Other

K A K E I B O: Seni Menabung ala Jepang

Novi Astuti, Quality Assurance Supervisor MUC Consulting | Monday, 15 February 2021

K A K E I B O: Seni Menabung ala Jepang

2020, diawali dengan pahit, dimana pandemic Covid-19 masih melanda hampir semua negara di dunia, membuat masyarakatnya merasa terpasung karena aktivitasnya harus dibatasi. Sementara dari sisi bisnis, banyak perusahaan  merumahkan karyawannya akibat tak kuat menanggung beban finansial akibat tersendatnya roda perekonomian. 

2020, di Indonesia disambut dengan dua kisah yang viral. Yang pertama adalah kisah seorang pria bergaji 20 juta per bulan, namun tanpa sungkan mengemis bantuan dari pemerintah. Dia berkisah bahwa gajinya yang sudah dua digit itu dipangkas separo karena pandemi, sementara dia masih harus membayar cicilan KPR sebesar Rp 5 juta dan Rp 4,5 juta untuk kredit mobil per bulannya. Praktis, yang tersisa hanya Rp 500 ribu untuk diberikan pada sang istri. Tidak heran dia sampai meminta- minta pada pemerintah. 

Kisah sedih lainnya, berasal dari seorang pria dengan gaji dua digit yang besarannya lebih fantastis, yakni Rp 80 juta per bulan. Namun malang, pernikahannya hancur dalam semalam. Dia juga dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk hutang.

Sederhananya, gaji besar ternyata tidak ada artinya tanpa literasi keuangan yang baik. Faktanya, hal ini masih menjadi persoalan yang berkepanjangan di kalangan anak muda. Berdasarkan data  yang dikutip dari IDN Times, sekitar 27 persen kaum millenial ternyata tidak memiliki tabungan, di sisi lain  mereka justru terbebani oleh hutang.

Ini jelas menjadi masalah karena Presiden Jokowi baru saja mengumumkan bahwa Indonesia, tidak diragukan lagi, akan jatuh ke dalam jurang resesi dengan PDB di kuartal III -3% dan investasi yang juga minus 6%. Hal ini menandakan gelombang PHK baru sudah semakin dekat.

Terkait fenomena ini, pemerintah harusnya paham bahwa menabung belum menjadi kebiasaan orang Indonesia pada umumnya. Untuk itu, berbagai stimulus ekonomi yang diberikan seperti Kartu Pra-Kerja, insentif pendapatan bagi pegawai dengan gaji kurang dari Rp 5 juta per bulan hingga PPh ditangguhkan, belum menjadi solusi konkrit. Segala Insentif tersebut pastinya akan memberikan keringanan sesaat untuk menjaga agar tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi, tapi hal tersebut tidak menyentuh inti permasalahan yang ada yaitu: rendahnya motivasi untuk menabung.

Para mantan orang terkaya di dunia pernah berbagi sebuah formula menabung: "Jangan menabung apa yang tersisa setelah dibelanjakan, belanjakan apa yang tersisa setelah menabung."

Sebuah nasihat yang patut dilakukan. Namun, bagi mereka yang tidak sanggup menahan godaan belanja secara impulsif, rangkaian kata bijak tersebut hanya akan menjadi nasihat kuno yang ketinggalan jaman. Lantaran dianggap tidak relevan dengan jaman sekarang.

Secara pribadi, saya pikir nasihat yang lebih praktis justru datang dari ibu rumah tangga Jepang sederhana yang mungkin" tidak kekinian". Nasihat tersebut bernama "KAKEIBO".

Menghindari Drama Masalah Keuangan dengan Kakeibo

Gampangnya, Kakeibo mengacu pada pembukuan sederhana untuk mengatur keuangan rumah tangga, yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Hanya butuh tiga alat saja:

  1. Buku besar untuk mengelola budget
  2. Buku kecil/suku yang praktis dibawa kemana-mana
  3. Pensil /pulpen, yang pastinya semua sudah tahu gunanya untuk apa.

Buku besar diperlukan untuk mencatat pengelolaan anggaran atau budget. Nah, biasanya ada empat hal yang bisa kita tuliskan secara lebih rinci, diantaranya:

1. Kewajiban

Ini adalah hal pertama dan terpenting yang harus dibayar setiap bulan, yaitu pajak dan zakat.

2. Life Plan (Rencana Hidup)

Sebelum membelanjakan setiap sen uang kita untuk konsumsi, kita harus menyisihkan sejumlah uang sebagai salah satu bentuk self- reward atas pekerjaan yang kita jalani selama sebulan. Bentuknya bisa beragam, seperti emas, sukuk atau reksadana.

3. Biaya Hidup
Ini mencakup pembayaran KPR,kredit mobil, konsumsi harian, atau bahkan biaya untuk seminar sebagai salah satu upaya pengembangan diri.

4. Lifestyle
Hal terakhir yang harus dipikirkan adalah gaya hidup. Jadi setelah menjalani tiga step di atas, ini saatnya kita memenuhi hasrat belanja kita, mungkin dengan membeli salah satu produk baru dari celebgram favorit kita atau sekedar nongki cantik di coffee shops yang sedang hype.

Setelah pendapatan dikurangi dengan kewajiban dan rencana hidup, maka penganggaran bulanan kita harus didistribusikan untuk biaya hidup dan gaya hidup dalam persentase yang lebih pas. Dan biaya hidup harus dibagi lagi menjadi 30, sehingga kita bisa mendapatkan batas pengeluaran harian kita.

Sementara buku saku, digunakan untuk mencatat setiap pengeluaran kita secara real-time. Contohnya, saat kita beli boba drink, pengeluaran tersebut harus segera dikurangkan dari budget harian kita. Begitu sampai di rumah, kita harus segera menuliskan pengeluaran boba drink tersebut di buku besar dan tidak lupa, sisa budget harian kita juga harus dihitung. Seandainya ternyata masih ada surplus atau sisa lebih dari budget hari tersebut, segera masukkan dalam tabungan, bukan ditambahkan untuk budget harian di hari berikutnya.

Mengapa? Karena banyak para pakar keuangan yang menyarankan bahwa waktu yang paling tepat untuk mulai menabung adalah sekarang. Banyak orang memiliki rencana untuk memulai kebiasaan ini, ketika penghasilan mereka sudah cukup besar. Tapi, pada umumnya, penghasilan yang lebih besar justru cenderung memiliki pengeluaran lebih besar, yang popular dengan istilah middle-income trap.

Banyak yang berpikir untuk apa repot-repot melakukan pencatatan manual ganda untuk kakeibo? Hal ini bahkan sudah cukup rumit bahkan sebelum kita mulai melakukannya. Konsultan keuangan ternama, Jouska pernah menyatakan bahwa
ide menulis dengan tangan di kakeibo sebenarnya bertujuan agar kita lebih aware terhadap perilaku keuangan kita alias mindful.  Sambil menulis, kita juga bisa melakukan evaluasi. Kita akan menyadari setiap pembelian kita mana yang bijaksana dan mana yang impulsif. Singkatnya, kakeibo memperkenalkan kita pada terapi uang.

Begitu kita mampu mencapai tahap membelanjakan uang secara sadar atau disebut mindful spending, maka literasi keuangan kita pun semakin baik. Dikutip dari beberapa sumber, berikut adalah beberapa karakteristik orang yang bijak dalam mengelola keuangan:

  • Jalani hidup sesuai dengan kemampuan 

Hal ini berarti membelanjakan lebih sedikit untuk gaya hidup daripada yang kita hasilkan dari pendapatan.  Jadi, apakah kita harus selalu
mengatakan tidak untuk hutang atau pinjaman?  Belum tentu. Mengambil pinjaman atau hutang tidak menjadi Masalah, asal:

a. Hutang produktif, bukan konsumtif.

Ketika kita membeli tiket ke Jepang dengan kartu kredit—yang bisa dibilang pinjaman terselubung—demi mendapatkan foto-foto instragamable untuk ditampilkan di akun IG kita, maka itu sudah pasti hutang konsumtif.  Tapi, jika kita mengambil beberapa video dan mengunggahnya di akun YouTube kita dengan AdSense yang aktif, maka hutang tersebut justru akan menghasilkan dan menjadi produktif.

b. Besaran angsurannya maksimal 30% dari gaji kita.

Masalah utama yang dihadapi kedua orang yang bernasib apes di atas, adalah  pembayaran bulanan mereka untuk kredit terlalu tinggi. Sehingga mereka pun tidak mampu menabung, walau sedikit.

c. Kita bisa melunasinya
Setidaknya, kita harus memiliki beberapa aset yang lebih besar dari pinjaman yang kita ambi. Tujuannya, agar bisa dicairkan kapan pun kita membutuhkannya.

  • Cari sumber penghasilan tambahan

Sebagai contoh, kita sangat menggandrungi K-POP. Nah,  daripada hanya membeli lightstick senilai Rp 500.000, kita bisa memulai membuat akun di beberapa e-commerce untuk menjadi reseller atau dropshipper. Jadi, sambil memenuhi hasrat fangirling atau fanboying, kita pun mampu meraup keuntungan.

Tyler Durden di film Fight Club secara mengesankan menunjukkan ironi kondusif keuangan masyarakat kita yang sangat mengena: Dia mengatakan, “Terlalu banyak orang menghabiskan uang yang tidak mereka peroleh, untuk membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan, untuk mengesankan orang yang tidak mereka sukai.”

Saya sendiri telah menggunakan metode Kakeibo ini selama setahun. Hasilnya, tidak ada lagi drama  dari masalah keuangan saya. Kalau saya saja mampu, saya yakin orang lain pun bisa.  Untuk itu, mengapa Anda tidak mulai mencobanya? (KEN)
 




Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.