Opinion

Perang Tarif, Ancaman BEPS, dan Revisi UU PPh

Karsino Miarso | Tuesday, 20 June 2017

Perang Tarif, Ancaman BEPS, dan Revisi UU PPh

Ketergantungan negara terhadap penerimaan pajak dari waktu ke waktu semakin besar. Kebutuhan pendanaan pembangunan ekonomi yang meningkat menjadi faktor utamanya. Namun, untuk memungut pajak sebanyak-banyaknya juga bukan perkara mudah. Terlebih di tengah persaingan ekonomi global yang ketat dan semakin jelinya wajib pajak melihat loophole suatu peraturan pajak. 

Selain Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), dunia kini juga sedang diramaikan oleh wacana sejumlah negara yang berlomba-lomba memangkas tarif pajak. China, India, Amerika Serikat (AS), dan sejumlah negara di kawasan Eropa menjadi pemantik isu panas ‘perang tarif’ pajak ini. 

Bahkan, wacana penurunan tarif pajak menjadi tiket sukses sejumlah politisi dunia untuk menduduki kursi kepresidenan. Donald Trump, misalnya, sukses menjadi Presiden AS ke-45 setelah menjanjikan penurunan tarif pajak dalam kampanyenya. 

Demikian pula dengan Emmanuel Macron, politikus pemula yang sukses menjadi Presiden Perancis termuda sepanjang sejarah. Salah satu janji kampanye Macron adalah menurunkan tarif pajak untuk mendorong kegiatan ekonomi di Negeri Napoleon dari ancaman krisis ekonomi.

Efek latah perang tarif pajak pun meluas ke berbagai belahan dunia, bahkan hingga ke  Indonesia. Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menginginkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dipangkas agar lebih kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Untuk itu, maka Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) harus direvisi kembali. 

Tarif PPh di Kawasan ASEAN

Country

Individual Income Tax

Corporate Income Tax

Indonesia

5% - 30%

12.5% - 25%

Malaysia

0%-28%

25%

Singapore

0%-22%

17%

Thailand

0%-35

20%

Cambodia

0%-20%

20%

Brunei Darussalam

0%

18.5%

Vietnam

5%-35%

22%

Myanmar

0%-25%

25%


Sebenarnya, permasalahan pajak di Indonesia bukan semata soal tinggi atau rendahnya tarif pajak. Menurut Profesor Gunadi, yang terpenting adalah tarif pajak dibuat moderat atau sebanding dengan negara sekitar. Selanjutnya yang harus dipikirkan adalah dampak dari penyesuaian (naik atau turun) tarif pajak terhadap penerimaan negara. Memang, tarif pajak yang rendah berpotensi merangsang investasi masuk dan diharapkan dapat menarik pulang dana-dana milik WNI dari luar negeri.  Namun, tidak ada jaminan semua itu bisa terjadi. 

Paradoks Kepatuhan Pajak 

Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) sebenarnya bisa menjadi pelajaran. Walaupun sudah diberikan jaminan pengampunan pajak dengan hanya membayar uang tebusan yang sangat murah, jumlah harta yang direpatriasi oleh WNI dari luar negeri hanya Rp 147 triliun dari potensi harta yang bernilai ribuan triliun rupiah. Uang tebusan yang masuk kas negara sebesar Rp 130 triliun pun tak cukup signifikan untuk mencapai target penerimaan pajak. 

Artinya, tak cukup hanya mengharapkan kepatuhan sukarela dari pembayar pajak. Perlu ada sistem perpajakan yang tegas dan berkeadilan untuk memaksa Wajib Pajak patuh terhadap kewajibannya. 

Ada banyak hal yang lebih krusial dan prioritas untuk dicarikan solusi, ketimbang menurunkan tarif PPh badan. Terutama soal kepatuhan Wajib Pajak yang dianggap masih kurang dan keterbatasan fiskus dalam memungut pajak. 

Permasalahan rendahnya kepatuhan Wajib Pajak seharusnya menjadi bahan koreksi dan introspeksi bagi otoritas pajak. Masalah kepatuhan timbul bisa karena memang tabiat buruk Wajib Pajak, bisa juga karena adanya celah-celah hukum yang memungkinkan hal itu. 

Menutup Celah

Patut diingat, tidak semua aksi penghindaran pajak itu ilegal. Upaya mengecilkan kewajiban pajak dengan memanfaatkan longgarnya regulasi sebenarnya sah secara hukum, meskipun kurang tepat dari sisi etika. 

Misalnya, manipulasi keuntungan menggunakan penetapan harga transaksi afiliasi (transfer pricing) yang dilakukan oleh grup usaha guna mengecilkan pajak. Praktik semacam ini lazim dalam dunia usaha, tetapi menjadi petaka bagi kas negara. 

Kasus lain yang belakangan jadi sorotan publik adalah sengketa pajak yang menyeret sejumlah perusahaan penyedia data berbasis internet atau over the top (OTT). Mereka memperoleh laba cukup besar dari penggunaan aplikasi atau produk digitalnya di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, pajak yang dibayarkannya sangat kecil atau bahkan nol karena memanfaatkan jaringan bisnisnya di sejumlah negara surga pajak. Secara etika tentu salah, tetapi secara hukum belum ada regulasi yang bisa menjadi dasar untuk memajaki OTT, yang mayoritas perusahaan raksasa digital dunia. 

Belum lagi bisnis-bisnis lain yang mengeruk laba besar dari transaksi di luar radar hukum dan pantauan fiskus (underground economy). Pelaku bisnis di sektor ini disinyalir paling banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Meskipun tidak menutup adanya pelaku usaha besar yang memperoleh laba dari underground economy. 

Revisi UU PPh setidaknya harus menjawab semua permasalahan yang timbul dari transaksi-transaksi samar itu. Antara lain bisa dengan mengenakan pajak dengan tarif minimum bagi perusahaan yang mengalami kerugian berturut-turut dalam jangka waktu tertentu. Opsi ini patut dipertimbangkan untuk meredam aksi penghindaran pajak oleh grup usaha melalui transfer pricing. 

Selain itu, rekomendasi OECD untuk memasukkan ‘Keberadaan Digital’ (Digital Presence) sebagai kriteria subjek pajak terkait Bentuk Usaha Tetap (BUT) juga penting untuk diadopsi dalam revisi UU PPh. Dengan cara ini, maka pemerintah punya dasar yang jelas untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang didapatkan OTT dari pemanfaatan produk digitalnya di Indonesia. 

Terkait underground economy, yang rata-rata pelaku UMKM, perlu pendekatan yang khusus untuk bisa mengoptimalkan pemungutan pajak di sektor ini. Antara lain dengan memberikan diskresi kepada pemerintah untuk secara berkala menyesuaikan batasan nilai omzet yang menjadi basis pemajakan UMKM berdasarkan perkembangan ekonomi makro. Selain itu, agar pemajakan lebih optimal, perlu pendekatan sektoral dan tarif pajak yang berbeda atas penghasilan UMKM yang bergerak di sektor manufaktur, perdagangan, dan jasa. 

Perluasan objek pajak juga harus dilakukan, misalnya dengan menyasar harta warisan dengan nilai tertentu. Semua jenis harta warisan dengan nilai berapa pun selama ini dikecualikan dari objek pajak. Hal itu banyak disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan harta-harta yang seharusnya kena pajak sebagai warisan dalam SPT. 

Semua itu ibarat potongan-potongan puzzle dari kerangka besar reformasi perpajakan. Oleh karenanya, revisi UU PPh tidak bisa parsial, harus simultan dengan amandemen undang-undang terkait lainnya. Terutama UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). 

Intinya, revisi UU PPh jangan semata-mata soal penurunan atau kenaikan tarif. Namun, harus menjadi bagian dari reformasi perpajakan dan didukung pula dengan sistem administrasi yang efektif dan efisien, serta berkeadilan. 




Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.