Minyak, Pajak, dan Kepentingan Banyak Pihak
19
|
Tuesday, 28 November 2017
Perekonomian Indonesia pernah memasuki era keemasan berkat oil boom. Tepatnya ketika harga minyak mentah melambung akibat Revolusi Iran dan ketika OPEC bersepakat memangkas produksi minyak di era 70-an. Alhasil, pendapatan pemerintah Orde Baru meningkat tajam berkat ekspor minyak sehingga memungkinkan sektor publik memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian.
Hal ini membuat ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), terutama minyak dan gas (migas), semakin besar. Fenomena ini seolah meninabobokan ekonomi negeri selama beberapa dekade, sebelum akhirnya luluh lantah akibat krisis ekonomi global.
Masa-masa Indah itu telah lewat. Buaian harga minyak tidak bisa lagi diharapkan. Belakangan, harga minyak mentah dunia anjlok ke level yang terendah mengikuti tren perlambatan ekonomi global. Alhasil, investasi di industri ekstraktif tak lagi menarik, produksi minyak nasional anjlok, dan Indonesia tersingkir dari jajaran eksportir minyak mentah terbesar dunia (OPEC).
Padahal, kandungan minyak mentah nasional masih sangat besar. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan cadangan minyak terbukti (proven reserve) Indonesia yang berstatus P1 ditaksir mencapai 3,6 miliar barel. Itu belum termasuk potensi cadangan yang belum terbukti (P2) di sekitar 27 cekungan, yang diperkirakan mencapai 3,8 miliar barel. Pemerintah pun dipaksa putar otak untuk bisa membuktikannya, sekaligus mengembalikan kejayaan sektor migas Indonesia.
Kebijakan di sektor hulu pun diubah mengikuti dinamika dan tuntutan zaman. Isu terakhir yang belakangan menghangatkan sektor migas adalah perubahan sistem bagi hasil atau production sharing contract (PSC), dari skema penggantian biaya operasi (cost recovery) menjadi skema bagi hasil kotor (gross split).
Perbedaan mendasar antara skema gross split dengan cost recovery terletak pada penetapan bagi hasilnya. Dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, menegaskan besaran bagi hasil dasar (base split) antara pemerintah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) adalah 57%:43% untuk minyak bumi, dan 52%:48% untuk gas bumi. Sebelumnya, dengan skema cost recovery, proporsi bagi hasil antara pemerintah dengan KKKS adalah 85%:15%.
Dalam skema yang baru ini, bagi hasil ditetapkan di awal, yakni pendapatan kotor (gross revenue) langsung dibagi antara pemerintah dengan kontraktor. Selain itu, biaya operasi dalam tahapan ekplorasi maupun eksploitasi seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor migas. Mau tidak mau tentunya skema ini akan mempengaruhi kebijakan efisiensi bagi kontraktor migas.
Selain porsi bagi hasil yang lebih besar bagi kontraktor, pemerintah juga menjanjikan insentif tambahan guna menarik minat investor. Contohnya, porsi bagi hasil kontraktor bisa ditambah hingga 3% untuk pengembangan sumur kedua. Pada peraturan sebelumnya, tambahan bagi hasil hanya diberikan untuk pengembangan lapangan pertama.
Selain itu, pemerintah juga memberikan tambahan bagi hasil jika lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu. Terkait kasus ini, Menteri ESDM diberikan diskresi yang tak terbatas. Sebaliknya, jika keekonomian sebuah lapangan terhitung tinggi, pemerintah berhak mengurangi split. Sebelumnya, diskresi hanya dibatasi plus/minus 5% sesuai dengan keekonomian lapangan.
Masih ada sejumlah insentif tambahan split lain, antara lain yang didasarkan pada fase produksi (hingga 10%), kandungan H2S (hingga 5%), aspek kumulatif produksi (hingga 10%), dan pergerakan harga minyak dan harga gas (plus/minus 7,5%). Setidaknya terdapat 12 komponen yang memengaruhi porsi bagi hasil bagi kontraktor, yang terdiri dari 10 komponen variabel dan dua komponen progressif.
No |
Komponen |
Keterangan |
Tambah/(kurang) split |
1 |
Status lapangan |
Sudah atau baru dikembangkan |
(5%) – 5% |
2 |
Lokasi lapangan |
Darat atau laut, kedalaman laut
(0-1000 meter) |
0 - 16% |
3 |
Kedalaman reservoir |
0 > x > 2500 |
0 – 1% |
4 |
Ketersediaan infrastruktur |
Akses jalan, pelabuhan, dst. |
0 – 2% |
5 |
Jenis reservoir |
Konvensional atau
non-konvensional |
0 – 16% |
6 |
Konten CO2 |
>5% s.d. > 60% |
0 – 4% |
7 |
Konten H2S |
<100 ppm s.d. > 500 ppm |
0 – 1% |
8 |
Berat jenis minyak (API) |
< 25 s.d. < 25 |
0 – 1% |
9 |
Komponen dalam negeri (TKDN) |
<3-% s.d. > 70% |
|
10 |
Tahapan produksi |
Primer, sekunder, tertior (OER) |
0 – 5% |
11 |
Harga minyak |
< US$40 s.d >
US$115 |
7,5% – (7,5%) |
12 |
Kumulatif produksi minyak |
<1 s.d. > 150 mmboe |
0 – 5% |
Implikasi Pajak
Tak hanya itu, perubahan skema PSC juga mengubah perlakuan perpajakan. Apabila sebelumnya pajak yang berlaku sifatnya tetap selama masa kontrak meskipun sistem perpajakan berubah (nail down), maka dengan regulasi yang baru sifatnya menjadi prevailing atau kewajiban pajak mengikuti aturan perpajakan umum yang berlaku dari waktu ke waktu. Apabila sebelumnya, dengan pendekatan naildown, kontraktor migas dikenakan PPh sebesar 30% atau tarif sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku saat kontrak dibuat, maka dengan prevailing tarif pajaknya akan turun menjadi 25% sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun demikian, perusahaan migas tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan pada umumnya sehingga diperlukan aturan pajak khusus. Pendekatan pajak idealnya memperhatikan tahapan kegiatan perusahaan migas, yang dimulai dari kegiatan ekplorasi dan berbagai aktivitas survei untuk menemukan cadangan minyak, hingga pengeboran. Sederhananya, kontraktor migas untuk bisa untung butuh waktu lama sehingga mejadi tidak relevan jika belum apa-apa sudah dipajaki.
Apabila mengacu pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), perusahaan migas hanya boleh menunda pembayaran PPh atas kerugian yang dideritanya paling lama 5 tahun. Masa kompensasi kerugian (loss carry forward) itu dianggap kurang memadai mengingat tahapan produksi migas memerlukan waktu yang tidak singkat.
Menyikapi hal ini, pemerintah mempertimbangkan untuk menerbitkan regulasi perpajakan khusus atas penerapan mekanisme bagi hasil migas dengan skema gross split. Payung hukum setingkat Peraturan Pemerintah (PP) ini akan berkaitan pula dengan PP Nomor 27 tahun 2017, yang merupakan revisi dari PP Nomor 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas.
Terdapat dua hal penting yang sampai saat ini masih perlu didiskusikan oleh Menteri Keuangan dan Menteri ESDM untuk dapat dituangkan dalam PP baru ini. Pertama, batas waktu kompensasi kerugian (loss carry forward) yang akan diperpanjang hingga sekitar 10 tahun.
Kedua, Menteri ESDM dan Menteri Keuangan dikabarkan juga telah menyepakati fasilitas perpajakan untuk kontraktor pada masa eksplorasi. Insentif yang dimaksud antara lain berupa pengembalian pajak-pajak tidak langsung (indirect tax) yang dibayar kontraktor saat eksplorasi, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemerintah akan mengganti indirect tax yang sudah dibayar kontraktor lewat bagi hasil (split). Kontraktor akan mendapat tambahan split yang besarnya sama dengan pajak tidak langsung yang sudah dibayarkan. Selain itu, depresiasi atas perolehan aset selama masa ekplorasi juga dapat diperhitungkan sebagai biaya.
Selain pembebasan pajak di masa eksplorasi, kontraktor juga akan memperoleh pembebasan pajak pada tahap eksploitasi. Pajak-pajak yang akan dibebaskan antara lain Bea Masuk, PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Namun, lagi-lagi itu baru sebatas bahasa lisan. Legalitas secara tertulis yang justru ditunggu-tunggu oleh kontraktor.
Revenue and Lost
Pembengkakan cost recovery, yang tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, menjadi alasan kuat pemerintah mengubah skema bagi hasil di sektor migas. Berdasarkan hasil temuan BPK pada semester II 2013, terdapat kerugian negara sebesar Rp 994,8 miliar akibat ketidakpatuhan kontraktor migas terhadap ketentuan cost recovery dan perpajakan. Indikasi ketidakpatuhan tersebut berimbas kepada tergerusnya penerimaan negara akibat ada biaya-biaya yang seharusnya tidak ditanggung harus pemerintah justru masuk dalam komponen cost recovery.
Selain juga ada kepentingan menyederhanakan proses pengambilan keputusan bisnis agar lebih cepat dan efisien. Sebab, melalui skema yang baru ini keterlibatan pemerintah jauh berkurang, sekaligus mengurangi negosiasi politik anggaran di parlemen dengan ditiadakannya cost recovery.
Kalau Kementerian ESDM sudah memangkas jumlah perizinan dari 48 izin menjadi enam izin, bagaimana dengan kementerian lain dan pemerintah daerah? Terlalu banyak simpul kkusut yang harus diurai oleh pemerintah, terutama kaitannya dengan perizinan yang berbelit. Misalnya, izin lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, izin pengadaan lahan, serta izin-izin terkait lain dalam kerangka otonomi daerah.
Namun, yang juga patut diperhatikan adalah kendali pemerintah terhadap produksi migas yang akan tergerus signifikan. Dalam konteks ketahanan energi nasional, skema gross split akan menyulitkan pemerintah untuk meningkatkan eksplorasi migas sesuai dengan target jangka pendek, menengah, maupun panjang. Belum lagi soal target pengembangan SDM, transfer teknologi, dan tingkat kandungan dalam negeri, yang pada akhirnya bakal sulit diimplementasikan.
Terlepas dari semua itu, yang terpenting adalah memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Ini erat kaitannya dengan daya tahan kebijakan, yang tidak hanya lebih efektif, tetapi juga tak lekang zaman dan pergantian kekuasaan. Jangan lupa, carut-marut kebijakan di sektor hulu akan berdampak pula terhadap ongkos energi masyarakat yang bakal meningkat. Intinya, minyak bukan hanya urusan segelintir orang, tetapi menyangkut kepentingan banyak pihak.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.