Dokumentasi Transfer Pricing Uji Transparansi Korporasi
Wahyu Nuryanto
|
Monday, 27 February 2017
Bisnis dan pajak memiliki relasi yang sulit dipisahkan. Bisnis akan selalu muncul di mana pun selama ada potensi keuntungan ekonomis. Demikian halnya dengan pajak, hadir mewakili kepentingan negara ketika ada aktivitas bisnis. Globalisasi menuntut keduanya untuk berkembang mengikuti tuntutan pasar dan zaman.
Dari sisi bisnis, sumber-sumber ekonomi yang tersebar telah mendorong banyak perusahaan untuk melebarkan sayap usaha dengan mendirikan perusahaan-perusahaan afiliasi atau kantor-kantor cabang di berbagai negara. Terlebih untuk memenangkan persaingan bisnis yang semakin ketat, maka ekspansi usaha seolah menjadi pilihan wajib yang harus dilakukan perusahaan. Tidak hanya untuk mengeruk keuntungan semata, karena sebenarnya transaksi afiliasi bisa pula dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menyebar biaya dan meminimalkan pajak melalui kebijakan penetapan harga transaksi (transfer pricing).
Transfer pricing sebenarnya praktik yang lazim dilakukan dalam dunia usaha dan tidak dilarang secara hukum. Namun, yang jadi masalah kalau transfer pricing digunakan untuk mengecilkan atau menghindari pajak. Fenomena bisnis ini kemudian menjadi perhatian otoritas pajak di seluruh dunia, menyusul nilai transaksi afiliasi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengestimasi, sekitar 60% dari total perdagangan dunia merupakan nilai transaksi afiliasi antar-grup usaha. Namun, besarnya nilai transaksi afiliasi dianggap tidak sebanding dengan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan korporasi. Keresahan itu yang kemudian mendorong negara-negara G20 bersama OECD mencari cara untuk meredam terjadinya pengikisan potensi pendapatan pajak akibat praktik pengalihan laba atau Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).
Sebanyak 15 rencana aksi anti-BEPS kemudian lahir, yang salah satu rekomendasinya (BEPS Action 13) mewajibkan perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa membuat dan melaporkan dokumentasi transfer pricing dengan tiga pendekatan standar: Local file, Master file, dan Country by Country Report (CbCR). Selama ini, sebagian besar yurisdiksi hanya mewajibkan penyusunan local file sebagai bentuk dokumentasi transfer pricing.
Sejauh ini sudah 57 negara yang berkomitmen mengadopsi BEPS Action 13 dan menyepakati pertukaran CbCR, meskipun sebagian belum resmi mengimplementasikannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah mengimplementasikan tiga pendekatan dokumentasi transfer pricing. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016, yang terbit dan berlaku efektif pada 30 Desember 2016 .
Dalam PMK 213 disebutkan, wajib pajak yang wajib menyusun dan melaporkan CbCR adalah perusahaan induk dengan nilai peredaran bruto (omzet) lebih dari Rp 11 triliun atau setara dengan EUR 750 juta (rekomendasi OECD). CbCR wajib tersedia paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah tahun pajak berakhir dan menjadi lampiran Surat Pemberitahuan (SPT) PPh badan tahun berikutnya.
Sementara untuk master file dan local file, seluruh perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi dan beromzet lebih dari Rp 50 miliar pada tahun pajak sebelumnya harus membuat dan mempersiapkan keduanya. Kewajiban ini juga berlaku bagi perusahaan yang pada tahun pajak sebelumnya memiliki transaksi afiliasi barang berwujud dengan nilai lebih dari Rp 20 miliar atau transaksi lainnya seperti transaksi jasa, pembayaran bunga, dividen, dan pemanfaatan barang tak berwujud lain dengan nilai masing-masing lebih dari Rp 5 miliar. Baik local file maupun master file, wajib tersedia paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun pajak berakhir. Kendati demikian, kedua dokumen tersebut tidak harus disampaikan ke kantor pajak karena cukup ikhtisarnya yang diserahkan sebagai lampiran SPT tahun pajak yang bersangkutan. Local file dan master file baru diserahkan jika diminta pemeriksa.
Objek perdana PMK 213 adalah transaksi afiliasi yang berlangsung sepanjang tahun pajak 2016. Dengan demikian, wajib pajak yang tahun bukunya berakhir pada 31 Desember 2016, maka local file dan master file harus tersedia paling lambat April 2017 dan ikhtisarnya diserahkan bersamaan dengan SPT 2016. Sementara untuk CbCR diserahkan ke kantor pajak paling lambat April 2018.
Secondary Filling Mechanism
Meskipun secara umum tiga jenis dokumen transfer pricing yang disarankan OECD sudah diatur dalam PMK 213, namun sebenarnya Indonesia tidak sepenuhnya mengadopsi BEPS Action 13. DJP menyatakan, hanya sekitar 70-80% BEPS Action 13 yang diakomodasi dalam PMK 213. Selebihnya berbeda karena menyesuaikan dengan kondisi hukum bisnis di Indonesia.
Contoh kasusnya adalah tidak adanya pengertian ultimate parent company. Berangkat dari kasus tersebut, DJP menganggap perlu meminta CbCR dari anak perusahaan atau subsidiary pada kondisi tertentu. Terutama bagi subsidiary yang entitas induknya berada di negara atau yurisdiksi yang tidak mewajibkan penyusunan CbCR.
Kewajiban menyiapkan CBCR juga otomatis menjadi beban perusahaan subsidiary jika DJP gagal memperoleh dokumen dari negara-negara tempat entitas induknya berdomisili, sekalipun pemerintahnya telah menandatangani perjanjian pertukaran informasi perpajakan. Mekanisme ini disebut dengan Secondary Filling Mechanism.
DJP menjelaskan, tidak hanya Indonesia yang menerapkan Secondary Filling Mechanism. Skema ini diterapkan oleh banyak negara karena idealnya BEPS Action 13 diadopsi dan CbCR dipertukarkan oleh seluruh negara di dunia.
DJP juga menegaskan, kewajiban menyiapkan CbCR sejatinya hanya dibebankan kepada entitas induk, baik yang melakukan transaksi afiliasi maupun tidak. Dengan demikian, dimungkinkan terjadi kasus di mana entitas induk tidak harus membuat local file dan master file karena tidak melakukan transaksi afiliasi, tetapi wajib melaporkan CbCR karena nilai omzetnya melebihi Rp 11 triliun.
Selain itu, merujuk pada threshold Rp 11 triliun, bisa juga dalam satu grup usaha diwajibkan membuat beberapa CBCR. Kondisi ini terjadi ketika dalam satu grup usaha ada beberapa perusahaan yang nilai omzet konsolidasinya melebihi threshold.
Apabila demikian, maka threshold peredaran bruto sebesar EUR 750 juta (ekuivalen Rp 11 triliun) yang tertuang dalam BEPS Action 13 tidak bisa dijadikan standar baku. Sebab pada praktiknya di Indonesia, bisa saja perusahaan yang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut tetap harus membuat dokumentasi transfer pricing jika merujuk pada kondisi-kondisi tertentu yang ditetapkan pemerintah. Untuk memperjelas hal ini, DJP dalam waktu dekat akan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak guna mengatur lebih lanjut menyenai prosedur penyusunan dan pelaporan CBCR.
Selain itu, DJP juga akan merilis daftar negara yang telah berhasil melakukan pertukaran CbCR. Dengan demikian, subsidiary yang lokasi entitas induknya tidak masuk dalam daftar negara tersebut harus berinisiatif menyiapkan CbCR. Permasalahannya adalah, CBCR merupakan kebijakan yang baru dimulai secara global mulai tahun pajak 2016. Sehingga, sukses atau tidaknya pertukaran CbCR lintas negara sebenarnya baru dapat diungkap DJP atau diketahui publik paling cepat pada 2018. Artinya, menunggu sampai DJP merilis peraturan pelaksana dan daftar negara penyebar CbCR, perusahaan subsidiary di Indonesia tetap harus menyiapkan CbCR dari sekarang seandainya kondisinya memaksa.
Sebab, ada konsekuensi bagi perusahaan yang telat menyiapkan dokumentasi transfer pricing, yakni laporannya diperhitungkan secara jabatan atau menjadi diskresi pemeriksa pajak untuk mengakui atau tidak paket dokumen tersebut. Sanksi yang lebih berat mengancam perusahaan yang sama sekali tidak membuat CbCR meski diwajibkan. Merujuk pada Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), wajib pajak yang tidak patuh terhadap ketentuan pelaporan dapat dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak terutang.
Perubahan Basis
Apabila mengikuti ketentuan terbaru, dokumentasi transfer pricing harus menjelaskan proses penetapan harga transfer berdasarkan kondisi saat terjadinya transaksi afiliasi (ex-ante basis). Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yang tidak mensyaratkan hal itu sehingga pada praktiknya lebih pada pengujian harga transfer (ex-post basis).
Perubahan pendekatan itu sebenarnya positif untuk membangun budaya transparansi transfer pricing di korporasi. Namun untuk tahun pertama, dokumentasi transfer pricing dengan format baru merupakan tantangan berat bagi wajib pajak. Ongkos kepatuhannya dapat dipastikan meningkat untuk mematuhi ketentuan ini mengingat waktu yang tersedia sangat terbatas, terutama untuk menyusun master file dan local file.
Kembali ke relasi bisnis dan pajak. Idealnya, keduanya bersahabat karena sama-sama strategis dan saling memengaruhi satu sama lain. Namun realitanya adalah, kepentingan bisnis dan kepentingan pajak tak jarang berselisih di ranah hukum. Kuncinya adalah kepercayaan (trust) dan transparansi yang harus dipelihara dan dijaga bersama, baik oleh otoritas maupun Wajib Pajak. Jika aturan pajaknya jelas dan petugasnya profesional, tentu kepercayaan Wajib Pajak terhadap DJP akan meningkat. Demikian pula dengan Wajib Pajak, jika patuh terhadap ketentuan perpajakan dan transparan dalam berbisnis, tentu tak perlu takut dalam menghadapi permasalahan pajak.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.