Single Document System Atasi Manipulasi Transfer Pricing?
Prof. Gunadi
|
Sunday, 12 May 2019
Perdagangan internasional telah berlangsung sejak kelahiran suatu bangsa atau negara. Namun, belakangan ini terjadi percepatan pertumbuhan, tidak hanya dalam bidang perdagangan tetapi juga dalam bidang finansial dan investasi. Pertumbuhan tersebut bahkan lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi dunia.
Salah satu penyebab penting pertumbuhan tersebut kemungkinan besar berasal dari pengurangan atau penghapusan hambatan perdagangan internasional secara gradual melalui berbagai putaran negosiasi dari The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang sejak 1995 dikelola oleh World Trade Organization (WTO). Berbagai forum kerja sama regional seperti ASEAN, multilateral maupun internasional mematok langkah maju dalam bentuk konvensi yang mengikat anggotanya.
Dalam Bali Concord III para pemimpin ASEAN telah sepakat untuk memperkenalkan Asean Single Window (ASW). Salah satu isu dari ASW adalah perlunya standardisasi dokumen, sistem dan prosedur ekspor-impor. Dapat dibayangkan kalau program ini berhasil, kegiatan ekspor dan impor antar-negara atau perdagangan internasional akan menjadi semakin lancar, liberal dan bebas. Para importir Indonesia dan eksportir dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan negara lainnya tidak perlu lagi ke sana ke mari mengisi dokumen-dokumen yang isinya sebetulnya adalah sama karena transaksinya juga hanya satu. Birokrasi juga dapat lebih disederhanakan karena tidak perlu lagi menyerahkan dokumen dimaksud ke berbagai instansi terkait dengan ekspor-impor sehingga biaya transaksi bisa diperkecil.
Transfer Pricing
Perpajakan internasional meliputi pemajakan terhadap Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atas penghasilan yang diperoleh dari sumber di luar negeri, dan pemajakan terhadap Wajib Pajak luar negeri atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia. Dalam memperluas dan memantapkan jaringan usahanya di Indonesia, Wajib Pajak luar negeri dapat mendirikan anak perusahaan, membuka cabang usaha, membuka kantor perwakilan, menyewa broker atau mengekspor langsung kepada pengusaha di Indonesia. Ekspor ini pun bisa dilakukan langsung dari negara produsen di mancanegara, atau dilewatkan melalui perusahaan perdagangan di negara lainnya atau sekedar trading house di negeri dekat Indonesia, misalnya Singapura. Dengan alasan efisiensi biaya, umumnya walaupun dokumen barang dibuat berkeliling melewati negara-negara dimaksud, tetapi barang langsung dikirimkan ke Indonesia. Mungkin juga uang oleh pengimpor Indonesia langsung dibayarkan ke rekening perusahaan pertama tanpa melalui Singapura atau Hong Kong. Jadi dalam hal ini terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara arus barang, arus kertas, dan arus uang.
Sementara sebagai negara sumber, Indonesia mencoba merumuskan suatu ketentuan bahwa pelaku usaha dan investasi sedemikian rupa sehingga tetap netral tidak bias atas bentuk usaha dan investasi tetapi tetap memperoleh bagian pajak yang wajar dari penghasilan internasional. Mungkin Wajib Pajak luar negeri bisa saja berusaha untuk menghindar pemajakan di Indonesia sama sekali atau paling kurang menekan beban pajak. Sebetulnya dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah diusahakan untuk mempengaruhi persepsi pengusaha dan pembayar pajak dengan menyatakan bahwa pemungutan pajak di Indonesia merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Walaupun sudah dimasukkan unsur patriotisme cinta tanah air untuk pengabdian kepada negara dan pembangunan nasional, tetapi dalam paradigma bisnis tetap saja pajak dipandang sebagai beban (cost atau expense) yang memperkecil keuntungan setelah pajak para pengusaha.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka merupakan hal yang wajar-wajar saja dan merupakan praktik usaha yang biasa untuk merekayasa suatu transaksi antar negara sedemikian rupa sehingga menganulir atau meminimalkan beban pajak. Salah satu cara yang sering dipakai untuk maksud tersebut adalah transfer pricing.
Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antar beberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Untuk grup secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup ketimbang laba individual dari tiap perusahaan. Karena tarif dan beban pajak dari beberapa negara tempat kiprah para anggota grup bervariasi satu sama lain, pimpinan global perusahaan grup akan berusaha mengalokasikan laba dan mungkin rugi antar anggota grupnya sedemikian rupa sehingga memberikan laba setelah pajak maksimal. Dengan lain kata dari rekayasa alokasi laba tersebut diperoleh jumlah pajak global yang minimal.
Komplikasi Praktik
Untuk menggambarkan kompleksitas rekayasa penghindaran pajak dengan transfer pricing di bawah ini diberikan contoh ilustratif.
PT X yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Indonesia. Dalam perjanjian pemasokan barang kebutuhan perusahaan di Indonesia dapat dilakukan oleh PT X, perusahaan Thailand atau Malaysia. Perusahaan di Hong Kong merupakan distributor (perusahaan dagang). Selain itu, terdapat trading house di Singapura. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan sendiri dari PT X. Namun karena perusahaan dagangnya ada di Hong Kong, maka faktur dari Jepang dikirim ke Hong Kong dan dari Hong Kong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur untuk perusahaan di Indonesia dan kepadanya juga dilakukan pembayaran. Dari Jepang barang ini dihitung harga US$ 100, dari Hong Kong ke Singapura dihitung US$ 200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US$ 300. Kalau di Indonesia dijual dengan US$ 400- sebetulnya laba usaha seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US$ 300 (US$ 400 dikurangi US$ 100). Dengan transfer pricing laba tersebut dialokasikan di Jepang, Hong Kong, Singapura dan Indonesia. Padahal barang langsung dikirim dari Jepang ke Indonesia, hanya kertasnya saja yang mampir-mampir ke mana-mana. Belum lagi kalau karena dianggap perusahaan di Indonesia memakai jasa broker trading house Singapura, maka harus membayar komisi. Kalau misalnya dikenakan komisi US$ 50 maka laba di Indonesia akan mengecil menjadi US$ 50. Belum lagi kalau atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian US$ 300 itu dibiayai dengan pinjaman dari grup mereka dengan bunga sebesar 15% (kredit komersial), berarti laba perusahaan Indonesia tinggal US$ 5 (US$ 50 dikurangi US$ 45). Terlebih lagi kalau misalnya atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$ 30 (10%). Akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$ 25 (US$ 5 dikurangi US$ 30). Dari contoh tersebut akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa grup untung sekurang-kurangnya US$ 300, yang diperoleh dari penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia tetapi perusahaan di Indonesia malah menderita rugi sebesar US$ 25. Akhirnya Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari perusahaan di Indonesia. Sebagai anggota grup perusahaan dengan rekayasa transfer pricing, Indonesia tidak mendapat alokasi laba padahal laba grup tidak akan ada kalau barang tersebut tidak dijual dan dibeli oleh orang Indonesia.
Kalau pemilik perusahaan di Indonesia tersebut juga merupakan pemegang saham trading house Singapura dan trading company di Hong Kong baik langsung maupun melalui rekayasa kepemilikan, sebetulnya ia pribadi tidak rugi karena menerbangkan laba (profit flight) dari Indonesia ke Singapura dan Hong Kong. Pihak yang rugi adalah negara (tidak memperoleh penerimaan) dan rakyat Indonesia (kepentingan umumnya tidak dapat terlayani karena tidak ada penerimaan). Lebih lanjut, apabila pemilik perusahaan di Indonesia yang ikut menerbangkan laba dari Indonesia ke Singapura dan Hong Kong tersebut adalah Wajib Pajak dalam negeri, secara teoritis menurut UU PPh dia dapat dikenakan pajak atas dividen yang diterima dari Singapura dan Hong Kong. Lagi-lagi karena UU PPh menganut cash basis dalam pemajakan dividen potensi pajak Indonesia atas dividen tersebut dapat dihindari dengan tidak membagikan dividen. Penundaan pembagian dividen bisa sementara atau secara permanen direkayasa lagi melalui investasi dividen tersebut pada instrumen finansial di luar Indonesia. Rekayasa transfer pricing dan lainnya itu semua karena dilakukan di luar Indonesia, pemeriksa pajak tidak punya wewenang dan akses data ke sana. Ini merupakan masalah yang pelik untuk pembuktiannya.
Single Document Sebagai Solusi
Demi menegakkan hak (fair share) atas penghasilan dari transaksi internasional dalam contoh ilustratif tersebut dan mengibarkan payung keadilan dalam pemerataan beban pajak serta melindungi hak masyarakat atas sebagian harta atau penghasilan perusahaan Indonesia sebagai anggota grup dibanding dengan perusahaan lain sejenis yang tidak punya grup, dalam menghadapi kasus pada contoh ilustratif tersebut administrasi pajak akan melakukan pemeriksaan. Karena sesuatunya sudah diatur secara rapi dan canggih secara formal (on paper) petugas pemeriksa akan kesulitan untuk melakukan koreksi terhadap semua rekayasa transfer pricing tersebut. Untuk memperkirakan arm’s length profit dari perusahaan Indonesia, umumnya pemeriksa pajak memberlakukan metode resale price (harga jual minus). Kendala dari metode ini adalah tidak mudahnya mendapatkan data laba kotor yang wajar. Umumnya koreksi transfer price semacam itu agak tidak mudah untuk dipertahankan di Pengadilan Pajak. Apalagi menyangkut bukti-bukti dokumen yang berada di luar yurisdiksi Indonesia tentu akan dengan mudah dipatahkan oleh Wajib Pajak di Pengadilan Pajak apabila putusan Pengadilan Pajak hanya berdasar bukti formal belaka. Hukum pajak adalah hukum material yang dapat mengesampingkan bukti-bukti formal dimaksud. Masalahnya ialah bagaimana membawa yang material itu ke dalam yang formal sehingga mempermudah pembuktian.
Apakah dengan single document system pada ASW bisa menjembatani hal ini? Dalam transaksi ekspor-impor ini pada substansinya transaksi penyerahan barangnya hanya satu melibatkan dua pihak eksportir dan importir di kedua negara. Dalam single document system ini kepabeanan dari Singapura dan Indonesia akan menjalin kerja sama untuk menyediakan satu dokumen saja yang diisi untuk kepentingan eksportir Singapura dan importir Indonesia karena informasinya sama. Tampaknya dengan kerja sama demikian praktik perdagangan tidak fair, seperti over pricing biaya (atau under pricing penghasilan) mungkin dapat tereliminasi. Apalagi kalau single document system ini dilengkapi dengan pertukaran data manifes secara online. Namun dalam kasus di atas harus diingat bahwa secara fisik barang dikirim langsung dari Jepang bukan dari Singapura, walaupun dokumen keliling Hong Kong mampir Singapura baru ke Indonesia. Karena fisik barang tidak berasal dari Singapura tentu manifes juga tidak dari Singapura tetapi dari Jepang langsung ke Indonesia. Kalau dengan semangat kerja sama antar negara, Singapura dan Hong Kong dalam sistem single document kemudian karena dokumen berasal dari Hong Kong maka Singapura akan menunjuk balik ke Hong Kong. Seterusnya karena dokumen berasal dari Jepang, Hong Kong merujuk balik ke Jepang dan akan berakhir dengan single document akan diisi oleh Jepang dan Indonesia sesuai dengan arus fisik barang.
Dengan single document, Indonesia dan Jepang tahu bahwa barang yang diproduksi di Jepang itu dijual di Indonesia dengan harga US$ 40. Kalau konsisten untuk mengakui bahwa harga di sana adalah US$ 100, berarti Indonesia dapat mengenakan pajak atas laba sebesar USD 300.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah Singapura dan Hong Kong mau mengesampingkan kepentingan mereka demi berjalannya kerja sama regional dalam single document system? Atau bisa jadi bahwa untuk melindungi kepentingan negara mereka, atas penerimaan dari transaksi internasional, Hong Kong dan Singapura meminta agar kapal pengangkut barang dari Jepang ke Indonesia mampir barang sejenak di Hong Kong dan kemudian ke Singapura sehingga bisa membuat manifes dan single document system berjalan tanpa gangguan. Kalau demikian yang dilakukan tentu transfer pricing tidak akan terselesaikan dengan sistem single document karena masih rentan rekayasa. Selain itu, apabila rekayasa transfer pricing atas barang fisik dapat diatasi dengan single document bagaimana dengan rekayasa pinjaman finansial dengan bunga tinggi dan rekayasa jasa untuk menerbangkan laba dan dana dari Indonesia?
Alternatif
Akhir-akhir ini diwacanakan bahwa akuntan publik dapat diberikan peran aktif dalam meningkatkan kepatuhan dimaksud. Namun menghadapi kasus transfer pricing di muka pemeriksaan akuntan publik untuk mendapatkan kewajaran alokasi laba antar anggota grup mungkin juga bukan tanpa masalah. Kalau hanya mendasarkan pada bukti formal akhirnya juga sepertinya mengamini laporan Wajib Pajak. Kalau ingin mengalokasikan laba sesuai dengan fungsi yang disumbangkan masing-masing perusahaan di Jepang, Hong Kong, Singapura, dan Indonesia dapat dipertanyakan apakah dengan berbagai caranya akuntan publik mempunyai akses data ke negara-negara dimaksud? Selain itu kalau nanti laporan pemeriksaan berbentuk laporan keuangan konsolidasi bukan laporan per individu perusahaan maka laporan tersebut juga akan tidak menawarkan solusi transfer pricing.
Penegakan sistem pajak secara user-friendly mengharap agar memudahkan pelaksanaan oleh para pelaksana dalam Undang-undang pajak harus dibuat aturan yang jelas rinci dan operasional mengenai ketentuan tentang transfer pricing dengan tetap mengakomodasi kepentingan negara dan rakyat Indonesia atas diperolehnya penerimaan negara secara layak tanpa menghambat pertumbuhan transaksi internasional yang diyakini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dalam alternatif solusi ketentuan yang tegas sehingga operasional termasuk aturan tentang pajak penghasilan minimum alternatif (alternative minimum tax) yang menentukan adanya pajak minimum relatif yang harus dibayar perusahaan dalam kondisi tertentu. Pajak minimal ini sebagai kontribusi atas barang dan jasa publik yang disediakan negara tempat perusahaan berkiprah. Sejatinya pajak minimal alternatif merupakan penyimpangan dari kaidah umum teoretis pemajakan atas penghasilan. Namun yang dihadapi adalah juga perilaku rekayasa alokasi laba yang juga menyimpang dari kaidah adat pedagang yang baik.
Rasanya sudah wajar atas perilaku yang menyimpang juga diberlakukan penyimpangan pengaturan. Akhirnya keberterimaan oleh masyarakat pembayar pajak dan respek mereka terhadap sistem perpajakan suatu negara tempat mereka melakukan kiprah ekonomi merupakan unsur penting untuk memaksimalkan kepatuhan perpajakan.
Disclaimer! Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.