Sektor pertanian menjadi penyumbang PDB terbesar kedua yang dianggap sebagai penghambat pertumbuhan rasio pajak (tax ratio). Tahun ini rasio pajak Indonesia diprediksi hanya 7,99% atau terendah dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 14,27% di kuartal II/2021, sektor pertanian hanya menyumbang pajak sekitar 1% dari total penerimaan Rp741,34 triliun per Agustus.
Direktorat Jenderal Pajak, seperti dikutip Bisnis Indonesia (27/9), menyebutkan sektor pertanian acap tidak teridentifikasi sebagai subjek pajak (hard to tax) karena mayoritas pelakunya merupakan kelas mikro dan kecil.
Selain itu, meskipun menyerap paling banyak buruh tani namun upah tenaga kerja di sektor pertanian rata-rata jauh di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Hal ini menyebabkan pemerintah tidak bisa melakukan penarikan pajak atas pendapatan yang diperoleh.
Karenanya, Ditjen Pajak menyiapkan strategi untuk meningkatkan basis pajak dan kepatuhan sukarela wajib pajak di sektor pertanian. Mulai dari membentuk jabatan fungsional penyuluh pajak, sosialisasi, hingga aktif melakukan penyuluhan perpajakan.
Rendahnya penerimaan pajak sektor pertanian juga ditenggarai karena sejumlah fasilitas yang diberikan pemerintah. Antara lain pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan opsi penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.
Jika biasanya PPN dihitung 10% dari harga jual, dengan mekanisme nilai lain, DPP ditetapkan hanya sebesar 1% dari harga jual. Artinya, tarif efektif PPN yang dibayar hanya sebesar 1%.
Atas pertimbangan semua itu, pemerintah mengusulkan menghapus komoditas pertanian dari daftar non-barang kena pajak (BKP). Dalam RUU KUP terbaru, tarif PPN akan diubah menjadi yang terendah bersifat final 1%, tarif tengah 5%, atau tarif umum sebesar 12%.