Sri Mulyani: Akses Informasi Keuangan Bukan Untuk Intimidasi Wajib Pajak!
Tuesday, 13 June 2017
Pada 8 Mei 2017 terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Pemerintah mempercepat penerbitan Perppu ini mengingat batas waktu pelaksanaan Automatic Exchange of Information (AEoI) tinggal menghitung hari.
Jaminan kerahasiaan informasi keuangan pun menjadi tumbal, karena lahirnya Perppu No.1 Tahun 2017 secara otomatis menegasikan kekuataan hukum dari 10 pasal dalam 5 (lima) undang-undang terkait perpajakan, perbankan dan perbankan syariah, pasar modal, serta bursa berjangka.
Dalam sebuah konferensi pers, Kamis, 18 Mei 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan urgensi dari penerbitan Perppu ini. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga memastikan ke publik bahwa akses informasi keuangan yang dibuka untuk otoritas pajak bukan untuk disalahgunakan di luar kepentingan perpajakan. Berikut ringkasan penjelasannya:
Apa latar belakang diterbitkannya Perppu No.1 Tahun 2017?
Negara-negara di dunia, terutama Kelompok G20, telah membuat kesepakatan untuk melakukan kerjasama perpajakan guna mengurangi Base Erosion Profit Shifting (BEPS), yang antara lain terkait akses informasi keuangan milik para wajib pajak di semua yurisdiksi atau tempat. Ini dipicu sejak adanya krisis kuangan global yang menyebabkan banyak negara harus melakukan intensifikasi penerimaan pajak. Sehingga munculah insiatif untuk meningkatkan dan memformalkan kerjasama perpajakan internasional itu guna mengurangi atau bahkan menghilangkan ruang atau tempat bagi para penghindar pajak (tax haven).
Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20 dan juga aktif di dunia internasional sejak tahun 2014 telah menyampaikan komitmennya. Bahkan secara aktif menyampaikan pandangannya agar praktik BEPS maupun adanya kewajiban untuk pertukaran informasi perpajakan itu dilakukan. Karena Indonesia menganggap banyak tempat atau yurisdiksi yang selama ini bisa dipakai secara aman oleh para wajib pajak di dalam menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.
Komitmen Indonesia untuk ikut dilandasi oleh kepentingan nasional. Yaitu kita sebagai suatu negara ingin menjamin bahwa keseluruhan tata kelola dari seluruh perpajakan di Indonesia bisa sama dengan tata kelola dari otoritas negara lain, sehingga kita tidak dalam posisi untuk dirugikan.
Komitmen internasional yang telah dilakukan pemerintah Indonesia yaitu dalam bentuk Automatic Exchange of Information (AEoI). Sampai dengan tahun ini sudah ada 100 negara atau yurisdiksi termasuk semua negara G20 telah mengikuti AEoI. Di mana 50 negara bahkan berkomitmen akan mulai melaksanakannya tahun ini dan 50 negara lainnya mulai melaksanakannya tahun 2018, termasuk Indonesia.
Apa saja syarat bagi setiap negara untuk bisa menerapkan AEoI?
Satu, negara tersebut harus memiliki jaminan bahwa otoritas pajak memiliki akses keuangan untuk kepentingan perpajakan di semua lembaga keuangan. Jadi, untuk itu harus ada aturan perundang-undangan yang menjamin bahwa otoritas pajak memiliki akses informasi kuangan untuk kepentingan perpajakan di semua lembaga keuangan.
Kedua, peraturan perundang-undangannya juga harus mengatur mengenai standar laporan atau sistem transmisi dari pertukaran informasi. Jadi pertukaran informasi itu memiliki standar peraturan dan dari sisi format maupun content. Sehingga tidak ada alasan suatu negara mengirimkan informasi dengan format dan besaran yang berbeda dengan negara lain.
Standarisasi dari sisi pelaporan dan konten laporan juga sesuatu yang harus diatur. Meskipun tidak harus di dalam Undang-Undang, tetapi bisa di bawahnya. Kalau negara tidak mampu memilikinya, dalam rangka untuk memenuhi pelaksanaan AEoI ini, maka negara tersebut akan dianggap gagal dalam memenuhi persyaratan dari sisi peraturan perundang-undangan.
Apa konsekuensinya jika Indonesia gagal memenuhi persyaratan itu?
Konsekuensi yang paling serius adalah negara tidak memiliki power untuk mendapatkan informasi dari partner-nya. Atau dalam hal ini, negara ini tidak memiliki hak untuk mendapatkan resiprocal information.
Artinya, kalau Indonesia tidak ikut, maka Indonesia dalam posisi yang dirugikan, karena tidak bisa mendapatkan akses informasi keuangan dari wajib pajak Indonesia yang memiliki dana maupun aset di luar negeri, di yurisdiksi lain. Kondisi ini tentu sangat kritis, karena kita semua mengetahui dari tax amnesty cukup banyak dari aset yang di-disclose. Dari total aset Rp4.300 triliun lebih, sekitar Rp1000 triliun lokasinya ada di luar negeri, jadi hampir 25%.
Oleh karena itu, ini merupakan suatu kepentingan nasional bagi Indonesia untuk tidak di dalam posisi dirugikan, karena kita dianggap fail to comply. Karena waktu yang ditetapkan di dalam level internasional, yaitu untuk bisa mengikuti tahap kedua pada 2018, maka harus menyelesaikan peraturan perundang-undangan sebelum 30 Juni 2017.
Bukankah primary legislation yang dipersyaratkan AEoI berbentuk Undang-Undang?
Kondisinya sangat mendesak dan dianggap memiliki konsekuensi yang sangat besar dari sisi kemampuan kita untuk menjaga basis pajak, maupun menjaga kepentingan Indonesia dalam mengumpulkan pajak. Maka pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2017.
Perppu ini ditujukan untuk menghindarkan Indonesia dirugikan karena tidak memenuhi persyaratan internasional di bidang peraturan perundang-undangan, untuk bisa mendapatkan hak dan juga dalam memenuhi kewajibannya dari komitmen AEoI.
Jadi, Perppu No.1 Tahun 2017 ditujukan agar Indonesia tetap mampu menjaga kepentingan nasional di level internasional. Karena kita memahami, bahwa tidak hanya informasi, tetapi juga dana maupun aset itu bisa bergerak ke seluruh negara-negara di dunia ini. Dan kemudian bisa menyebabkan terjadinya erosi dari basis pajak Indonesia.
Apakah pemerintah sudah mengantisipasi kemungkinan adanya penolakan dari DPR atau tuntutan judicial review atas Perppu No.1 Tahun 2017?
Perppu itu dikeluarkan oleh presiden sebagai suatu peraturan perundang-undangan, suatu kepentingan yang mendesak. Jadi dalam hal ini dewan akan menerima atau menolak. Kalau diterima, maka dia bisa mengatasi kendala dari empat UU lain yang menyatakan bahwa kerahasiaan bank itu menjadi salah satu faktor akses informasi keuangan dari DJP itu tidak otomatis.
Tentu saja, pemerintah akan terus melakukan konsultasi dan pembicaraan dengan Dewan, mengenai bagaimana kepentingan nasional itu sangat penting untuk kita jaga bersama.
Karena pada akhirnya pada dewan sebagai wakil rakyat mengharapkan yang terbaik bagi negara. Agenda yang ada di situ adalah agenda yang jelas, konsisten dengan UU Perpajakan, konsisten dengan UU Tax Amnesty yang waktu itu Dewan sudah menyetujui, konsisten dengan keinginan kita untuk memperbaiki penerimaan pajak, dan konsisten dengan tujuan untuk menjaga kepentingan nasional terhadap perjanjian internasional, yang mungkin kalau kita tidak memenuhi justru akan merugikan kita.
Jadi kami akan terus melakukan komunikasi sehingga peraturan perundang-undangan ini masih bisa mencerminkan dari kebutuhan negara kita. Dan pada saat yang sama juga untuk memenuhi kepentingan internasional dalam rangka untuk mendapatkan informasi dari wajib pajak yang memiliki harta di luar negeri.
Bukankah selama ini DJP dapat meminta informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan?
Selama ini kalau ada masalah pajak, maka protokolnya Menkeu menyampaikan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK bahwa ada nasabah X, Y, Z yang kita minta informasinya untuk keperluan perpajakan. Kemudian Ketua DK OJK akan menyampaikan surat itu kepada lembaga keuangan. Jadi, selama ini akses informasi ada, namun sifatnya kasus per kasus dan tidak otomatis.
Sementara dari sisi internasional yang diharapkan dan ini dilakukan oleh 195 negara, akses informasi oleh otoritas pajak yang sifatnya otomatis. Oleh karena itu Perppu ini memberikan akses informasi keuangan yang sifatnya otomatis. Artinya tidak perlu satu demi satu kami harus minta pada saat ada kepentingan perpajakan.
Namun, bukan berarti karena otomatis setiap saat DJP ingin tahu account seseorang terus dia langsung. Jadi otomatis itu bukan berarti terjadi kesewenang-wenangan terus iseng-iseng atau dilakukan dengan tidak bertanggungjawab, atau bahkan intimidasi. Misalnya, kalau ada orang yang tidak menyenangkan, terus dicari-cari account-nya, itu yang kita jaga. Otomatis berarti, memang DJP memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan perpajakan, bukan untuk agenda yang lain.
Perppu ini tentu untuk institusi, bukan untuk perorangan. Jadi kalau ada interpretasi ini akan didelegasikan kepada Dirjen Pajak, itu bukan orangnya.
Bagaimana dengan jaminan kerahasiaan data nasabah?
Kami menganggap penting untuk menyampaikan kepada masyarakat mengenai keyakinan bahwa Perppu ini tidak disalahgunakan oleh otoritas pajak. Dengan demikian, untuk meyakinkan masyarakat, bahwa ini adalah suatu langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia, namun akan tetap dilaksanakan dengan secara hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola dan disiplin yang baik.
Saya memahami, bahwa dengan kewenangan DJP dalam mendapatkan informasi keuangan masyarakat akan khawatir terjadinya penyalahgunaan informasi tersebut. Jadi bagaimana mereka mendapatkan informasi, prosedur dan protokolnya, maupun di dalam rangka menggunakan informasi tersebut akan diatur secara sangat ketat di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi turunan dari Perppu. Sehingga tujuan untuk mendapatkan informasi dalam rangka kepentingan pajak, tidak disalahgunakan.
Bukankah ada pasal imunitas di Perppu yang membuat pejabat terkait kebal hukum?
Kita akan mantapkan secara jelas tata cara, protokol, dan tata kelolanya. Kita juga akan memastikan bahwa seluruh jajaran DJP yang memiliki akses informasi tersebut akan menjadi subjek dari disiplin internal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi artinya informasi itu tidak digunakan untuk kepentingan lainnya atau untuk kepentingan pribadi atau untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti masyarakat atau wajib pajak. Kami juga akan memastikan sistem informasi atau pertukaran informasi yang akan kita dapatkan harus mengikuti protokol internasional. Jadi bukan suatu tindakan yang dilakukan perorangan petugas pajak. Jadi format, content maupun keperluannya mengikuti standar internasional sehingga tidak menjadi suatu subjek untuk menjadi interpretasi dari petugas pajak itu sendiri.
Dan yang paling penting dalam konteks ini, saya telah meminta di dalam institusi Kemenkeu, untuk memperkuat whistle blower system. Wadah bagi masyarakat yang merasa tidak nyaman atau mendapat perlakuan dari aparat pajak.
Sistem whistle blower ini akan dilakukan di dalam konteks pegawai DJP yang tidak memenuhi disiplin atau aturan tingkah laku, maka mereka (masyarakat) dapat mengadukan di dalam whistle blower system, yang sebetulnya sudah ada namun saya minta diperkuat dan sosialisasikan sehingga masyarakat memiliki saluran untuk menyampaikan kekhawatiran apabila mendapatkan perlakuan tidak adil atau semena-mena oleh aparat pajak kita.
Apa saja yang akan diatur lebih lanjut lewat PMK?
Untuk kepentingan perjanjian internasional, maka tadi disampaikan tata cara pelaporan kewajiban dokumentasi, prosedur identifikasi rekening keuangan, tata cara bagaimana lembaga keuangan wajib lapor atau tidak wajib lapor itu nanti diatur di dalam PMK. Untuk kepentingan perpajakan domestik kita juga akan menyampaikan batas saldo yang wajib untuk dilaporkan, tata cara pendaftaran, pelaporan, tata cara permintaan informasi, dan atau dalam hal ini kalau ada bukti tata cara pengenaan dari sanksi pidana itu akan diatur dalam PMK. Transisinya, karena ini akan berlaku, untuk yang tahun 2018 sesuai dengan AEoI, namun dari sisi akses informasi untuk kita, Perppunya sendiri sudah mulai berjalan dari 8 Mei 2017.
Berapa batasan nilai saldo dan rekening keuangan yang wajib dilaporkan lembaga jasa keuangan secara otomatis?
Dari sisi peraturan internasional maka batas saldo atau nilai rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara otomatis adalah AS$250.000. Secara internasional, kalau ada saldo di atas AS$250.000, itu harus masuk akses informasi.
Oleh karena itu, kita menggunakan itu di dalam konteks batas saldo nilai rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara otomatis. Saya tekankan, karena ini dalam rangka Automatic Exchange of Information, maka compliance kita harus setara dengan negara-negara lain.
Untuk Indonesia, bagi entitas wajib dilaporkan tanpa batas minimal. Sedangkan untuk orang pribadi batas minimal saldo yang wajib dilaporkan Rp200 juta.
Jumlah akun di perbankan dengan saldo di atas Rp200 juta saat ini ada 2,2 juta akun atau 1,14% dari total jumlah penabung. Kalau akun ini berasal dari gaji tetap yang sudah dipotong PPh sebetulnya tidak perlu takut.
*) Untuk menunjukkan keberpihakan terhadap UMKM, Menteri Keuangan merevisi batas saldo rekening yang wajib dilaporkan secara berkala, dari sebelumnya Rp200 juta menjadi Rp1 miliar.
Kapan efektifnya DJP bisa mulai mengakses informasi keuangan dan meminta akses informasi kepada otoritas di luar negeri?
Ya menunggu PMK itu keluar. Meskipun Perppu ini dibuat tanggal 8 Mei 2017, namun bagaimana melaksanakannya menunggu peraturan pelaksananya. Untuk proses pemberian informasi dari otoritas di luar negeri itu diatur di dalam kesepakatan AEoI, yang tadi saya sampaikan formatnya, caranya, protokolnya, semuanya ada di sana.