Menyelaraskan Standar Akuntansi dengan Peraturan Pajak
Sigit Wibowo
|
Monday, 20 April 2020
Akutansi dan pajak ibarat dua sisi mata uang yang erat kaitannya dan sejatinya saling melengkapi. Namun, pendekatan dan penerapannya kerap bertolak belakang atau kurang sejalan. Alih-alih meningkatkan kepatuhan, implementasi keduanya justru sering kali membingungkan Wajib Pajak.
“Akutansi” yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah akuntansi keuangan umum yang mengacu pada Standar Akutansi Keuangan (PSAK), yang disusun dan diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK)—di bawah asuhan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Sementara yang dimaksud “Pajak” dalam tulisan ini adalah akutansi pajak yang berpedoman pada undang-undang perpajakan yang berlaku. Lakon utamanya tentu saja akuntan dan fiskus.
Dalam penerapannya, IAI menjadikan standar akutansi global sebagai benchmarking. Sejarah bermula pada era 1970 ketika SAK mengikuti standar praktik akuntansi Amerika Serikat, yakni Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Pada 1990-an, SAK mulai berkiblat pada International Accounting Standards (IAS). Kemudian, per 1 Januari 2015, SAK resmi mengadopsi penuh Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau International Financial Reporting Standards (IFRS), yang merupakah kelanjutan dari IAS.
Apabila awalnya IFRS hanya menyelaraskan sistem akuntansi di Uni Eropa, saat ini sudah lebih dari 120 negara mengizinkan dan mengharuskan IFSR sebaga pedoman perusahaan dalam menyusun laporan keuangan. Indonesia melalui IAI adalah salah satu pengikutnya.
IAI telah mencanangkan konvergensi PSAK ke IFRS secara penuh mulai tahun 2012, untuk kemudian diperbarui terus mengikuti perkembangan akutansi global. Konvergensi ini telah melahirkan sejumlah SAK baru yang merevisi standar-standar lama yang dianggap sudah tidak lagi relevan.
Konvergensi IFRS tidak hanya berpengaruh terhadap dunia bisnis saja, tetapi juga dalam dunia Perpajakan. Bahkan petugas pajak sering kali dibuat gagal paham dengan praktik akutansi yang perubahannya sangat pesat setiap tahunnya.
Adalah penerapaan prinsip akutansi substance over form dalam SAK yang menjadi inti masalahnya. Prinsip akutansi tersebut mengakui fakta kejadian dari sebuah transaksi keuangan ketimbang bukti legalnya. Sedangkan otoritas pajak akan menggunakan pendekatan yang sebaliknya (legal form).
Konsesi
Perbedaan SAK dengan aturan perpajakan salah satunya terkait ISAK 16 terkait pengakuan asset tetap dalam perjanjian konsesi jasa. ISAK 16 merupakan interpretasi standar akuntansi keuangan atas perjanjian konsesi jasa publik ke swasta untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2012. Interpretasi ini berlaku untuk infrastruktur yang dibangun atau diperoleh operator dari pihak ketiga untuk tujuan perjanjian jasa; dan infrastruktur eksisting yang aksesnya diberikan oleh pemberi konsesi kepada operator untuk tujuan perjanjian jasa.
ebagai contoh perusahaan pembangkit listrik yang mendapat konsesi dari perusahaan listrik negara. Isi konsesinya adalah perjanjian jual-beli listrik (power purchase agreement) dengan PLN—bukan perjanjian utang-piutang. Namun berdasarkan ISAK 16, yang diakui sebagai aset perusahaan dalam laporan keuangan bukanlah pembangkit melainkan biaya yang dikeluarkan untuk membangun pembangkit tersebut. Biaya tersebut diakui sebagai aset keuangan yang dipersamakan sebagai piutang yang belum ditagihkan ke lawan transaksi, yakni PLN. Pada saat bersamaan, pembangkit listrik tersebut sudah dicatatkan sebagai aset tetap milik PLN meskipun realitanya di dalam perjanjian, pengalihan aset baru dapat dilakukan setelah masa konsesi berakhir. Dengan demikian, seolah-olah perusahaan memberikan pinjaman kepada PLN untuk membangun pembangkit listrik. Kondisi ini berdampak pada pengakuan pendapatan dan biaya, di mana Perusahan mengakui adanya financial revenue dan financial expenses (bukan biaya depresiasi).
Pengakuan pendapatan keuangan tersebut ditetapkan menggunakan nilai saat ini (dengan tingkat bunga tertentu). Sedangkan penyerahan aset sejatinya baru akan terjadi di akhir masa konsesi. Artinya, meskipun transaksinya belum terjadi dan konsesinya belum berakhir, tetapi pendapatan yang belum ditagihkan ke PLN (piutang) tersebut sudah harus diakui sejak saat ini. Dalam hal ini, kontraktor pembangkit seolah dipersamakan sebagai perusahaan keuangan (financial institution), yang kesannya memberikan pinjaman kepada Pemerintah (PLN).
Berbeda halnya dengan pajak, fiskus masih merujuk pada standar akutansi lama. Dalam kasus di atas, penghasilan utama Perusahaan berasal dari penjualan listrik dan atas biaya pembangunan pembangkit dapat dibiayakan dengan mekanisme depresiasi aset
Sewa
Prinsip substance over form juga berlaku dalam penerapan PSAK 73, yang mendefinisikan sewa sebagai kontrak atau bagian kontrak yang memberikan hak guna aset selama jangka waktu tertentu untuk dipertukarkan dengan imbalan. Dalam konteks ini, barang yang dipinjam diperhitungkan secara akuntansi sebagai aset hak guna—sekalipun sejatinya barang itu bukan milik penyewa. Dengan demikian, nilai aset yang dicatatkan dalam laporan keuangan bisa berbeda dengan nilai sewa yang sebenarnya dibayarkan. Meskipun ada pengecualian penerapan PSAK 73 untuk sewa jangka pendek dan sewa bernilai rendah.
Misalnya, Perusahaan A menyewa kantor selama 6 (enam) bulan dengan kecenderungan diperpanjang selama lima tahun. Berdasarkan PSAK 73, akuntan akan mencatatnya sebagai hak guna untuk jangka waktu lima tahun meski opsi perpanjangan sewa baru sebatas komitmen (faktor kebiasaan).
Sementara jika menggunakan pendekatan pajak, sewa dimaknai sebagai kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Tidak ada pengecualian sewa dalam ketentuan perpajakan.
Dengan demikian, secara perpajakan biaya sewa yang dapat dibebankan adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan atau dialokasikan sesuai dengan masa sewa. Kondisi ini dapat menimbulkan perbedaan waktu pengakuan biaya antara akuntansi komersial dan pajak sehingga berpotensi terjadinya koreksi fiskal dalam perhitungan PPh terutang dalam SPT tahunan.
Transaksi Valas
Contoh lain konvergensi IFRS yang berimplikasi dengan perpajakan adalah penerapan PSAK 10 terkait pengaruh perubahan nilai tukar valuta asing. Dalam hal ini, pendekatan akuntansi menekankan penyajian laporan keuangan menggunakan satuan mata uang yang biasa digunakan dalam transaksi perusahaan (functional currency) sehingga nilainya setiap tahunnya dapat berbeda sesuai dengan kondisi Perusahaan.
Sementara itu, ketentuan perpajakan mewajibkan pembukuan menggunakan mata uang Rupiah. Menariknya, ketentuan perpajakan membuka ruang yang sama kepada Perusahaan yang functional currency untuk menggunakan mata uang asing (dalam hal ini USD). Sebelumnya, penggunaan mata uang asing seperti USD hanya dimungkinkan terbatas hanya kepada Wajib pajak tertentu—seperti BUT dan kantor cabang—yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan.
Namun demikian sifat dari kebijakan ini adalah harus taat azas sehingga ketika izin diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun secara pajak tidak dapat berganti setiap tahunnya. Terlepas dari itu, peraturan perpajakan sudah cukup mengadaptasi ketentuan dalam PSAK 10, di mana DJP mengakomodir kebutuhan Wajib Pajak yang menggunakan functional currency USD untuk dapat mengajukan pembukuan dalam mata uang USD
Persoalannya kemudian, belum ada pendekatan serupa PSAK 10 dari otoritas pajak untuk mengharmoniskan ISAK 10 dan PSAK 73 dengan ketentuan perpajakan. Penyelarasan akuntansi dan pajak dalam hal perjanjian konsensi dan sewa mungkin tidak semudah menyikapi perbedaan mata uang dalam laporan keuangan dan SPT. Tetapi setidaknya bisa dimulai dengan meningkatkan pemahaman fiskus terhadap SAK yang berlaku umum di seluruh dunia, terutama atas hal-hal yang belum diatur dalam ketentuan perpajakan.
Intinya, selama tidak ada upaya untuk menyelaraskan ketentuan perpajakan dengan standar akutansi keuangan maka koreksi fiskal akan selalu terjadi dan semakin kontraproduktif dengan upaya pemerintah menciptakan iklim investasi yang bersahabat. Kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?
*Tulisan ini juga terbit di Majalah Pajak edisi Maret 2020
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.