Paradigma Kepatuhan Pajak: dari Deterrence ke Deference?
Ahmad Komara
|
Wednesday, 26 June 2019
Kepatuhan pajak merupakan permasalahan multidimensi yang telah mengundang perhatian banyak pihak di dunia, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Upaya untuk membedah persoalan tersebut telah dan terus dilakukan, baik oleh akademisi maupun otoritas pajak. Namun, jalan keluar yang konkret belum juga ditemukan. Bahkan, tidak jarang diskursus buntu hanya pada tataran mencari definisi ideal dari “kepatuhan pajak” itu sendiri.
Alih-alih mencari solusi, paradigma tentang kepatuhan pajak justru mengalami pergeseran cukup fundamental dari waktu ke waktu. Semula kajian mengenai kepatuhan berangkat dari pertanyaan “mengapa Wajib Pajak tidak membayar pajak (tidak patuh)?”, tetapi saat ini arah pertanyaan justru mengalami kemunduran menjadi “mengapa Wajib Pajak harus membayar pajak (patuh)?”.
Penelitian yang bertolak dari pertanyaan pertama cenderung menggunakan pendekatan economic rationality, yakni Wajib Pajak dipandang semata-mata sebagai penghitung keuntungan dan kerugian ekonomi yang egois. Anggapannya, Wajib Pajak akan selalu menghindari pajak jika dirasa lebih menguntungkan karena menganggap membayar pajak sebagai biaya. Alhasil, untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, otoritas cenderung mengacu pada deterrence model, yakni berupa penerapan sanksi yang berat, tarif pajak yang tinggi, dan peningkatan frekuensi pemeriksaan.
Sebaliknya, penelitian yang dipicu oleh pertanyaan kedua cenderung lebih menggunakan pendekatan behavioural cooperation. Dalam hal ini, Wajib Pajak dianggap sebagai warga negara yang baik sehingga bersedia membayar pajak. Atas dasar ini, otoritas pajak lebih mengedepankan peningkatan pelayanan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (service/deference model). Dalam hal ini, berbagai fasilitas dan kemudahan prosedural diberikan guna memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya.
Jalan Tengah
Cara-cara penegakan hukum berbasis Economic Deterrence Model banyak digunakan pada fase awal munculnya kesadaran atas pentingnya kepatuhan pajak, yakni sekitar tahun 1960-1970an. Kala itu, Wajib Pajak dipandang dan diperlakukan sebagai sosok yang rasional secara ekonomi dan merupakan potential criminals. Pada era ini pula, rasa takut (fear) digunakan oleh otoritas pajak untuk menekan Wajib Pajak agar patuh terhadap ketentuan perpajakan.
Penegakan hukum yang tegas justru mendapatkan kritik dari sejumlah pihak karena dianggap kurang rasional dan mengabaikan unsur kemanusiaan. Untuk itu, perlu pendekatan lain seperti behavioural approach dan ilmu sosial lainnya.
Social Psychology Model merupakan salah satu pisau analisis yang mengkritik pedas penggunaan Economic Deterrence Model. Para penelitinya menyimpulkan bahwa faktor ekonomi bukan merupakan satu-satunya unsur yang memengaruhi kepatuhan pajak. Penganut model ini beranggapan bahwa faktor non-ekonomi juga banyak berperan dalam mendorong Wajib Pajak untuk patuh, seperti tax morale, perilaku, persepsi, dan pengaruh individu lain.
Sebagai jalan tengah, tidak sedikit peneliti yang menawarkan kombinasi dan harmonisasi model Economic Deterrence dan Social Psychology, yakni dengan menggunakan Fiscal Psychology Model. Model ini menekankan bahwa perilaku ketidakpatuhan disebabkan oleh kurangnya manfaat yang dirasakan atau diterima oleh pembayar pajak, baik dalam bentuk finansial maupun barang publik. Paradigma ini mengeksplorasi pengaruh masalah ekonomi dan kebijakan pemerintah terhadap sikap masyarakat guna meningkatkan kepatuhan pada peraturan.
Berdasarkan pendekatan ini, kebijakan yang positif mesti dikembangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kerja sama dengan masyarakat. Sebagai contoh, penurunan tarif pajak digunakan sebagai insentif bagi Wajib Pajak agar menjadi patuh. Di samping itu, model ini juga menekankan bahwa pemahaman Wajib Pajak terhadap ketentuan akan memengaruhi kemauan mereka untuk bekerja sama dengan pemerintah yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat kepatuhan mereka.
Risiko
Selama bertahun-tahun, berkembang persepsi bahwa membayar pajak merupakan sebuah keputusan individu atas dua opsi: membayar seluruh pajak dengan jujur atau tidak membayar (menghindari) pajak. Berbeda dengan pilihan pertama, pilihan kedua merupakan opsi yang mengandung risiko. Tinggi atau rendahnya risiko tersebut terkait dengan kemungkinan pemeriksaan dan sanksi yang diterapkan.
Paradigma pertama dianggap telah mengabaikan banyak elemen penting karena tidak mengindahkan pengaruh Wajib Pajak lain dan kelompok. Selain itu, pendekatan tersebut juga menegasikan aktor-aktor lain dalam proses pembayaran pajak.
Pendekatan multi-agent sepertinya lebih relevan karena ada motivasi lain yang mendorong individu untuk patuh selain pertimbangan finansial, misalnya rasa bersalah, malu, moralitas, dan altruisme. Selain itu, kepatuhan Wajib Pajak juga bisa dipengaruhi oleh pemikiran kelompoknya, seperti tentang norma sosial, adat kebiasaan, keadilan, kepercayaan, tax morale, patriotisme, dan barang publik.
Intinya, pajak tidak berada di ruang hampa dan semata-mata hanya melibatkan seorang individu, melainkan menyangkut banyak pihak. Pembayaran pajak sering dilakukan dengan melibatkan konsultan, dipungut oleh fiskus, dan digunakan oleh instansi-instansi negara dengan persetujuan wakil rakyat. Oleh karena itu, pendekatan multiple entity terkait kepatuhan pajak dianggap dapat mengakomodasikan peran dan interaksi antara para pihak dimaksud.
Seimbang
Dalam perpajakan, istilah ‘kepatuhan’ (compliance) selalu bersanding dengan istilah ‘ketidakpatuhan’ (non-compliance). Pertanyaannya, mana yang lebih penting: meningkatkan kepatuhan atau memerangi ketidakpatuhan? Idealnya, tentu saja kedua hal tersebut harus berjalan seiring dan seimbang. Namun, pada praktiknya, tidak mudah untuk menemukan titik keseimbangan atas dua paradigma yang berbeda tersebut.
Otoritas pajak yang cenderung memilih untuk memerangi ketidakpatuhan (enforcement paradigm) terkesan menganggap Wajib Pajak sebagai sosok yang amoral, menghindari risiko, dan individu yang selalu memaksimalkan utilitas. Modusnya adalah dengan menghindari pajak setiap kali hal tersebut dianggap lebih menguntungkan.
Pendekatan ini dibangun berdasarkan economic-of-crime model yang diterapkan untuk memerangi tindakan ilegal karena menjatuhkan hukuman dianggap sebagai langkah terbaik untuk meningkatkan perilaku yang sesuai aturan. Dengan demikian, fokus otoritas pajak diletakkan pada pemberantasan ketidakpatuhan daripada peningkatan kepatuhan.
Di sisi lain, ada pula pendekatan otoritas pajak yang mengedepankan peningkatan kepatuhan dengan menitikberatkan peran administrasi pajak sebagai fasilitator dan penyedia pelayanan bagi pembayar pajak (service paradigm). Penelitian menunjukkan pendekatan ini terbukti berhasil meningkatkan persepsi positif masyarakat terhadap otoritas pajak, meskipun dampaknya terhadap kepatuhan Wajib Pajak belum terbukti.
Di dalam iklim masyarakat yang saling tidak percaya (antagonistic climate), kekuatan yang tinggi dari otoritas pajak diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan. Kebijakan yang mungkin efektif dalam situasi seperti ini adalah meningkatkan kemungkinan pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi yang berat.
Sebaliknya, dalam kondisi kepercayaan masyarakat tinggi terhadap otoritas pajak (synergetic climate), variabel lain akan berperan sangat penting. Pengetahuan, perilaku, ajakan moral, keadilan, dan demokrasi akan membantu meningkatkan kepatuhan. Sementara itu, dalam situasi seperti ini, sanksi yang berat serta intensifnya pemeriksaan mungkin akan berakibat negatif, seperti menggerus tax morale Wajib Pajak.
Yang bahaya adalah jika kepercayaan terhadap otoritas pajak rendah, sedangkan kekuatan otoritas minimal. Dalam kondisi semacam ini, jangan harap kepatuhan pajak, baik enforced maupun voluntary, akan dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemerintah, dalam hal ini otoritas pajak, dituntut menjaga kepercayaan masyarakat dan sekaligus memiliki kekuatan menghadapi Wajib Pajak.
Pendekatan tailor made rather than one size fits all mungkin akan lebih efektif untuk digunakan. Selain itu, sebagaimana filosofi Jawa, menundukkan lawan akan lebih efektif dengan cara dirangkul daripada dipukul.
Otoritas pajak tentu perlu mengambil hati Wajib Pajak agar mereka bisa mematuhi seluruh ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku. Atas dasar hal tersebut, strategi yang efektif tampaknya adalah dengan merangkul, menganggap mereka sebagai mitra, daripada memperlakukan mereka sebagai sosok yang tidak patuh apalagi musuh yang harus diperangi. Akan tetapi, dalam hal tertentu, penegakan hukum untuk menciptakan efek jera perlu juga dilakukan.
Intinya, perhatian saja tidak akan cukup jika tidak ada langkah-langkah konkret untuk memerangi ketidakpatuhan sekaligus meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Karenanya, sudah saatnya model kepatuhan pajak dibangun dan dikembangkan secara sistematis dan terstruktur sehingga program peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dapat berjalan secara berkelanjutan. ***
*Ahmad Komara merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menyandang gelar PhD Hukum Bisnis dari Curtin University dan Master of Arts in International Development Policy dari Duke University, Australia.
**Artikel ini telah terbit di buku "Pajak 4.0"
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.