Unsur ‘Setiap Orang’ dan Ultimatum Remedium dalam Pidana Pajak
Prof. Gunadi
|
Monday, 17 June 2019
Hukum pajak mengatur hubungan antara negara sebagai pemegang yurisdiksi pemajakan dengan warga negara sebagai pembayar pajak dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Hukum Pajak termasuk Hukum Publik dan tergolong dalam Hukum Tata Usaha Negara (Anshari Ritonga, 2017, Pengantar Ilmu Hukum Pajak & Perpajakan Indonesia).
Sejak 1984, Indonesia menerapkan sistem administrasi pajak modern self assessment yang berdasarkan pada voluntary compliance. Sistem pajak ini mempercayakan inisiasi pemajakan pada Wajib Pajak, mulai dari kegiatan penghitungan, pembayaran atau pelunasan pajak terutang, hingga pelaporan ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Inistaitif ini sangat mengurangi banyak kerja komputasi administrasi pajak.
Asumsi utang pajak dalam SPT Wajib Pajak benar sesuai undang-undang (UU), pembentukan data basis mikro yang valid, komprehensif dan terintegrasi dalam jaringan elektronik (daring) dilengkapi rekening per pembayar pajak (taxpayer account), maka pengawasan berorientasi deteksi dini ketidakpatuhan dengan pendekatan pre-populated tax return amat optimal dalam mempersempit kesempatan tidak patuh. Akibatnya, sistem digitalisasi administrasi pajak daring membuat Wajib Pajak tiada pilihan selain patuh pajak. Penyempitan kesempatan tidak patuh, membuat Wajib Pajak dalam sistem self assessment dipaksa patuh dengan sendirinya terhadap sistem pajak.
Walaupun demikian, pada kehidupan nyata di negara mana pun—terlepas memakai sistem administrasi self assessment plus voluntary compliance atau official assessment plus compulsary compliance—karena pajak jadi beban ekonomisnya maka rasional jika Wajib Pajak selalu tanpa lelah berusaha mengefisienkannya. Karena itu, sebagai penguat agar pematuhan pajak optimal dan penerimaan APBN dapat maksimal, dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sanksi pidana administrasi diberlakukan untuk memperkuat sanksi administrasi. Sanksi pidana administrasi hanya berlaku terbatas pada Wajib Pajak, pejabat pajak, dan pihak terkait.
Pasal 1 (1) UU KUP menyebut Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemungut pajak, dan pemotong pajak, yang punya hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (ketentuan perpajakan). Berbeda dengan ketentuan tersebut, delik pidana pajak tidak secara eksplisit menyebut Wajib Pajak, Orang pribadi atau Badan, tetapi beberapa pasal pidana pajak dalam UU KUP menyebut unsur pelaku tindak pidana pajak (dader) bukan langsung Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan, tetapi ‘setiap orang’ (Pasal 38, 39, 39A, 41B, dan 43) dan ‘seseorang’ (Pasal 39(2)). Padahal penjelasan Pasal 38 secara eksplisit menyebut pelaku tindak pidana di bidang perpajakan adalah Wajib Pajak dan Pasal 43 tentang pidana ‘penyertaan’ (delnemingen) pihak lain dalam tindak pidana pajak secara tersurat juga sebut wakil, kuasa, dan pegawai dari Wajib Pajak.
Sebagai UU Tata Cara atau hukum formal/acara perpajakan, tujuan utama UU KUP termasuk memaksimalisasi penerimaan guna pemenuhan jasa publik pemerintah dan menjaga kelancaran arus penerimaan negara. Penambahan sanksi pidana yang berdampak fisik dan finansial dalam UU KUP ditujukan agar efektif menekan Wajib Pajak lebih patuh bayar pajak, bukan untuk memenjarakannya karena malah mengganggu arus penerimaan dan perekonomian negara. Sebab itu, Penjelasan Pasal 13A UU KUP menyebut pemidanaan sebagai upaya terakhir (last resort, ultimum remedium) peningkatan kepatuhan setelah semua upaya administrasi tidak efektif. Namun, berbagai rumusan ketentuan pidana dalam UU KUP bersifat mendua antara ultimum dan primum remedium.
Perkembangan Ketentuan Pidana Administrasi Pajak
Pelanggaran aturan pajak, apakah administrasi atau tindak pidana (pelanggaran hukum), sudah berlangsung sejak adanya pungutan pajak. Badrulzaman dan Agustina (2003, Perbuatan Melawan Hukum) menyebut pelanggaran hukum sebagai tidak melakukan setiap kewajiban atau larangan UU. Misalnya, tidak memenuhi kewajiban menyampaikan SPT yang diisi dengan benar, lengkap, dan jelas. Jika WAJIB PAJAK tidak melakukan apa-apa (tidak menyampaikan SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dianggap telah melanggar hukum. Pelanggaran itu dapat berdampak signifikan pada ekonomi (mengganggu pertumbuhan), finansial, atau fiskal (menghambat penerimaan negara), dan sosial-psikologis (sukses pelanggaran pajak dapat menyebar ke berbagai sektor dan membudaya antar generasi). Oleh karena itu, pelanggaran hukum pajak harus dicegah sedini mungkin dan diberantas secara efektif dan efisien.
Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nyatakan ketentuan pemidanaan dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa pidana (yang dapat dikenai hukuman pidana) di luar KUHP, kecuali diatur lain dalam UU tertentu. Karena ketentuan pidana umum KUHP juga dapat diberlakukan pada pelanggaran hukum pajak, maka sampai 1925 belum ada aturan pidana dalam UU Perpajakan (Gunadi, 2016, Panduan Komprehensif Ketentuan Umum Perpajakan). Baru pada 1925 sejak Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Ord PPs 1925) berlaku, dalam Pasal 47 Ordonansi tersurat ketentuan pidana pajak (untuk perseroan).
Pasal 47 (1) Ord PPs 1925 berbunyi “barang siapa dengan sengaja memasukkan pemberitahuan (SPT) yang tidak benar atau tidak lengkap, dihukum dengan hukuman penjara paling lama 6 bulan, kalau perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian pada negara’. Ketentuan pidana dalam pasal ini berisi beberapa unsur pidana, seperti: (i) pelaku, (ii) niat menyengaja, (iii) objek pelanggaran hukum (menyampaikan SPT yang isinya tidak benar dan tidak lengkap); (iv) akibat perbuatan (dapat menimbulkan kerugian pada negara); dan (v) sanksi pidana (hukuman penjara definitif paling lama 6 bulan).
Unsur ‘barang siapa’ merujuk pada manusia biologis sebagai pelaku, padahal ketentuan pidana itu tertuju pada subjek hukum perseroan sebagai manusia hukum atau recht person yang secara perdata juga menjadi subjek hukum pemangku hak dan kewajiban hukum. Delik pidana pajak tidak langsung merujuk pada perseroan sebagai pelaku pelanggaran, tetapi karena terkait penyampaian SPT, yang oleh Pasal 17 (1) Ord PPs 1925 langsung wajib dipenuhi oleh pengurus. Pasal 17 (1) menyatakan pengurus dari perseroan yang telah diserahi SPT wajib mengisi dan menandatangani surat tersebut dengan jelas, pasti dan benar. Karena subjek hukum pendukung kewajiban penyampaian SPT adalah pengurus perseroan (manusia biologis) bukan perseroannya (manusia hukum), maka tepatlah jika penanggung jawab pelaku pelanggaran hukum adalah pengurus manusia biologis perseroan maka dengan rumusan delik pidananya dengan kata ‘barang siapa’.
Ord PPs 1925 berlaku untuk WAJIB PAJAK perseroan (badan hukum) dan badan lainnya, tetapi rumusan pelaku tindak pidana pajaknya memakai ‘barang siapa’, yaitu pengurus yang diserahi SPT. Istilah ‘barang siapa’ menurut KBBI adalah padanan dari istilah ‘siapa saja’ yang merujuk pada orang atau person.
Istilah ‘barang siapa’ ini dipertahankan dalam ketentuan pidana pajak dalam UU KUP. Namun, mungkin dari bahasa dirasa kurang eufimistis, dalam UU No 16/2000 istilah ‘barang siapa’ diganti dengan ‘setiap orang’ sehingga tampak elegan dan dipertahankan dalam UU No 28/2007 dan UU No 16/2009.
Penafsiran Hukum Pajak
Tindak pidana pajak merupakan pelanggaran hukum, karena itu agar berfungsi memberi kepastian dan perlindungan hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum pajak harus ditegakkan (Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum). Logika hukumnya, jika ada tindak pidana pajak berarti ada akibatnya (kerugian pada pendapatan negara), dan pelaku sendiri atau bersama-sama atau ada yang membantu dalam berbagai bentuknya. Sesuai pasal-pasal pidana dalam UU KUP, pelakunya adalah setiap orang yang karena alpa atau sengaja melakukan pelanggaran hukum perpajakan (tidak memenuhi kewajiban atau melanggar larangan). Karena beberapa pasal pidana dalam UU KUP memakai istilah ‘setiap orang’, sedang istilah WAJIB PAJAK hanya terdapat dalam penjelasan Pasal 38 dan secara implisit dalam Pasal 43 (tindak pidana penyertaan) untuk memberikan kejelasan dalam pelaksanaan penegakan hukum perlu penafsiran.
Sudikno (2008) sebut penafsiran sebagai salah satu metode penemuan hukum (recht finding) pemberi penjelasan gamblang teks UU agar ruang lingkup norma dapat ditetapkan pada peristiwa tertentu. Beberapa metode penafsiran guna mengetahui makna UU termasuk: (i) gramatikal/bahasa (menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya); (ii) teleologis/sosiologis (menurut masyarakat saat ini, sesuai hubungan dengan situasi sosial yang ada); (iii) sistematis/logis (tiap UU merupakan bagian dari seluruh sistem perundang-undangan maka penafsiran melalui hubungan dengan UU lain atau ketentuan lain dalam UU sama); (iv) historis (penafsiran dengan meneliti riwayat terjadinya UU); (v) komparatif (berdasar perbandingan hukum); (vi) futuristis (berpedoman pada UU yang belum punya kekuatan hukum); dan (vii) restriktif (penafsiran terbatas gramatikal) atau ekstensif (meluas lampaui gramatikal). Dalam hukum pidana biasanya diikuti penafsiran restriktif.
Justifikasi Unsur ‘Setiap Orang’ dalam Pasal Pidana Pajak
Sama dengan ketentuan pidana lainnya di Indonesia, sebagai pengikut civil law regime, ketentuan tindak pidana pajak masih ikut paham KUHP umum dengan prinsip badan hukum tidak pernah dapat melakukan perbuatan yang bisa dihukum karena hukum pidana melulu ditujukan pada individu (orang pribadi; Santosa Brotodihardjo, 1971, Pengantar Ilmu Hukum Pajak). Pasal 59 KUHP mengakui pelaku tindak pidana adalah manusia (natuurlijk persoon, natural person). Zainal Abidin Farid (2007, Hukum Pidana I) mengelaborasi berbagai sebutan hukum manusia, seperti: seorang, setiap orang, barang siapa, mereka, warga negara, Wajib pajak, penanggung pajak, setiap pejabat, pejabat atau tenaga ahli, nakhoda dan penumpang, atau redaksi lainnya. Dalam ranah hukum, para pelaku tindak pidana disebut subjek hukum pidana, yaitu manusia (orang biologis alami, atau dalam UU Pajak disebut orang pribadi). Tiga unsur hukum pidana (Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat) adalah: sifat melawan hukum (unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf).
JE Sahetapy dan Agustinus Pohan (Hukum Pidana) menyebut korporasi tidak bisa berbuat sendiri tetapi memerlukan pimpinan atau pengurus atau wakil untuk melakukannya sehingga pelaku tindak pidananya adalah mereka.
Kedudukan Badan dalam Ketentuan Pidana Pajak
Pasal 2 KUHP menyatakan ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan untuk setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di negeri ini. Walaupun dalam hukum pajak internasional terminologi orang (person) diartikan termasuk individu dan badan, dan Zainal Abidin Farid (2007) mengelaborasi istilah ‘setiap orang’ termasuk Wajib Pajak (mencakup orang pribadi dan badan), tetapi Anshari Ritonga (2017) menyebut bahwa dalam hukum pajak lebih condong memaknai istilah ‘setiap orang ‘ sebagai orang pribadi. Karena Pasal 123 dan 124 KUHPer menyebut tujuan tiap perserikatan yang terbentuk dari persetujuan/UU bertujuan memberi/berbuat sesuatu atau tidak berbuat, maka secara perdata badan atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang punya hak dan kewajiban hukum.
Keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pajak di Indonesia sudah diusulkan dalam RUU KUP yang akan dibahas di DPR. Namun, sebagai Wajib Pajak jika Badan lalai (Pasal 38) atau sengaja (Pasal 39) menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dapat dipidana kurungan paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun atau denda paling sedikit sekali dan paling banyak dua kali pajak kurang dibayar (kalau alpa); atau pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun dan denda paling sedikit dua kali dan paling banyak empat kali (kalau sengaja). Pertanyaannya, kalau Badan itu bisa dipidana lalu siapa yang akan menjalani hukuman badan dan akan membayar pidana dendanya?
Pasal 32 (1) UU KUP menyatakan dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai ketentuan perpajakan badan diwakili pengurus, sedang ayat (2) menyebut sebagai wakil badan bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran utang pajak. Sebagai manusia biologis, pengurus dapat memenuhi pidana kurungan atau penjara, sedang yang memenuhi pidana denda adalah badan hukumnya atau bahkan seara pribadi dan/atau renteng pengurus juga berkewajiban.
Prinsip Ultimum Remedium vs Primum Remedium Pidana Pajak
Sebagai UU Tata Cara atau Acara Perpajakan, tujuan utama UU KUP termasuk memaksimalkan penerimaan guna penyediaan jasa publik pemerintah dan menjaga kelancaran arus pemerimaan negara. Penambahan sanksi pidana dengan dampak fisik dan finansial dalam UU KUP dimaksudkan agar efektif dapat menekan Wajib Pajak mematuhi kewajiban bayar pajak, bukan untuk memidanakannya yang justru mengganggu arus penerimaan dan perekonomian negara. Karena itu, penjelasan Pasal 13 A UU KUP menyebut pemidanaan sebagai upaya terakhir (last resort, ultimum remedium) peningkatan kepatuhan setelah semua upaya administrasi yang dilaksanakan tidak efektif. Sebaliknya, jika pemidanaan pajak dipakai sebagai pintu pertama penegakan hukum maka disebut primum remedium.
Prof Qodri Sitompul dan Prof Eddy O S Hiariej (2018, FGD di UGM) meragukan apakah ultimum remedium yang tersurat dalam penjelasan Pasal 13A yang hanya menyangkut pidana alpa itu sebagai prinsip yang diikuti dalam pemidanaan pajak atau hanya istilah saja? Kalau prinsip, mengapa tidak tercantum dalam batang tubuh (lex scripta) dengan jelas (lex certa) dan pasti (lex stricta) serta ketat dan restriktif?
Rumusan sanksi pidana Pasal 38 UU KUP dengan klausul ‘atau’ bersifat alternatif mewakili prinsip ultimum remedium, sedangkan sanksi Pasal 39 dengan klausul ‘dan’ bersifat kumulatif dan klausul min-max (indefinite sentence) mewakili kelompok primum remedium (pemidanaan sebagai tindakan pertama penegakan hukum). Apakah pembentuk UU memang bermaksud menjadikan pidana alpa Pasal 38 sebagai ultimum remedium, sedang pidana sengaja Pasal 39 menjadi primum remedium?
Walaupun saat ini istilah ‘setiap orang’ lebih condong dimaknai sebagai manusia biologis pelaku tindak pidana pajak, namun dalam praktik putusan pengadilan (Mahkamah Agung) berdasar prinsip corporate liability dan vicarious liability pengurus dan pegawai badan (sebagai manusia biologis) dan badan hukum (sebagai recht person) sudah sama-sama dikenai pidana (penjara untuk pengurus, denda untuk badan hukumnya). Dengan UU KUP yang baru, yang sudah sesuai dengan spirit PERMA No 13/2016, jika tidak ada hambatan, badan akan menjadi subjek hukum pidana seperti setiap orang.
Keberadaan Pasal 8 (3) UU KUP (voluntary disclosure dengan dekriminalisasi pidana alpa), Pasal 13A (dekriminalisasi pidana alpa dan sengaja), serta Pasal 44B (deponering penuntutan pidana) merupakan tendensi kecenderungan pemberlakuan prinsip ultimum remedium pidana pajak. Agar pengutamaan prinsip ini semakin terang benderang hendaknya tertulis eksplisit dalam batang tubuh UU, dan rumusan sanksi dalam UU KUP hendaknya secara totalitas harus mengisyaratkan pemberlakuan ultimum remedium dan prinsip ne bis in idem secara konsisten dan konsekuen.
Eksistensi Pasal 13 (5) dan 15 (4), penerbitan ketetapan pajak setelah putusan final pidana pajak, sebagai restorasi Pasal 51 Ord PPs 1925 yang oleh para hakim zaman Majelis Pertimbangan Pajak tidak bermasalah, yang sekarang beberapa hakim menganggap prinsip ne bis in idem perlu dipertimbangkan kembali. Karena peniadaan Pasal 13 (5) dan 15 (4) UU KUP akan dapat merugikan pendapatan negara (ada pokok pajak tidak tertagih) sehingga tidak sejalan dengan tujuan penambahan sanksi pidana administrasi dalam UU KUP. Begitu juga pengenaan hukuman subsider atas denda pidana yang tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan pajak perlu ditimbang kembali oleh pengadilan. Agar tiada double jeopardy (sanksi ganda), mungkin sanksi bunga SKPKB maksimum 48% perlu pertimbangan dihapus.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.