersamaan tengah berjuang keras meredam aksi penghindaran pajak dan pencucian uang. Hal itu juga semakin memperkuat komitmen global untuk mempercepat implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis antar-negara atau Automatic Exchange of Information (AEoI) guna melacak aset-aset yang disembunyikan oleh Wajib Pajak di tax havens.

Cikal Bakal AEoI

Masifnya aksi penghindaran pajak dengan cara menyimpan harta di bank dan institusi keuangan offshore tidak terlepas dari perbedaan tarif pajak di setiap negara. Kombinasi tarif pajak yang sangat rendah dan jaminan kerahasiaan bank membuat beberapa negara atau yurisdiksi menjadi populer sebagai tax haven. 

Meskipun sudah ada tax treaty yang bersifat bilateral untuk mengatur agar Wajib Pajak tidak dikenakan pajak berganda, tetap tidak menjamin hilangnya praktik penghindaran pajak. Tax treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) sejatinya tetap mengharuskan Wajib Pajak membayar selisih tarif pajak yang dikenakan lebih rendah di negara lain ke otoritas pajak di negara asalnya. Namun pada praktiknya, banyak Wajib Pajak yang tidak melaporkan harta dan penghasilannya di luar negeri atau bahkan membayar selisih pajak, sehingga potensi penerimaan negara pun tergerus. 

Fenomena ini kemudian menjadi perhatian serius oleh otoritas pajak di seluruh belahan dunia. Ide mengenai pentingnya keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan kemudian mengemuka dalam pertemuan pemimpin negara anggota G20 di London, Inggris, pada April 2009 menyusul  terbongkarnya skandal penghindaran pajak yang melibatkan Union Bank of Switzerland (UBS). 

Skandal tersebut membuat Pemerintah Amerika Serikat (AS) bergerak cepat dengan menuntut UBS untuk menyerahkan identitas dan informasi rekening 250 warga negaranya. Dalam kasus tersebut, UBS kalah dan harus membayar denda sebesar US$ 870 juta. 

Setahun kemudian, Pemerintah AS merilis kebijakan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA). Untuk menanggulangi penghindaran dan pengelakan pajak oleh warga negaranya, seluruh lembaga keuangan di dunia diminta untuk memberikan laporan kepada Internal Revenue Services (IRS) mengenai informasi terkait rekening keuangan yang dimiliki oleh warga negara AS atau entitas lain yang secara signifikan dimiliki oleh penduduk AS (substantial ownership interest). Bagi lembaga keuangan yang tidak kooperatif dikenakan sanksi berupa 30% withholding tax atas dana yang dikeluarkan dari AS. Jenis pembayaran yang merupakan objek pemotongan pajak dengan tarif 30% tersebut antara lain adalah pembayaran dividen, bunga, maupun hasil penjualan aset.

Komitmen global untuk menerapkan pertukaran informasi perpajakan secara bilateral maupun multilateral kemudian semakin menguat menyusul semakin banyaknya kasus penggelapan pajak yang terungkap. G20 atas prakarsa Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) kemudian mendorong pertukaran informasi keuangan di bawah kerangka tax treaty (P3B); Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan atau Tax Information Exchange Agreement (TIEA); dan Perjanjian Multilateral tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan atau Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC). 

Indonesia sejauh ini telah terikat perjanjian P3B dengan 65 negara. Sementara dalam kerangka TIEA, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan 6 negara. Sedangkan terkait MAC, sudah 94 negara berkomitmen dengan Indonesia. 

Namun, semua perjanjian pertukaran informasi yang selama ini berjalan masih dianggap belum cukup karena sifatnya masih berdasarkan permintaan. Karenanya muncul gagasan untuk mengadopsi pertukaran informasi secara otomatis seperti FATCA. G20 dan OECD kemudian bersepakat untuk menerapkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau AEoI mulai 2018. 

Indonesia pada Juli 2015 telah menandatangani Multilteral Competent Authority Agreement (MCAA) yang mencantumkan komitmen untuk memulai AEoI pada September 2018. Dengan demikian, mulai saat itu rekening wajib pajak yang berada di negara lain bisa langsung terlacak oleh otoritas pajak. Komitmen itu dibuat untuk menjaga kredibilitas Indonesia di dunia internasional dan menjadi bagian dari jaringan pertukaran informasi keuangan global. 

Pekerjaan Rumah

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dalam sejumlah kesempatan memaparkan pentingnya AEoI bagi Indonesia. Mimpinya adalah AEoI mampu mencegah dan mendeteksi tindak pidana pencucian uang, penghindaran pajak, dan pendanaan terorisme, serta mendorong repatriasi dana milik Wajib Pajak di luar negeri. DJP juga berharap dengan adanya AEoI akan diperoleh informasi keuangan Wajib Pajak di luar negeri yang lebih akurat.  

Namun, tidak mudah bagi Indonesia—yang menganut sistem kerahasiaan data perbankan—untuk bisa mengimplementasikan AEoI. UU KUP sebenarnya sudah mengatur soal keterbukaan data perbankan, namun hanya bisa diberikan untuk keperluan proses pemeriksaan. Tepatnya di Pasal 35, yang menegaskan bahwa: kerahasiaan data atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya ditiadakan untuk tiga keperluan, yakni pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Khusus untuk data perbankan, hanya bisa diberikan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. 

Untuk bisa mengimplementasikan AEoI, Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus direvisi.  Keduanya menjadi pintu masuk utama dalam pembuatan common reporting standard (CRS), yang merupakan standar pelaporan data yang saling dipertukarkan antar-negara melalui masing-masing otoritas. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah, karena prosesnya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar di parlemen. 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menjadi pilihan payung hukum yang paling realistis. Isi dari Perppu tersebut kurang lebih mengadopsi skema dasar AEoI yang direkomendasikan OECD. Adapun yang dipertukarkan nantinya adalah informasi keuangan wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha, yang meliputi identitas, saldo tabungan, bunga, dividen, dan penghasilan lainnya. Sementara yang  berkewajiban melaporkannya adalah lembaga keuangan bank dan non bank, termasuk lembaga depositori, lembaga kustodian, entitas investasi, dan perusahaan asuransi tertentu. 

Asas resiprokal berlaku dalam AEoI sehingga ada dua dimensi yang akan melekat terhadap DJP, yakni sebagai pemberi informasi maupun penerima informasi. Sebagai pemberi informasi, DJP harus memberikan data dan informasi mengenai pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas subyek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. 

DJP juga dapat memberikan data dan informasi keuangan nasabah perbankan atau lembaga keuangan ke otoritas pajak terkait di negara mitra. Namun, data dan informasi tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan nasabah, untuk selanjutnya disampaikan oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk selanjutnya diteruskan kepada DJP. 

Dimensi kedua merupakan sebaliknya, di mana otoritas pajak di negara lain harus melakukan hal yang sama dan wajib menyerahkan data dan informasi keuangan milik Warga Negara Indonesia di negara masing-masing kepada DJP. 

Reformasi Total

Munculnya beragam reaksi publik merupakan suatu hal yang lazim terjadi setiap ada kebijakan baru, tak terkecuali dengan rencana implementasi AEoI. Ketakutan akan hilangnya privasi dan risiko pelarian modal ke luar negeri menjadi isu yang dihembuskan oleh kubu yang kurang sependapat dengan kebijakan ini. Sebaliknya, transparansi dan kepatuhan wajib pajak menjadi semangat yang digaungkan pemerintah dan pihak yang pro terhadap kebijakan AEoI.  

Ada atau tidak adanya AEoI, sebenarnya taat terhadap ketentuan merupakan suatu keharusan bagi Wajib Pajak. Paket regulasi perpajakan yang ada selama ini sebenarnya sudah cukup jelas membagi wilayah ‘halal’ dan ‘haram’ di sektor pajak. Namun, pelaksanaannya harus diakui belum sempurna karena banyak hal, antara lain ketidakpatuhan Wajib Pajak, keterbatasan sumber daya, serta minimnya basis data yang dimiliki oleh otoritas pajak. 

AEoI diharapkan bisa mengatasi permasalahan yang terkait dengan basis data dan ketidakpatuhan Wajib Pajak. Namun, itu sebenarnya belum menjawab persoalan yang terkait dengan keterbatasan sumber daya otoritas pajak untuk mengolah data dan mengelola kepatuhan wajib pajak hingga menghasilkan output yang jelas, yakni pertumbuhan penerimaan negara. 

Karenanya, AEoI harus menjadi bagian dari reformasi total dan menyeluruh di sektor perpajakan nasional. Upaya memperkuat basis data dan kepatuhan wajib pajak harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas, profesionalitas, dan kewenangan dari otoritas pajak. Semua itu harus diakomodasi dalam proses politik anggaran antara pemerintah dan DPR dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). 

Apabila reformasi perpajakan menyeluruh telah dijalankan, maka tak ada celah bagi Wajib Pajak untuk nakal. Demikian pula bagi otoritas pajak, tak ada lagi alasan untuk menjadikan wajib pajak sebagai kambing hitam dari tidak tercapainya target penerimaan pajak. Selamat datang era keterbukaan informasi perpajakan.



Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.