JAKARTA. Bank Dunia menilai keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan memberi tambahan kenaikan tax ratio sebesar 0,7%-1,2%.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam tiga tahun terakhir, tax ratio Indonesia selalu turun. Pada tahun 2020, tax ratio Indonesia yang meliputi Pajak Pusat dan Penerimaan Sumber Daya Alam hanya 8,91% lebih rendah dari tahun 2019 yang sebesar 10,70% dan tahun 2018 sebesar 11,40%.
Sementara tax ratio dalam arti sempit, yang hanya meliputi pajak yang diterima pemerintah pusat pada tahun 2020, 2019 dan 2018 masing-masing sebesar 8,33%, 9,76% dan 10,24%.
Mengutip Kontan.co.id, kenaikan itu akan terjadi selama lima tahun, mulai tahun 2022 hingga tahun 2025, sebagaimana yang disampaikan di dalam laporannya yang berjudul Indonesia Economic Prospectc: Green Horizon, Toward a High Growth and Low Carbon Economy.
Dalam laporan yang dirilis pada tanggal 16 Desember 2021 tersebut, Bank Dunia mengungkapkan Empat kebijakan di dalam UU HPP yang memberi dampak terhadap penerimaan.
Perluasan Basis Pajak
Pertama, karena sejumlah penyesuaian di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak yang terkait dengan barang konsumsi. Seperti kenaikan Tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dan akan dinaikkan menjadi 12% maksimal tahun 2025 dan perluasan barang atau jasa kena pajak.
Kedua, pemerintah juga akan semakin leluasa dalam menjalin kerja sama perpajakan dengan negara lain. Sebab UU HPP telah mengakomodir pemerintah untuk bebas membuat kesepakatan di bidang perpajakan secara bilateral dan multilateral.
Ketiga, pemberlakuan program pengungkapan sukarela (PPS) dinilai dapat menambah penerimaan negara dan memperluas basis pajak.
Keempat, pemerintah juga akan lebih leluasa ketika akan menambah barang kena cukai baru. Sebab, di dalam UU HPP hal itu bisa dilakukan cukup dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tidak perlu membuat UU. (asp)