Menyoal Kebijakan “Setengah hati” Restitusi Pendahuluan
58
|
Thursday, 18 April 2019
Perekonomian Indonesia menapaki tahun 2019 dengan meninggalkan rekor negatif di tahun 2018, yakni defisit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang melonjak hingga minus US$8,57 miliar—tertinggi sejak tahun 1975. Hal ini selaras dengan nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, yang anjlok 6,89% sepanjang tahun 2018.
Trennya bahkan berlanjut ke Januari 2019, defisit NPI menembus angka US$ 1,16 milliar atau memburuk bila dibandingkan dengan defisit Januari 2018 yang tercatat US$ 0,76 miliar. Bahkan, terdalam sejak Januari 2014 yang minus US$ 430,6 juta secara bulanan.
Banyak faktor yang membayangi pemburukan kinerja ekspor nasional—yang berbanding terbalik dengan masifnya kegiatan importasi dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah impor minyak dan gas (migas) yang meningkat dibandingkan dengan ekspor. Meningkatnya kebutuhan migas sejatinya sudah terjadi sejak tujuh tahun terakhir dan mencapai puncaknya pada tahun lalu.
Dari sektor non-migas, surplus neraca dagang yang menyusut di tengah pesatnya importasi barang dan bahan baku produksi turut memperparah defisit NPI. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan pemerintah yang gencar membangun infrastruktur dan mendorong investasi di sektor manufaktur. Meskipun tujuannya positif, kerap menimbulkan implikasi negatif ketika kapasitas pasok domestik terbatas.
Di sisi lain, harga-harga komoditas yang anjlok di pasar global turut memperparah kinerja ekspor nasional—yang sampai saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan perdagangan barang mentah seperti batubara dan kelapa sawit.
Pemerintah sejatinya sudah menyadari bahwa kunci utama menyelesaikan masalah defisit neraca perdagangan adalah dengan menggenjot investasi dan ekspor. Untuk itu, pemerintah bukan tanpa upaya karena berbagai paket kebijakan telah dikeluarkan untuk merangsang investasi dan meningkatkan ekspor. Namun, semua itu belum cukup ampuh untuk memperbaiki atau setidaknya mengerem defisit neraca perdagangan.
Salah satunya kebijakan fiskal terkait itu adalah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Tujuan utama dari kebijakan tersebut antara lain untuk memperbaiki likuiditas Wajib Pajak, terutama eksportir. Bagi eksportir yang potensi lebih bayar PPN-nya besar—karena produk ekspor bebas PPN (0%)—kebijakan tersebut sebenarnya menjadi insentif yang dapat memacu kegiatan ekspornya.
Fasilitas pengembalian atau restitusi pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebenarnya bukan kebijakan baru. Sebelum PMK Nomor 39/PMK.03/2018 terbit, kebijakan serupa pernah diatur dalam PMK Nomor 198/PMK.03/2013. Bedanya adalah besaran kelebihan pembayaran pajak yang dapat diajukan pengembalian pendahuluan bagi Wajib Pajak Persyaratan Tertentu (Pasal 17D UU KUP). Apabila PMK Nomor 198/PMK.03/2013 membatasi nilai lebih bayar yang dapat diajukan pengembalian pendahuluan lebih bayar pajak (PPh maupun PPN) oleh Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu maksimal Rp100 juta, batasan tersebut naik menjadi Rp1 milliar sejak berlakunya PMK Nomor 39/PMK.03/2018. Dengan demikian seharusnya semakin banyak Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas pengembalian pendahuluan lebih bayar pajak ini.
Terutama bagi eksportir, pengembalian pendahuluan lebih bayar pajak sangat penting guna memastikan likuiditasnya tidak terganggu dalam memenuhi kebutuhan anggaran pengadaan bahan baku produksi yang sejatinya tidak bisa ditunda.
Mekanisme Restitusi
Proses pengembalian pajak selalu diawali dengan penelitian dan/atau pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap SPT Lebih Bayar yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. Restitusi yang dilakukan melalui penelitian menghasilkan produk hukum berupa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) seperti diatur dalam Pasal 17C dan 17D UU KUP, serta Pasal 9 ayat (4c) UU PPN. Sedangkan restitusi melalui pemeriksaan menghasilkan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) sesuai dengan Pasal 17B UU KUP.
Kedua pendekatan tersebut juga berpengaruh terhadap jangka waktu restitusi. Apabila Wajib Pajak mengajukan restitusi mengunakan mekanisme penelitian, jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak paling lama adalah 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diajukan. Sedangkan restitusi melalui mekanisme pemeriksaan memiliki jangka waktu paling lama 12 bulan sejak permohonan disampaikan.
Dengan demikian, restitusi melalui mekanisme penelitian lebih menguntungkan bagi Wajib Pajak dari segi waktu pengembaliaan kelebihan pembayaran pajaknya. Semakin cepat restitusi diterima maka akan semakin membantu likuiditas Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak eksportir, percepatan restitusi akan semakin menghemat biaya administrasi. Beda halnya dengan mekanisme restitusi melalui pemeriksaan yang biasanya cukup menguras waktu dan biaya bagi Wajib Pajak. Namun demikian, untuk dapat memanfaatkan fasilitas pengembalian pendahuluan tersebut, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai yang diamatkan dalam Undang-Undang.
Dalam proses penelitian terkait dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, UU KUP hanya mengakomodir pengajuan restitusi oleh Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu, serta Pengusaha Kena Pajak (PKP) berisiko rendah (khusus restitusi PPN). Adapun persyaratan atau ketentuan restitusi pendahuluan disesuaikan berdasarkan status masing-masing Wajib Pajak.
Persyaratan pendahuluan bagi Wajib Pajak dengan Persyaratan Tertentu:
|
Persyaratan restitusi pendahuluan bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu:
|
Persyaratan pendahuluan bagi Wajib Pajak Berisiko Rendah:
|
Kontradiktif
Sejatinya, kebijakan ini merupakan kabar positif bagi Wajib Pajak, terutama eksportir. Pasalnya, fasilitas ini akan sangat membantu cashflow pelaku ekspor—yang sering kali setiap bulannya mengalami lebih bayar PPN atas produk-produk ekspor yang tarif pajaknya 0% (pajak keluaran nihil). Sementara untuk pajak masukannya masih dapat dikreditkan.
Akan tetapi, tidak sedikit eksportir yang meragukan kebijakan restitusi pendahuluan ini. Sebab, selain persyaratannya cukup ketat, pengajuan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak juga dapat menimbulkan konsekuensi sanksi jika ditemukan adanya kurang bayar pajak dalam proses pemeriksaan oleh fiskus.
Baik Undang-Undang KUP maupun Undang-Undang PPN mengatur bahwa terhadap Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu, serta PKP berisiko rendah tetap dapat dilakukan pemeriksaan walaupun sudah diterbitkan SKPPKP (post-audit). Apabila dalam pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPB), yang intinya setiap Wajib Pajak yang tertera dalam surat tersebut diharuskan melunasi utang pajaknya. Selain itu, timbul konsekuensi lain berupa sanksi administrasi atau denda yang besarannya disesuaikan berdasarkan status Wajib Pajak.
Sanksi bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang kedepatan menunggak pajak harus membayar sanksi berupa kenaikan 100% dari jumlah Pajak yang kurang dibayar. Sanksi administrasi yang sama juga berlaku bagi Wajib Pajak degan Persyaratan Tertentu yang kurang bayar pajak. Sedangkan sanksi administrasi bagi Wajib Pajak Berisiko Rendah yang menunggak pajak adalah denda berupa bunga sebesar 2% per bulan paling lama 24 bulan dari Pajak yang kurang dibayar.
Risiko sanksi denda hingga dua kali lipat (100%) seolah kontradiktif dengan semangat pemerintah dalam menstimulus usaha dan kepatuhan Wajib Pajak. Potensi sanksi ini yang disinyalir membuat pemanfaatan fasilitas restitusi pendahuluan oleh eksportir kurang maksimal.
Selain itu, perbedaan penerapan sanksi bagi Wajib Pajak tertentu, khususnya dalam hal pengembalian kelebihan PPN juga terkesan menimbulkan ketidakadilan. Karena berdasarkan ketentuan yang berlaku, untuk mengurangi potensi sanksi yang lebih kecil, Wajib Pajak harus memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak berisiko rendah. Salah satu persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak berisiko rendah adalah lebih bayar PPN yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak boleh lebih dari Rp 1 miliar.
Dalam hal pemeriksaan menemukan kurang bayar pajak, bisa jadi sanksi yang dikenakan terhadap Wajib pajak dengan nilai lebih bayar PPN di atas Rp1 miliar dengan yang di bawah nilai tersebut akan berbeda. Hal ini tentunya bertentangan dengan salah satu prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith, bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi kepada Wajib Pajak (equity principle) dalam proses pemungutan pajak
Alhasil, alih-alih mengajukan restitusi pendahuluan, banyak eksportir justru lebih memilih untuk mengajukan pinjaman untuk menjaga kesehatan likuiditasnya. Hal ini tentu akan berdampak pada penurunan penghasilan eksportir akibat menanggung beban bunga. Ibarat dua sisi mata uang, pemerintah juga akan dirugikan karena potensi penerimaan pajak yang berkurang akibat penurunan penghasilan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Kebijakan fiskal ini—yang cenderung setengah hati—selain gagal mendorong peningkatan ekspor juga mengurangi potensi penerimaan negara dari pembayaran pajak. Adanya potensi sanksi yang cukup besar menandakan bahwa pemerintah belum sepenuhnya percaya terhadap Wajib Pajak yang mengajukan restitusi pendahuluan. Meskipun Wajib Pajak yang mengajukan restitusi telah melalui serangakain pengujian kepatuhan melalui beragam persyaratan yang telah diatur Undang-Undang.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.