Opinion

Tax Amnesty II: Waspadai Wajib Pajak Nakal!

Karsino Miarso, Monday, 06 December 2021

Tax Amnesty II: Waspadai Wajib Pajak Nakal!
Tax Partner MUC Consulting Karsino Miarso mewaspadai akal-akalan wajib pajak nakal dalam progam pengungkapan sukarela (tax amnesty II) (Foto: Ahmad Zaki)

Polemik Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) seperti tidak ada habisnya. Terlebih dengan diulanginya program tax amnesty, yang kali ini berlabel "Program Pengungkapan Sukarela (PPS)”. 

PPS atau tax amnesty jilid II ini akan dilaksanakan selama enam bulan, yakni mulai 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.  Ada dua jenis kebijakan pengampunan pajak dalam PPS berdasarkan UU HPP (lihat tabel).  

Intinya, kebijakan PPS yang pertama diperuntukan bagi wajib pajak orang pribadi dan badan usaha peserta tax amnesty jilid I (2016-2017) yang belum atau kurang melaporkan harta bersih yang diperoleh hingga tahun pajak 2015 dalam surat pernyataan. Dari sini kita tahu bahwa ada yang tidak tuntas atau belum optimal dari tax amnesty I.  
Sementara itu, kebijakan PPS yang kedua hanya diperuntukan bagi wajib pajak orang pribadi—bukan badan usaha—yang belum melaporkan aset perolehan tahun 2016-2020 dalam SPT. 

Dalam siaran persnya secara daring, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, tujuan dari PPS adalah untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. 
Untuk menyukseskan kebijakan tersebut, UU HPP memberikan jaminan bahwa kantor pajak tidak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) melalui pemeriksaan bagi wajib pajak orang pribadi yang mengikuti PPS dan mengungkapkan aset perolehan tahun 2016-2020. 

Dengan jaminan tersebut, wewenang fiskus untuk memeriksa kepatuhan pajak para peserta PPS dihapuskan. Sehingga, penerbitan SKP hanya dapat dilakukan apabila ditemukan data atau informasi kepemilikan harta yang tidak sesuai dengan surat pemberitahuan pengungkapan.  

Sampai di sini sepertinya tidak bermasalah. Padahal, jika dianalisis lebih jauh, kebijakan ini  dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak nakal untuk berbuat tidak jujur dalam mengikuti kebijakan tax amnesty jilid II ini. 

Modus Kepatuhan Sukarela

Jaminan bebas pemeriksaan ini berpotensi membuka celah bagi wajib pajak (baik yang nakal maupun yang patuh) untuk menghindari pemeriksaan pajak yang panjang dan melelahkan. 

Untuk menghindari pemeriksaan, wajib pajak cukup menjadi peserta PPS dengan melaporkan harta yang selama ini belum dilaporkan dalam SPT. Idealnya, tentu saja seluruh aset atau harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT diungkapkan dalam program pengungkapan sukarela ini. Namun, bukan tidak mungkin yang dilaporkan WP nakal hanya sebagian kecil hartanya. 

Toh berapapun nilai harta yang diungkapkan wajib pajak, DJP tidak akan melakukan pemeriksaan guna menerbitkan SKP untuk tahun pajak 2016 sampai dengan 2020. Kecuali, DJP bisa menemukan ketidaksesuaian informasi.

Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar telah mengantongi informasi yang akurat mengenai harta Wajib Pajak nakal yang belum dilaporkan dalam SPT? Atau setidak-tidaknya apakah DJP sudah punya mekanisme verifikasi yang andal, sehingga dapat mendeteksi Wajib Pajak yang tidak jujur dalam mengikuti program tax amnesty jilid II? 

Memang ada mekanisme pengenaan PPh final 30% beserta sanksi bunga sesuai UU KUP atas temuan harta bersih yang belum atau kurang diungkap oleh peserta PPS. Namun, konsekuensi itu terlalu ringan dan tidak seberapa jika dibandingkan dengan sanksi tax amnesty sebelumnya, yang berupa denda 200% dari pajak terutang. 

Kalau demikian, apakah benar tax amnesty jilid II dapat mencapai tujuannya, yakni meningkatkan kepatuhan sukarela?

Untuk mengetahui jawabannya tentu masih harus menunggu hasil akhir dari PPS nanti. Indikator sederhananya, bila penerimaan pajaknya tinggi atau sesuai dengan nilai harta yang diungkap wajib pajak orang pribadi maka PPS bisa dikatakan sukses. 

Bagaimana jika jumlah peserta PPS membludak tetapi setoran pajaknya tidak seberapa atau sedikit nilai aset yang diungkap? Kita hanya bisa menebak, siapa sebenarnya yang menang banyak dari kebijakan pajak ini. Negara? Sudah pasti bukan. 

Namun, setidaknya berkat PPS, mudah-mudahan reformasi Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) menjadi Core Tax System bisa menggunakan basis data perpajakan yang lebih baik mulai tahun 2023. 
 

**) Versi singkat tulisan ini telah terbit di Kompas.com, 29 November 2021. 

 

Kompas.com

Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.