Keterampilan Adaptif Kunci Bertahan Pasca-Pandemi
Friday, 01 October 2021
Sebelum Covid-19 ada, digitalisasi sudah menyerbu berbagai lini kehidupan banyak orang di dunia. Sejak pandemi mendera ,digitalisasi pun kian tak terbendung. Hampir semua kalangan dipaksa go digital. Banyak hal pun berubah, tidak terkecuali dunia kerja.
Dunia kerja di masa sekarang makin dinamis. Pergerakan dan perubahannya cukup cepat. Perusahaan dan sumber daya manusianya pun dipaksa bergerak seirama dengan kecepatan tersebut. Jika tidak, mereka akan tertinggal atau bahkan mati. Intinya, adapt or die (beradaptasi atau mati).
Teknologi saat ini memegang peranan yang sangat penting. Mau tidak mau, semua dipaksa melek teknologi. Untuk mengimbangi hal tersebut, beragam skill-skill baru pun bermunculan. Jika sebelumnya, hard skill adalah skill wajib yang harus dimiliki dan dikuasai. Kini, hard skill tidak lagi menjadi primadona. Lantas, apa saja skill yang harus dimiliki agar bisa survive di dunia kerja masa pandemi dan masa depan?
Future Skills
Kedatangan pandemi yang tidak pernah diramalkan sebelumnya, telah merubah banyak hal, salah satunya dunia kerja. Pandemi seakan mengukuhkan bahwa hard skill tidak lagi cukup. Kemampuan beradaptasi dengan teknologi juga menjadi tuntutan wajib bagi para pekerja maupun perusahaan. Keduanya harus mau berubah, tidak hanya secara teknis, namun juga dari sisi mindset perusahaan. Perusahaan harus mulai membangun digital mindset dalam sistemnya untuk terus bergerak maju di masa sekarang.
Berdasarkan laporan terbaru World Economic Forum's: Future of Jobs, selama pandemi, banyak perusahaan di dunia yang melakukan adaptasi, diantaranya dengan mengakselerasi penggunaan teknologi. Untuk itu, para fresh graduate yang merupakan calon profesional, harus benar-benar pandai memilah perusahaan mana saja yang akan bertahan atau justru tumbang di masa sekarang.
"Kalau kalian masuk perusahaan yang sehat, adaptable dan terbuka, maka tidak akan asing dengan teknologi. Namun, sebaliknya kalau perusahaan yang kalian masuki old school, manajemennya anti teknologi, maka kalian tidak akan bisa berjalan dengan perusahaan itu karena perusahaan itu akan mati,"jelas Head of Human Capital and Development MUC Consulting Erry Tri Merryta dalam event MUC Great Program yang bertajuk "Future Skills to Survive in a Post-Pandemic Era".
Namun, jika para calon profesional tersebut sudah berhasil bergabung dengan perusahaan sehat dengan digital mindset, maka hard skill saja jelas tidak cukup. Masih mengutip dari laporan yang sama, setidaknya ada 10 jenis skill atau keterampilan kerja yang dibutuhkan tahun 2025. Dari seluruh skill tersebut, hanya dua jenis skill yang terkait teknis, yakni skill terkait teknologi desain dan programming serta penggunaan teknologi. Sisanya adalah soft skill.
Sesuai dengan hasil survei dalam laporan tersebut, diprediksi sekitar 50 persen pegawai perlu menambah dan memperbaiki skill yang dimiliki (reskilling), agar mampu bertahan di dunia kerja. Sebab, dibutuhkan kolaborasi antara hard skill dan soft skill. "Hard skill itu bukan perlu nggak perlu, itu hukumnya wajib, karena itu basic. Nggak punya itu nggak survive, tapi itu saja nggak cukup. Yang dibutuhkan dunia kerja sekarang selain hard skil, adalah soft skill,"ujar Erry.
Dari serangkaian soft skill tersebut, bisa dikerucutkan menjadi dua klaster. Yang pertama, thinking skill. Klaster ini terkait dengan kemampuan critical thinking atau berpikir kritis, analysis dan problem solving atau pemecahan masalah. Sementara klaster yang kedua adalah self management (manajemen diri) yang di dalamnya melibatkan active-learning (pembelajaran aktif).
Kecakapan Berpikir Kritis
Salah satu kecakapan yang harus dimiliki para pekerja jaman now adalah kecakapan berpikir atau thinking skill. Hampir semua perusahaan yang melek teknologi pasti menginginkan karyawan yang memiliki kecakapan ini. Dalam thinking skill ini terkandung beberapa skill lainnya yakni critical thinking, analysis and problem solving. Ketiganya saling berkaitan. "Critical thinking itu mau nggak mau mengasah kemampuan menganalisa kita (analysis) sekaligus problem solving skill,"ujar Erry.
Idealnya, kemampuan berpikir kritis ini diajarkan sedini mungkin. Misalnya dengan memberikan tanggung jawab di rumah, seperti menyapu atau membersihkan tempat tidur. Dengan tanggung jawab tersebut, jika kemudian terjadi suatu persoalan, maka anak akan "dipaksa" memikirkan solusinya. Sayangnya, belum banyak orang tua yang sadar akan pentingnya thinking skill ini. Selain itu, kemampuan satu ini juga belum banyak didapat dari sekolah-sekolah formal.
Dampaknya, hingga dewasa pun anak tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menganalisis dan menyelesaikan persoalan. Padahal dalam dunia kerja, generasi millenial ini dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis. Kabar baiknya, tidak ada kata terlambat untuk mengasah skill satu ini. Ada dua cara yang bisa digunakan untuk merangsang kemampuan berpikir kita.
Yang pertama, passive action. Meski mengandung kata pasif, bukan berarti tanpa aksi. Aksi untuk merangsang thinking skill ini mengacu pada diri pribadi. Caranya, mulai perkaya literasi dan coba luangkan waktu untuk berpikir sekaligus melakukan self-talk. Kemudian, mulai pertanyakan hal-hal kecil di sekitar kita dan cari jawabannya. Selain itu, coba perluas sudut pandang kita dengan keluar dari zona nyaman dan mulai belajar hal baru. Hal ini akan memperkaya perspektif dan pola pikir yang kita miliki.
Lalu, cara kedua adalah active action. Metode kedua ini melibatkan pihak lain untuk membangun kemampuan berpikir kita. Beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain dengan bergabung dalam komunitas, organisasi atau kegiatan-kegiatan sosial yang berada di luar kampus atau tempat kerja. Keterlibatan kita dalam wadah-wadah tersebut mampu memicu diri untuk berani mengambil tanggung jawab sekaligus menantang diri melakukan hal-hal baru. Selain itu, cobalah bergabung dalam komunitas-komunitas yang membutuhkan kemampuan berpikir, seperti komunitas pembaca buku, komunitas debat atau sejenisnya. Dengan bergabung dalam komunitas, critical thinking skill kita pun terasah.
Ketika kedua metode ini berjalan bersamaan maka kita akan memiliki untuk menggunakan pengetahuan, fakta, dan data untuk memecahkan masalah secara efektif.
Manajemen Diri
Selain thinking skill, kecakapan lainnya yang wajib dimiliki kalangan pekerja adalah self-management atau manajemen diri yang terkait dengan active learning. Pada dasarnya manajemen diri adalah kemampuan untuk mengatur emosi, pikiran dan tindakan secara efektif di berbagai situasi. Dikutip dari glints.com, manajemen diri juga bisa berarti kemampuan untuk membuat skala prioritas, memutuskan apa yang harus dilakukan, dan bertanggung jawab menuntaskan apa yang harus diselesaikan.
Di era pandemi seperti sekarang ini, kemampuan manajemen diri ini sangat diperlukan. Sebab, skema Work From Home (WFH) yang kini diberlakukan banyak perusahaan ternyata jusrtu membikin jadwal bekerja menjadi berantakan. Untuk itu diperlukan self-management yang baik.
Yang pertama perlu dilakukan adalah melakukan time and task management. Sehingga tidak hanya waktu yang harus diatur, melainkan juga pekerjaan. Intinya, kita harus berupaya mengontrol jumlah waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan secara efisien. Sebab, dengan skema WFH, tidak ada kontrol dari pihak manapun, sehingga kita lebih mudah terdistraksi dengan hal-hal lain saat bekerja. Aagr fokus bekerja, kita pun perlu melakukan time and task management, salah satunya dengan membuat jurnal untuk memetakan rencana dan tujuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Kita harus mampu melawan diri sendiri dalam menyelesaikan semua rencana dan tujuan yang sudah dituliskan.
Selanjutnya, kita juga perlu mengelola pikiran dan rasa. Sebab, sejak pandemi berlangsung, banyak hal telah berubah bahkan secara drastis dan tidak setiap orang siap dengan perubahan-perubahan tersebut. Karena itu, kita harus belajar mengontrol dan menyalurkan emosi secara positif, diantaranya dengan belajar mindfulness dan membuat jurnal.
Tidak lupa, kita juga harus memperkaya diri dengan skill-skill dan pengetahuan baru melalui berbagai media pembelajaran. Karena di era serba digital ini, bukan perkara sulit untuk belajar hal baru.
Self-management yang baik tidak hanya berdampak positif pada karir, namun juga pada kehidupan sehari-hari. Sebab, self-management memungkinkan kita untuk menjadi pribadi yang lebih optimis, tahan banting dan percaya diri.
Memang tidak mudah untuk segera mengejar ketertinggalan dalam mengasah sejumlah soft skill tersebut. Namun, dengan beragam kemudahan sebagai produk dari digitalisasi, tidak ada alasan untuk menunda perubahan. Jika tidak, kita akan tersisih dan tergilas oleh zaman. (KEN)