IMF: Wealth Tax Solusi Penerimaan Jangka Pendek
Friday, 09 April 2021
JAKARTA. Lembaga moneter internasional atau International Monetary Fund (IMF) menyarankan penerapan pajak atas kekayaan atau Wealth Tax sebagai solusi mendorong penerimaan pajak jangka pendek.
Hal tersebut mengacu pada praktik pengenaan wealth tax di berbagai negara, yang cukup berhasil memangkas ketimpangan yang terjadi karena pandemi. Usulan yang disampaikan IMF tersebut tertuang dalam laporan berjudul Fiscal Monitor 2021.
Mengutip Bisnis Indonesia edisi Jumat (9/4), sejauh ini baru empat negara OECD yang menerapkan wealth tax, diantaranya adalah Prancis, Norwegia, Spanyol dan Swiss.
Di Norwegia, kebijakan wealth tax yang dikenakan terhadap 1% populasi orang kaya mampu memangkas ketimpangan kekayaan antara 0,4% hingga 0,6% dari Produk Domestik Bruto negara skandinavia tersebut.
Namun kebijakan ini dihadapkan pada tantangan kemampuan otoritas pajak di suatu negara dalam menilai aset.
Sebab, untuk menilai aset dengan baik diperlukan kemampuan mengumpulkan dan mengolah data dari pihak eksternal.
Implementasi di Negara Berkembang
Menurut Anthony Barnes Atkinson dan Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip dari Maria R Tambunan, penerimaan pajak yang diperoleh dari wealth tax tidak akan lebih besar dibandingkan pajak atas modal atau capital.
Di sisi lain, kebijakan ini akan berdampak pada meningkatnya beban pajak dan menjadi risiko bagi investor ketika akan menanamkan modalnya.
Atkinson dan Stiglitz menilai kebijakan wealth tax tidak sesuai diterapkan di negara berkembang dan negara industri karena tingginya kesenjangan. Sehingga yang diperlukan oleh negara-negara tersebut adalah pemerataan ekonomi.
sementara dampak dari asumsi yang timbul dari pemungutan jenis pajak ini adalah semakin besarnya risiko beban pajak yang dihadapi investor ketika menanamkan modalnya.
Sementara itu di Indonesia sejauh ini memang tidak menerapkan parktik wealth tax. Namun demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang berencana untuk fokus mengejar potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari kelompok masyarakat kaya dan super kaya atau high wealth individual (HWI).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, mengaku pihaknya mampu mendeteksi seluruh kekayaan kelompok HWI, mengingat jumlahnya yang sedikit.
Apalagi, DJP sudah bisa mengakses informasi keuangan yang tercatat di perbankan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017.
Menurut Direktur Eksektif MUC tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai usulan IMF layak untuk dipertimbangkan pemerintah sebagai solusi.
Ia juga mengatakan wealth tax berbeda dengan pengenaan PPh yang akan difokuskan pada HWI. Jika wealth tax mengacu pada jumlah harta yang dimiliki wajib pajak maka PPh dikenakan atas penghasilan yang diperoleh. (ASP)